Pesantren sebagai Miniatur Keindonesiaan

3,617 kali dibaca

Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pesantren memiliki ciri khas tersendiri. Dalam rekaman sejarah, pesantren telah memainkan perannya sebagai lembaga pendidikan jauh lebih awal sebelum lembaga-lembaga pendidikan tersebar dengan konsep klasikal.

Salah satu hasil penelitian menyebut bahwa pesantren bermula dari sistem pesantren yang diterapkan oleh orang-orang Hindu pra-Islam di wilayah Nusantara. Hal ini didasarkan pada temuan adanya keserupaan lembaga pendidikan dalam masyarakat Hindu dan Budha  seperti di India, Myanmar, dan Thailand.

Advertisements

Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Di sini, istilah pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal para santri. Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren berpendapat, bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Kemudian, pesantren dikenal sebagai lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf.

Seiring perjalanan waktu, maka lahir pesantren-pesantren kuno dan besar yang telah berkembang menjadi pusat-pusat penyiaran Islam, seperti Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebuireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi), dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lagi lainnya.

Dengan pendidikannya, berdasarkan rekaman sejarah, pesantren telah memainkan peranan penting dalam perkembangan masyarakat Nusantara hingga lahirnya Negara Indonesia. Terbukti, dengan kiai dan tokoh pesantren yang menjadi pelopor dan bagian dari gerakan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka pun, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia karena terus memainkan peran strategisnya. Bahkan Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh Pendidikan Nasional sekaligus sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan R I yang pertama, menyatakan, bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Hakikat Pesantren

Potret pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren, yang juga menjadi tempat tinggal kiai.

Disamping itu, juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya, kompleks pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren, kiai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.

Nilai kearifan lokal pesantren adalah karismatik, santun, etika, disiplin, keteladanan, tata krama, sabar dan syukur merupakan dua hal penting yang harus ada pada pribadi kaum muslimin dan kaum muslimat semuanya karena hidup menjadi bahagia harmoni dan sentosa hanya cukup di raih dengan dua hal tadi yakni bila mendapatkan nikmat bersyukur dan bila mendapatkan musibah bersabar. Kebersihan, kerjasama, keimanan, tanggung jawab, kesehatan, empirik, manfaat, kebersihan, keindahan, kewibawaan, kerapihan, kearifan, ketaqwaan. Itulah nilai- nilai kearifan lokal yang sepatutnya harus dilestarikan dan dijaga

Hasil didikan santri di pesantren ditentukan oleh kepemimpinan kiai, karena kiai sebagai seorang pemimpin di pesantren selalu membekali pengetahuan dan juga penerapan atau internalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren bisa disebut Six Value System atau enam sistem nilai.

Pertama, teological value (nilai teologis). Teological value merupakan nilai-nilai yang berbasis pada wahyu ilahi, atau dalil-dalil naqli, yakni al-Quran, hadits, dan ijtihad para ulama. Pengembangan nilai teologis dalam konteks pendidikan ini akan mampu melahirkan insan-insan yang beriman, bertakwa, sabar, tawakal, syukur, dan sebagainya.

Pada dasarnya, cita-cita pendidikan memiliki relevansi yang kuat dengan cita-cita agama (Islam). Hal itu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengebangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Kedua, phisic and psichological value (nilai fisik dan psiologis). Ini merupakan nilai-nilai yang berbasis pada hukum alam semesta. Hukum alam yang berifat sunatullah mengandung aturan yang konsisten dan pasti. Seorang pemimpin dan pendidikan yang baik, terpancar dalam sikap dan perilakunya, untuk tidak bertentangan dengan sunatullah (hukum-hukum alam), termasuk hukum negara.

Manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardi) sejatinya memperlakukan alam raya dengan sebaik- baiknya. Karena, kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia terhadap alam itu akan kembali kepada manusia itu sendiri.

Ketiga, logical value (nilai logika). Logical value merupakan nilai-nilai yang berbasis pada akal pikiran manusia. Akal pikiran manusia memiliki cara kerja yang konsisten, yaitu dapat membedakan yang hak (benar) dan yang batil (salah). Daya pikir melahirkan logika yang dikembangkan dan dipertajam dengan cara mengembangkan pemahaman terhadap fenomena alam melalui proses berpikir (tafakur). Bagi Al-Latas, setiap ruh insan memiliki daya akliyah (cognitive power) yang dapat membentuk dan menyampaikan isyarat-isyarat bermakna (meningful signs). Daya aqliyyah ini juga memiliki daya untuk membuat penilaian moral, membedakan antara yang benar dan yang palsu.

Keempat, etical value (nilai etika). Ethical value yaitu nilai-nilai yang berbaisi pada nilai kebaikan. Ahmad Amin mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju manusia di dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Kelima, estetical value (nilai estetik). Estetical value yaitu nilai yang berbasis pada nilai keindahan. yakni mencintai keindahan secara universal, indah dalam bersikap, berucap, bertindak. Atas dasar itu, pendidikan akan mencerminkan sikap dan perilaku yang ramah, santun, toleran, menghargai orang lain, dan cinta kepada sesama. Orang yang tidak senang pada orang lainlah yang paling banyak menjumpai kesulitan dalam hidupnya dan mengakibatkan kesusahan pada orang lain. Dari orang semacam itulah timbul kegagalan seluruh manusia.

Keenam, teleological value (nilai kemanfaatan). Teleological value adalah nilai- nilai yang lebih mengedepankan unsur-unsur manfaat. Nilai-nilai ini akan senantiasa melahirkan sikap, ucap, tindakan, serta keputusan yang bermanfaat baik secara individual maupun komunal.

Miniatur Keindonesiaan

Apabila keenam nilai tersebut tumbuh dalam jiwa santri, maka dapat dipastikan santri akan memiliki sifat-sifat beriman, bertakwa, tawakal, cerdas, jujur, adil, amanah/tanggung jawab, disiplin, dan ikhlas.

Kehidupan di pesantren memiliki nilai yang tinggi yang mana para santri dari segala daerah mulai Sabang hingga Merauke berkumpul menjadi satu. Secara tidak langsung, interaksi sosial santri akan banyak bersinggungan dengan suku, budaya, dan etnis bermacam-macam. Di sinilah konteks pesantren sebagai miniatur kehidupan kebinekaan Nusantara.

Miniatur kehidupan santri yang telah terbiasa dengan perbedaan dan keragaman ini akan menuntun dan mendewasakan santri yang kelak akan kembali pulang ke daerahnya masing-masing. Di sinilah peran pesantren dalam menanamkam nilai-nilai yang menghargai dan menghormati keberagamaan.

Dengan demikian, pada wilayah nilai pluraritas masyarakat Indonesia, santri lebih cakap melihat realitas sosial budaya dan realitas sejarah keragaman di Nusantara. Di sini pesantren, menanamkan nilai-nilai untuk pembentukan karakter yang berwawasan luas dari pada pelajar yang belajar di luar pesantren. Hal ini terbukti banyaknya para alumni pesantren yang tersebar di Nusantara, yang mampu membina masyarakat melalui pendidikan dan pembelajaran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan