Poso dan Nopo-nopo Kerso

10,587 kali dibaca

Orang Jawa selalu punya permainan khas, termasuk dalam penggunaan bahasa. Maka kita mengenal istilah kerata basa. Secara harfiah ia berarti asal-usul arti kata dalam bahasa. Tapi ia bisa juga dimaknai sebagai mengurai sebuah kata menjadi ungkapan yang sesuai dengan makna yang dikandung kata tersebut.

Ia juga sering disebut jarwa ndesek atau penjabaran singkat atas makna sebuah kata atau frasa. Atau pemberian makna terhadap kata atau frasa dilihat berdasar suku katanya. Kerata basa bisa dihadapi dengan sangat serius karena hasilnya mewujud dalam penyingkapan makna yang filosofis. Sekaligus, ia bisa diposisikan sebagai “permainan merangkai kata” —dari situlah muncul istilah othak-athik gathuk (menghubung-hubungkan sesuatu agar cocok) yang menjadi “gaya Jawa”.

Advertisements

Sekadar beberapa contoh, kata “guru” yang dianggap akronim dari “digugu dan ditiru” adalah salah satu buah dari othak-athik gathuk kerata basa ini. Dan benar, guru memang diposisikan sebagai orang yang harus digugu (dipercaya) dan ditiru (diikuti). Atau “sopir” yang di-jarwa menjadi yen ngaso mampir (jika berherhenti/istirahat selalu mampir).

Sebagai permainan bahasa, kerata basa seperti ini bisa juga disebut sebagai pasemon dalam sastra Jawa. Di dalamnya bisa terkandung sindiran atau insinuasi, karikatur, kias atau alegori, parodi, satire, ejekan atau travesti, dan pelesetan atau guyonan. Karena itu, setiap produk dari kerata basa selalu nyaris tak pernah berwajah tunggal atau punya satu makna. Bisa dipastikan ia selalu bersegi banyak atau multifaset.

Itu pula yang terjadi ketika poso (baca: puasa) di-jarwa menjadi nopo-nopo kerso, yang sekilas justru memiliki arti yang berlawanan. Poso yang arti harfiah dari kata dasarnya adalah puasa, tidak/menunda makan dan minum dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari, justru berarti sebaliknya ketika di-jarwa menjadi nopo-nopo kerso. Sebab, ia berubah arti menjadi “apa-apa mau” atau “doyan apa saja” alias rakus.

Apa yang dituju dari kerata basa atau othak-athik gathuk ini? Kita tak tahu persis. Mungkin ia memang multifaset. Yang kita tahu, di banyak tempat di Pulau Jawa, terutama oleh kanak-kanak, poso sering dijadikan guyonan sebagai nopo-nopo kerso. Mungkin untuk meledek orang yang pura-pura puasa. Atau untuk menyindir orang yang berpuasa tapi masih doyan apa saja atau rakus atau tak bisa mengendalikan hawa nafsunya.

Kita juga minim referensi sejak kapan frasa nopo-nopo kerso ini mulai dikenal masyarakat Jawa. Yang pasti, sejak sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa sudah mengenal puasa (poso). Dalam konsep Jawa, puasa adalah lelaku dengan banyak jenisnya. Hingga kini kita masih bisa mendengar istilah poso mutih, poso pati geni, poso ngerowot, poso ngebleng, dan sebagainya yang masih menjadi bagian dari lelaku orang Jawa.

Ketika Jawa sudah mengalami Islamisasi, maka ibadah ṣhaum atau shiyam, yang berarti “menahan diri untuk tidak makan, minum, dan bergaul dengan istri/suami sejak fajar sampai maghrib” diterjemahkan menjadi poso (puasa dalam Bahasa Indonesia). ‎jadi, dalam masyarakat Jawa, shaum atau shiyam sama dengan poso.

Apakah kerata basa dengan frasa nopo-nopo kerso ini dialamatkan pada shaum atau shiyam atau poso pra-Islam? Entahlah. Yang pasti sebagai pasemon ia multifaset, di dalamnya mungkin mengandung sindiran atau insinuasi, karikatur, kias atau alegori, parodi, satire, ejekan atau travesti, dan pelesetan atau guyonan. Pasemon mungkin memang tak logis. Tapi terkadang ia titis, tepat sasaran, mengena.

Tersedia data, dalam pembacaan harfiah, yang menunjukkan bahwa pasemon itu memang mengena. Banyak survei menyebutkan, tingkat konsumsi rumah tangga selama Ramadan justru melonjak drastis di kisaran 50-100 persen dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Konsumsi rumah tangga itu didominasi oleh makanan. Mungkin kita tak sadar, jumlah makanan yang tersedia di meja makan selama bulan Ramadan, baik untuk berbuka maupun sahur, lebih banyak dan lebih beragam dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Artinya, data itu menunjukkan bahwa kita mengonsumsi makanan lebih banyak dibandingkan dengan ketika tidak berpuasa. Bisa juga dibaca, bahwa puasa tidak membuat kita bisa mengendalikan atau mengelola nafsu akan makanan, melainkan hanya memindahkan waktu untuk menyantap segala yang ada. Maka, adakalanya poso, atau puasa, justru membuat banyak orang makin rakus. Atau, juga, rakus dalam arti yang seluas-luasnya.

Pasemon ini, nopo-nopo kerso, mungkin sekadar mengingatkan bahwa kita bisa saja melenceng jauh dari tujuan sebenarnya untuk apa kita berpuasa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan