Postmodernisme dan Hidup Kekinian

2,073 kali dibaca

Postmodernisme menjadi istilah yang cukup kontroversial hingga kini. Di satu pihak, istilah ini kerap digunakan denga cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat. Ia dianggap sebagai sekadar metode intelektual yang dangkal dan kosong. Sekadar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Di pihak lain, kenyataan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas.

Meskipun demikian, satu hal kiranya jelas, yaitu menganggap postmodernisme sekadar sebagai mode intelektual yang kosong dan reaksioner dengan buru-buru dan sembrono sebetulnya adalah kenaifan dan kedangkalan tersendiri.

Advertisements

Hakikatnya, munculnya postmodernisme tidak dapat lepas dari modernisme itu sendiri. Istilah modernisme dipahami mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan, di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini. Meski demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan orientasi. Seperti apa yang dikatakan Max Horkheimer, Adorno, dan Herbet Marcuse bahwa pencerahan akan melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan kemajuan.

Tergesernya modernisme oleh postmodernisme dapat kita ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekontruksi-rekontruksi rasional dan masuk akal dalam menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku didunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard. Dia berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif. Artinya, bahwa kebenaran bersifat subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya relatif.

Antitesis Modernisme

Postmodernisme ditandai dengan lahirnya beragam realitas baru, seni dan sastra marjinal, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Khun, dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietszche, Husserl, Heiddeger, hingga Mazhab Frankfrut. Postmodernisme membuka pintu keberagaman realitas, unsur permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai. Lebih dari itu, postmodernisme dikenal dengan sebagai antitesis dari modernisme.

Tak hanya itu, gejala postmodernisme telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan yang merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia.

Syahdan, akhirnya para tokoh dan pemikir menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan “postmodernisme” dalam rangka melakukan “dekontruksi paradigma” terhadap berbagai bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan menemukan paradigma yang baru. Postmodernisme yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard, merupakan antitesis dari modernisme. Hampir semua istilah yang diajukan postmodernisme adalah antonimasi modernisme. Kelahiran postmodernisme membuat istilah baru dan mengakibatkan perbedaan dengan paham modernisme.

Jika diamati dengan seksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh pasca-modernisme. Kenyataannya ada dan keberadaannya harus diakui. Soal membawa manfaat atau tidak, kita tak bisa menilai dari satu sisi saja secara langsung, karena selalu ada dua sisi, yaitu apakah baik atau buruk. Kita bisa memeriksa dan mejelaskan apa yang telah diterangkan di atas. Tentu, postmodernisme telah menambah perbendaharaan kita mengenai ilmu pengetahuan.

Pandangan postmodernisme muncul karena menentang modernisme yang dianggap memiliki kelemahan. Namun, bukan berarti postmodernisme terlepas dari adanya kelemahan. Tampaknya aliran postmodernisme ini muak dan lelah akan metanarasi dari era modern. Mereka beralasan bahwa, metanarasi itu bisa mengarahkan kita pada marginalisasi cerita kecil, baik dari kehidupan kita yang nyata sehari-hari maupun secara tradisi (kepercayaan masyarakat akan komunitas setempat).

Sebenarnya, postmodernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan ingin melihat cerita-cerita yang kecil. Cerita-cerita kecil seperti desentralisasi, pertarungan etnis, dekontruksi, sub-kultur, nihilisme, budaya rendah, anarki, pasca-industri, paradigma, kekuatan bersama, sekte-sekte, delegitimasi, dekonsensus, liberalisme, dan diskontinuitas yang merupakan kebalikan atau antitesis dari paham modernisme. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena kurang masuk akal. Sebab, untuk menilai atau menangkap suatu cerita dasar diperlukan suatu dasar pijakan. Karena itu, tanpa adanya kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tak bisa bicara apa-apa. Kita juga tidak hanya berpegang pada cerita-cerita lokal atau keyakinan setempat. Sangat sulit tentunya untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang.

Karena apabila pasca-modern menyangkal prinsip-prinsip (metanarasi), maka dengan sendirinya akan muncul prisip-prinsip baru (narasi-narasi kecil). Karena menyangkal prinsip berarti juga berprinsip dan di situlah kontradiksinya. Jika hal ini terjadi mengenai tidak menyakini suatu pernyataan, maka kembali kepada kaum skeptif yang setiap pernyataannya tidak harus ditanggapi benar. Perkataan kaum skeptif bisa dibantahkan. Lalu apa yang harus dilakukan? Maka yang diperlukan adalah dekontruksi kebenaran. Tapi tidak semua dihilangkan bahkan dihapuskan.

Cerita-cerita besar itu sangat diperlukan. Cerita besar itu cenderung menjadi sebuah ideologi. Itulah sebenarnya yang harus diwaspadai. Karena banyak cerita besar atau paham-paham besar yang membawa penderitaan bagi umat manusia, misalnya paham komunisme. Paham komunisme bisa membawa penderitaan kepada umat manusia yang mengikuti ketentuannya. Walaupin tujuannya segala sesuatu milik bersama, tidak dimiliki secara individu, tapi paham ini dalam penerapannya menggunakan pemaksaan dan kekerasan kepada para pengikutnya. Tidak jarang juga ideologi-ideologi religius justru membawa kesengsaraan dan membelenggu umat manusia. Maka, di sinilah perlu adanya dekontruksi cerita besar sehingga diharapakan tidak menyeleweng dari misinya yang sejak lama dibawanya.

Pertanyaannya mengapa ideologi perlu didekontruksikan? Sebab ia menyangkal hal cerita kecil. Sementara ideologi itu bersifat mutlak. Benar berarti sesuai dengan ideologi. Yang tak sesuai disikat habis. Dengan kebenaran ideologi, seseorang tidak akan memusnahkannya. Padahal, sesuatu hal bagi postmodernisme tidak mutlak, mereka percaya bahwa kebenaran bersifat relatif. Artinya, harus disesuaikan dengan segala aspek, bukan hanya terfokus pada sisi tertentu saja.

Karena itu, menurut penulis, dekontruksi sangat dibutuhkan dan bahkan perlu, tetapi haruslah jeli dan butuh pemikiran yang cerdas untuk mengawasi dan mengkritisi cerita narasi yang perlu didekontruksi. Pasca-modernisme, kita akan menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar itu perlu didekontruksi. Sayang, pasca-modernisme tidak mampu melakukan hal seperti itu. Dekontruksi yang sebenarnya, kata Franz Magniz Suseno, adalah meganalisis dengan teliti. Di sini cerita atau narasi yang besar itu benar. Cerita tentang harkat martabat kemanusiaan. Cerita bahwa situasi apa pun tak pernah boleh untuk dipakai semata-mata sebagai sebuah sarana.

Dengan melihat sisi negatif dari paham postmodernisme itu, apakah postmodernisme harus dihapus atau dibuang. Tentunya yang jelas sisi positifnya tetap ada. Ia telah mengingatkan kepada kita bahwasanya dalam diri kita harus waspada terhadap teori atau cerita atau narasi besar. Jangan sampai mereka berkembang menjadi sebuah ideologi. Jangan sampai ideologi tersebut berlindung di balik teori besar tersebut. Tapi kenyataannya, di balik itu semua ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi. Paham postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dapat dipercayai, asal ia tidak memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip orang lain. Karena segala sesuatu itu perlu diteliti atau bahkan koreksi dan dipertanyakan apakah ia benar berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar.

Tak hanya itu, yang perlu kita kembangkan dan kita tegakkan dari paham postmodernisme, adalah sikap kita yang saling menghargai manusia sebagai indivu-individu dengan segala keunikan dan keberagamannya yang meliputi kelemahan dan kelebihan. Bukan mempermasalahkan keberagaman. Tetapi, bagaimana hal itu menjadi suatu kegembiraan dan ciri khas terhadap apa yang dimiliki. Dengan menyadari hal tersebut, postmodernisme memberikan suatu hak untuk menyuarakan pendapatnya dan ia terus menjalankan sifat emansipatorisnya.

Dengan demikan, kita harus memegang keduanya, baik yang universal maupun yang lokal. Tentu yang tak kalah penting adalah sikap menghargai cerita atau teori dan narasi besar yang memang memperjuangkan martabat manusia tak terkecuali juga menghargai cerita-cerita kecil, seperti pluralisme dalam keanekaragaman sebagai tanda penghargaan manusia-manusia individu tersebut. Maka dengan demikian kehidupan kita akan lebih menjadi tercerahkan dan damai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan