Pondok Lirboyo Setelah 100 Tahun…

8,206 kali dibaca

Jawa Timur adalah gudangnya pondok pesantren besar dan terkenal. Salah satu di antaranya adalah Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Pondok pesantren ini memiliki kurang lebih 28.000 santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia (dikutip dari medcom.id, 18 Mei 2020). Pondok Pesantren Lirboyo ini juga berumur lebih dari 100 tahun.

Lirboyo dahulu merupakan sebuah nama desa di Kediri yang terletak di barat Sungai Brantas, di Lembah Gunung Wilis, yang kemudian dijadikan nama sebuah pondok pesantren. Pada awalnya, Pondok Lirboyo hanya menggunakan metode pembelajaran bandongan dan sorogan. Dengan didirikannya Madrasah Hidayatul Mubtadiien, metode pembelajaran ditambah klasikal.

Advertisements

Pondok pesantren ini mengasuh ribuan santri  putra dan santri putri. Letaknya berada di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Pondok Pesantren Lirboyo hampir setiap tahun mengadakan pertemuan para ulama Nusantara. Pertemuan ulama Nusantara umumnya membahas permasalahan penting masyarakat muslim di Indonesia.

Sebelum ada Pondok Pesantren Lirboyo, menurut cerita dari berbagai sumber, dahulu desa Lirboyo dikenal sebagai sarang penyamun dan perampok. Kiai Sholeh, seorang dai alim yang berasal dari Desa Banjarmelati, berinisiatif untuk mensyiarkan Islam di Lirboyo. Akhirnya, Kiai Sholeh memutuskan bahwa yang dakwah di Lirboyo itu dirintis salah satu menantunnya, KH Abdul Karim.

Kiai Sholeh dan KH Abdul Karim berasal Magelang, Jawa Tengah. Kepala Desa Lirboyo memang pernah memohon kepada Kiai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di Desa Lirboyo. Berdasarkan pertimbangan tersebut, akhirnya KH Abdul Karim memutuskan untuk menetap di Desa Lirboyo pada 1910.

Dengan senang hati, Kepala Desa Lirboyo mempersilakan KH Abdul Karim memulai berdakwah di Desa Lirboyo. Hal tersebut karena pemikiran Kiai Sholeh sejalan dengan harapan Kepala Desa Lirboyo. Kiai Sholeh berharap, dengan menetapnya KH Abdul Karim di Lirboyo, syiar agama Islam lebih luas dikenal masyarakat khususnya di Desa Lirboyo. Dengan hal tersebut, diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman tenteram.

Kiai Abdul Karim akhirnya tinggal di Lirboyo setelah mendapatkan rekomendasi Kiai Sholeh dan permintaan Kepala Desa Lirboyo. Setelah menempati tanah waqaf, Kiai Abdul Karim mendirikan surau kecil sederhana. Tak berselang lama, ada santri yang ingin tholabul ilmi atau menimba pengetahuan agama kepada Kiai Abdul Karim. Santri pertama yang belajar di Lirboyo adalah Umar yang berasal dari Madiun. Kedatangannya disambut baik oleh Kiai Abdul Karim karena tujuannya baik. Selama menjadi santri, Umar sangat ulet, telaten, dan taat kepada kiainya.

Setelah beberapa tahun lamanya, ada lagi tiga santri yang ingin menimba ilmu agama. Ketiga santri itu adalah Yusuf, Shomad, dan Sahil yang menyusul jejak Umar yang ingin belajar kepada Kiai Abdul Karim. Ketiga santri tersebut berasal dari daerah asal Kiai Abdul Karim, yaitu Magelang, Jawa Tengah. Tak lama dari kedatangan ketiga santri dari Magelang, disusul lagi kedatangan Syamsuddin dan Maulana yang berasal dari Gurah, Kediri, yang berniat menimba ilmu agama di sana.

Dengan bertambahnya tahun, bertambah pula jumlah santri. Pertambahan santri yang signifikan mendorong Kiai Abdul Karim berniat mendirikan masjid. Pada 1913, cikal bakal Masjid Lawang Songo mulai dirintis. Perintisan masjid itu disebabkan masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren. Masjid yang dianggap sebagai tempat umat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan seperti praktik salat berjamaah dan lain sebagainya.

Pembangunan awal Masjid Lawang Songo pada mulanya berbahan dasar kayu, baik dinding maupun atapnya. Setelah beberapa lama masjid itu digunakan, masjid  itu mengalami kerapuhan. Masjid dari kayu tersebut pernah hancur juga ditiup angin beliung. Akhirnya, Kiai Muhammad, kakak ipar Kiai Abdul Karim, mempunyai inisiatif untuk merenovasi masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang permanen. Kiai Muhammad menemui Kiai Abdul Karim untuk bermusyawarah mengenai perenovasian masjid.

Tidak lama kemudian, Kiai Abdul Karim mengutus H Ya’qub, adik iparnya, untuk sowan berkonsultasi dengan KH Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan renovasi masjid tersebut. Dari pertemuan itu disepakati bahwa dana pembangunan masjid dihimpun dari sumbangan para dermawan. Masjid Lawang Songo Lirboyo akhirnya berdiri pada 1928.

Saat itu, Masjid Lawang Songo menjadi masjid megah pada masanya. Masjid Lawang Songo dibangun dengan bergaya klasik. Gaya klasik tersebut terinspirasi arsitektur Jawa kuno yang diakulturasi dengan arsitektur Timur Tengah. Akulturasi arsitektur tersebut untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, yaitu kejayaan Daulat Fatimiyyah. Peresmian Masjid Lawang Songo Lirboyo dilakukan pada 15 Rabi’ul Awwal 1347 H/1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri Kiai Abdul Karim yang kedua, Salamah dengan KH Manshur Paculgowang.

Pusat Studi Islam

Seiring perkembangan zaman, Pondok Pesantren Lirboyo berkembang menjadi pusat studi Islam sejak puluhan tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam peristiwa mempertahankan kemerdekaan RI, Pondok Pesantren Lirboyo ikut berperan dalam pergerakan perjuangan dengan mengirimkan santri-santrinya ke medan perang pada 10 November 1945 di Surabaya.

Sebagai Pusat pendidikan Islam, Pondok Pesantren Lirboyo mencetak generasi bangsa yang cerdas ruhaniyah, juga cerdas intelektual, dan kompeten di berbagai bidang. Pondok Pesantren Lirboyo memadukan antara tradisi dan inovasi agar mampu mengikuti tantangan zaman. Hal tersebut terbukti dengan tokoh-tokoh yang salih di bidang keagamaan, sosial, dan IPTEK yang merupakan alumni Pondok Pesantren Lirboyo.

Dewasa ini, Pondok Pesantren Lirboyo menyelenggarakan jenjang pendidikan mulai tingkat Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), hingga Aliyah (SMA). Lirboyo juga menyelenggarakan I’dadiyah, yaitu pendidikan yang lebih memfokuskan untuk kajian al-Quran, Hadits, tauhid, fikih, dan lain-lain yang menyangkut agama Islam. Selain itu, Lirboyo juga memiliki Ma’had Aly, yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam berbasis pada kitab kuning yang diselenggarakan pondok pesantren.

Untuk menunjang kegiatan belajar, pengelola telah melengkapi Pondok Pesantren Lirboyo dengan fasilitas yang cukup memadai. Di tempat ini sudah tersedia masjid, asrama santri dengan jumlah 500 unit kamar, gedung sekolah dengan 110 kelas, perpustakaan representatif, laboratorium bahasa dan komputer, gedung auditorium Al-Muktamar, Rumah Sakit Umum Lirboyo, kantin, minimarket, dapur umum, sanitasi, dan MCK (mandi, cuci, dan kakus).

Para santri di Pondok Pesantren Lirboyo dibekali berbagai kompetensi seperti ilmu agama, mata pelajaran formal, dan beragam ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut mencakup pendidikan jurnalistik, kursus seni baca al-Quran, kursus bahasa Arab, kursus bahasa Inggris, kursus pembawa acara, kursus falak, kursus jurnalistik, kursus komputer, kursus kepribadian, kursus pidato, hingga organisasi jamiyah.

Bahan bacaan:

https://lirboyo.net/ diakses Rabu, 15 Juli 2020.

https://radarkediri.jawapos.com/read/2019/10/04/159115/kisah-serban-kh-abdul-karim-dan-beduk-tertua-di-ponpes-lirboyo diakses Kamis, 16 Juli 2020.

http://tabloidjawatimur.com/pondok-pesantren-lirboyo-kediri/#:~:text=Sejarah%20berdirinya%20Pondok%20Pesantren%20Lirboyo,)%2C%20putri%20Kyai%20Sholeh%20Banjarmelati, diakses Rabu, 15 Juli 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan