Pesantren dan Peradaban Ilmu di Indonesia

1,415 kali dibaca

Pesantren menjadi lembaga tertua di bumi Nusantara sebelum sistem lembaga pendidikan yang lain ada. Ini, secara sosio-historis, majelis ilmu sudah termanifestasikan dengan adanya pondok dan surau-surau di berbagai penjuru Nusantara.

Proses islamisasi di Nusantara secara historis menjadi proses awal yang tidak boleh terhapus oleh zaman. Nilai-nilai Islam yang dibawa para intelektual dari negeri seberang menorehkan kejayaan di bumi Nusantara ini. Ini menjadi proses yang lama dan penuh rintangan dari penduduk asli Nusantara dalam menerima islamisasi.

Advertisements

Menurut teori, penyebaran Islam di Nusantara berlangsung dari empat sumber: penyebaran datang dari Arab, dari China, Eropa, dan dari Hindia. Secara garis besar memang belum bisa terindentifikasi kejelasan dari empat negeri itu. Akan tetapi, perbedaan ini tidaklah mengapa, yang terpenting Islam telah menyebar di Nusantara.

Prof KH Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo, pernah berkata dalam satu ceramahnya, bahwa Nusantara ini awalnya mempunyai agama yang tumbuh subur dari manusia asli pribumi itu sendiri, yakni agama “kapitayan”, agama yang mempercayai segala hal yang mempunyai kekuatan (energi mistis) dari Tuhan. Kita sering mendengarnya dengan istilah animisme dan dinamisme, mempercayai pada roh-roh leluhur atau tempat dan benda keramat.

Dengan demikian, Islam, seperti halnya Hindu dan Budha, bukan asli agama dari bumi Nusantara. Namun, keberadaan pondok, surau, atau langgar adalah bukti bahwa Islam telah lama hadir di Nusantara. Kelembagaan pesantren tidak berbasis pendidikan formal seperti yang sekarang kita ketahui, akan tetapi lebih merupakan sistem pendidikan informal, yakni sistem yang dibentuk oleh pemimpin/sunan /ajengan/kiai secara terpusat (khusus). Tidak heran corak pesantren begitu banyak dengan kekhasan sendiri-sendiri.

Dalam perkembangannya, pesantren menjadi corak keberislaman muslim di negeri ini. Salah satu corak Islam di Nusantara adalah berbedanya menyikapi nilai-nilai Islam yang berasal dari jazirah Arab dengan mengkonstruksikan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadits, kemudian disesuaikan dengan kultur, budaya, serta historis daerah masing-masing.

Sebelum Islam datang ke Nusantara, sudah kerajaan-kerajaan besar dan kuat yang mengatur segala aspek kehidupan orang-orang di wilayahnya. Salah satu bentuknya adalah hierarkhi kelas antara kaum gusti (orang yang di dalam kerajaan) dan kaum kawula (orang yang di luar kerajaan). Terbentuknya corak pemerintahan seperti ini dimaksudkan untuk mensejahterakan orang-orang yang di bawah pimpinan sang raja (sultan).

Secara umum, seorang raja mempunyai kapabilitas menjadi eksekutif, yudikatif, dan legislatif.  Tiga jenis kekuasaan pada teori trias politica ini meliputi kekuasaan (pelaksana undang-undang), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).

Begitu masif, terstruktur, dan sistematis otoritas seorang raja ini membuat para tokoh Islam yang kita sebut Wali Songo secara terselubung sudah memahami corak masyarakat di Nusantara ini, yakni masyarakat yang sangat patuh kepada pemimpin. Ini didasarkan keyakinan yang mendasarkan kebijakan dan keputusan dari raja merupakan kebenaran mutlak.

Pesantren kemudian tumbuh dalam corak masyarakat seperti ini. Dalam perkembangannya, pesantren menjadi salah satu entitas yang harus dikembangkan agar tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, ada tiga stakeholder yang harus bekerja dan berjuang untuk membumikan sistem pendidikan yang bisa menjawab tantangan, tapi tidak membuang ciri khas ke-Indonesia-an kita: ketiganya adalah ulama, intelektual/akademisi, dan pemerintah

Proses pendidikan yang menjadi pilar manusia bisa terakomodasi oleh para ulama, yang mana proses pembentukan masyarakat madani akan tercover secara masif. Kemudian, di bidang keilmuan, secara kapabilitas akan dipelopori oleh para intelektual muslim. Pelbagai penelitian ilmu menjadi penerapan Islam inklusif yang mana kacamata agama berbanding lurus dengan ilmu sains dan teknologi. Sementara itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memberikan peluang sebesar-besarnya untuk khazanah ilmu, misalnya dengan membentuk lembaga peradaban Islam Indonesia.

Pada saatnya, peradaban Islam di Indonesia akan memberikan warna khazanah ilmu di dunia. Sejarah awal Nusantara yang kita miliki akan dimunculkan di dataran bumi Indonesia. Naskah-naskah peninggalan para penulis dan raja-raja di setiap kerajaan dapat dijadikan dasar untuk membentuk pola awal dalam pembentukan peradaban ilmu di Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan