Polemik Toa dan Sikap Tengah

749 kali dibaca

Seumpama kisah lama yang terulang kembali. Secara resmi Menteri Agama (Menag) menerbitkan surat edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022. Inti penting dari SE tersebut tidak lain adalah aturan yang terkait dengan penggunaan pengeras suara.

Itu mengingatkan saya pada kasus Meiliana yang divonis penjara karena protesnya atas pengeras suara. Hal hampir senada, datang dari istri sutradara Hanung Bramantyo, Zaskia Adya Mecca. Pada April 2021, ia memprotes pengeras suara di dekat tempat tinggalnya karena dinilai tidak etis cara menggunakannya. Kedua kasus di atas tentu menuai atensi—baik positif maupun negatif.

Advertisements

Sama seperti kedua kasus itu, apa yang baru-baru ini dilakukan oleh Menag mengundang hal serupa. Ada pihak pro dan kontra ketika Menag menerbitkan SE disertai potongan video. Ini sungguh de javu, dan barangkali akan terus berulang.

Tidak akan pernah ada suara yang seragam ketika membahas ihwal aturan pengeras suara. Salah satu hal yang menjadi pemicunya karena ia membawa sentimen agama. Meski tidak semuanya, sebagian yang menolak menganggap bahwa hal demikian membatasi umat Islam. Di saat bersamaan, ada pihak yang tersinggung karena analogi yang dilakukan Menang dengan gonggongan anjing.

Saya kira apa yang dilakukan Menag dengan analoginya tidak sepenuhnya salah. Karena tidak sepenuhnya salah, ia juga tidak sepenuhnya benar. Jika ingin berada di sikap tengah pada problem ini, maka jalan yang dilakukan adalah mengonsep dengan elegan pengaturan pengeras suara tersebut.

Saya memahami, bahwa apa yang dilakukan oleh Menag dengan analoginya tidak hendak menyamakan orang azan dengan gonggong anjing. Ia hanya ingin menyampaikan suatu analogi di mana sebetulnya suara yang berlebih (apalagi bising) tidak membuat nyaman. Namun, barangkali ini menjadi kealpaan Menag, ia sejatinya bisa memilih dengan analogi lain. Ada banyak alternalif ketika akan melakukan analogi dalam konteks itu. Ketika analoginya dengan sesuatu yang sangat sensitif justru akan terjadi gejolak baru.

Tidak cukup sampai di situ. Jika Menag memang bersungguh-sungguh dan tidak hanya sekadar melayangkan SE, ada langkah konkret yang harus dilakukan. Entah itu sosialisasi dengan ketua ormas dan semacamnya. Kalau ihwal aturan pengeras suara hanya sebatas wacana berupa SE yang terjadi hanya keributan. Sementara tujuan dari dilayangkannya SE tersebut ternyata tidak terealisasi dengan baik. Sehingga, yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Menag adalah hal yang sia-sia. Saya yakin, Menag tidak senang dengan pekerjaan yang sia-sia, bukan?

Dari itu, catatan di sini terakit dengan polemik pengeras suara ada dua. Pertama, hendaknya hal tersebut diedarkan dan dikemas dengan sebaik mungkin. Hanya dengan cara ini, barangkali umat tergerak hatinya untuk memahami duduk perkara. Dengan ini pula tidak akan ada analogi antara pengeras suara di masjid dengan gonggong anjing. Meski, untuk problem yang terakhir saya tidak menganggap mutlak keliru. Hanya saja—perlu dicatat baik-baik—‘hanya saja’ kurang elegan dan terlalu sensitif.

Kedua, ada langkah konkret yang ditempuh oleh Menang. Soal bagaimana langkah tersebut, itu mutlak bukan wilayah saya, Menag pasti lebih mampu memahami dan memikirkan.

Selain itu, posisi kita sebagai umat yang paling ideal adalah berada di posisi tengah. Tidak terlalu condong terhadap Menag yang dalam hal ini kurang ideal memberi analogi. Juga tidak memihak kepada pihak kontra yang membabi buta karena menganggap hal tersebut pembatasan ruang gerak Islam.

Sikap yang ideal dan sungguh elegan dalam kasus ini tidak lain adalah berada di pihak tengah. Hanya sikap moderat yang mungkin kita lakukan dalam hal ini. Setelah diingat-ingat, bukankah Menang juga mengusung visi moderat? Di mana?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan