Pesantren dan Pergeseran Nilai Haflatul Imtihan

2,243 kali dibaca

Di pesantren-pesantren, pada akhir tahun pelajaran (akhirus sanah) biasanya diadakan sebuah perayaan. Perayaan ini biasa disebut sebagai haflatul imtihan. Haflatul imtihan sendiri menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para santri, sebab selain perayaannya yang seringkali disuguhkan dengan meriah, pada momen itu juga penentuan kelulusan para santri keluar.

Mulanya, acara haflatul imtihan memang dikemas dan bertujuan untuk perayaan kelulusan santri dan akhir tahun ajaran, mengenang pendiri pesantren, temu alumni, dan silaturrahmi antar santri, wali santri, kiai, tokoh masyarakat, dan masyarakat secara umum. Kemasan acaranya pun dibingkai dengan semenarik mungkin, tak ayal jika para santri sangat menanti-nanti momen tersebut.

Advertisements

Satu minggu sebelum acara atau bahkan bisa lebih dari itu, lomba-lomba digelar sebagai hiburan. Mulai dari yang berbau olahraga, seni, budaya, akademik, dan lain-lain, dengan tema-tema kepesantrenan, keindonesiaan, dan keislaman yang diusung. Hal ini terbukti ampuh menjadikan kemasan haflah jauh lebih menarik dari sekadar hanya acara ceremonial yang cenderung monoton.

Tidak hanya itu, pertunjukan-pertunjukan seni juga berkontribusi sebagai pengisi acara. Lumrahnya —di desa saya dan sekitarnya— pesantren yang sedang mengadakan haflatul imtihan mengadakan sebuah karnaval, parade kostum, fragmentasi, atau paling tidak diadakan pawai obor sebagai pelengkap suasana. Ini juga yang menarik perhatian masyarakat sekitar untuk ikut menyemarakkan haflatul imtihan yang akan digelar. Selain itu, pertunjukan pentas tari yang ditampilkan oleh anak-anak kecil Taman Kanak-kanak (TK) juga memberi ketertarikan tersendiri bagi hati masyarakat.

Namun, jauh api dari panggang, akhir-akhir ini haflatul imtihan tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Eksistensinya —beberapa— justru keluar dari rel yang asli. Kemasan yang ditampakkan pun cenderung menyalahi nilai-nilai kepesantrenan yang luhur. Ada semacam kontradiktif di dalamnya yang dalam beberapa masyarakat tertentu malah dianggap sebagai hal yang wajar atau lumrah.

Realitas-realitas tersebut bisa dilihat dalam beberapa tahun terakhir. Penampilan-penampilan yang sama sekali tidak mencirikan  nilai pesantren justru ditampilkan dengan sangat percaya diri. Jelas, hal tersebut adalah sebuah tindakan profan yang bisa saja meruntuhkan citra pesantren di tengah masyarakat.

Saya pribadi pernah menangkap peristiwa-peristiwa tersebut (penampilan tidak senonoh), baik secara langsung atau tidak. Peristiwa yang masih bisa ditoleran —menurut saya— adalah ketika perayaan haflatul imtihan dibuat sebagai ajang pertunjukan dan persaingan dalam masyarakat hedon. Beberapa waktu yang lalu, saya pernah berbincang dengan paman saya yang menetap dan berkeluarga di sebuah pulau.

Pada pulau tersebut (tanpa saya sebut nama) budaya hedon antar-masyarakatnya sangat pekat. Bahkan mereka saling bersaing dalam hal ekonomi dan saling unjuk gigi. Sifat gengsi yang sudah menjalar lantas sulit dilepaskan, bahkan ketika perayaan haflatul imtihan.

Di sebuah madrasah pada pulau tempat paman saya tinggal, setiap kali ada perayaan haflah (karnaval), para orang tua santri berlomba-lomba merias anaknya agar tampil paling bagus dari yang lainnya. Tak sedikit biaya yang digelontorkan, menurut penuturan paman bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta. Jumlah yang mungkin tidak terlalu besar bagi mereka dibanding harus bertekuk lutut dalam kegengsian. Biasanya mereka akan mengundang sendiri kuda-kuda sewaan, lengkap dengan drumband dan saronen-nya. Itu semua tentu tidak murah.

Realitas paling menjengkelkan  saya temui di beberapa video yang beredar, di mana acara haflatul imtihan yang harusnya khidmat dengan pengajian dan kehangatan silaturrahmi, malah terkontaminasi dengan biduan-biduan yang tampil lengkap dengan saweran dari penonton. Saya tidak sedang mempermasalahkan biduan atau sawerannya, namun yang menjadi persoalan adalah latar tempat dan suasana pada pertunjukan biduan-biduan itu.

Salah satu Majelis Wakil Cabang (MWC) NU di Sumenep setidaknya telah mengeluarkan fatwa melalui hasil Bahtsul Masail yang digelar. Seperti yang kebanyakan warga Nahdliyin ketahui, Bahtsul Masail dalam internal NU memang berfokus pada perumusan hukum-hukum untuk problematika yang belakangan bermunculan, termasuk dalam menghukumi saweran tersebut.

Dilansir dari NU Online Sumenep, Bahtsul Masail itu dilakukan oleh MWC NU Kecamatan Guluk-guluk, dengan rumusan masalahnya yakni mengenai saweran. Dalam hasil keputusan yang ditetapkan, kesimpulan hukum dari proses pembahasan hukum tersebut didapatkan hukum haram untuk pertunjukan biduanita dan sawerannya, lebih-lebih hal tersebut dilakukan pada acara haflah.

Ada beberapa kitab dan pendapat ulama yang djadikan hujjah dalam keputusan itu, di antaranya adalah kitab I’anah Thalibin, Is’adur Rafiq, Madzahibul Arba’, dan al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra.  Salah satu hujjah yang dipakai untuk memutuskan problematika itu adalah diambil dari kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra juz 1 halama 199;

اما رقص النساء امام من لا يحل لهن فانه حرام

Adapun wanita yang menari di depan orang yang tidak halal baginya (baca; bukan muhrimnya), maka hukumnya haram.

Pendapat atau keputusan ini —dalam beberapa laman media sosial— masih menuai pro kontra terkait hukum yang dikeluarkan. Ada beberapa netizen yang bahkan berpendapat bahwa persoalan ini dikembalikan pada masyarakat, tergantung keyakinan mereka. Sebab, menurut beberapa dari mereka menyebut, ada yang lebih pantas dibahas selain problem biduanita dan sawerannya dan memerlukan produk hukum yang pasti.

Terlepas dari kontradiksi demikian (perbedaan pendapat ihwal konteks hukum), biduanita yang tampil di acara haflatul imtihan memang tidak bisa dibenarkan secara adab. Haflatul imtihan yang menjadi ciri khas perayaan pondok pesantren harusnya tetap sejalan dengan nafas pesantren yang ada, jangan sampai dirusak dengan pertunjukan-pertunjukan dan tradisi yang tidak pantas digel;ar. Wallahu a’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan