Pesantren dan Kitab Klasik

908 kali dibaca

Membincang antara pesantren dan kitab klasik ibarat melihat dua sisi mata uang. Satu sama lain adalah hal yang seolah-olah tidak bisa dipisahkan. Siapa pun ketika membahas pesantren secara tidak langsung pula harus menyinggung kitab-kitab klasik di dalamnya.

Posisi saya di sini hendak menegasi hal tersebut, bagaimana sejatinya pesantren dan seharusnya. Tetapi, saya harus terlebih dahulu mengakui bahwa pesantren memang tidak bisa terlepas dari kitab klasik. Namun, saya juga memberi semacam jalan alternatif bahwa hal itu (kitab klasik) bukan satu-satunya hal yang niscaya dan tak tergantikan dalam tubuh pesantren. Dari titik ini, saya mungkin akan memulai bahwa pesantren juga bisa keluar dari kungkungan kitab klasik tersebut.

Advertisements

Keluar bukan berarti harus meninggalkan, melainkan menjadikan sesuatu yang baru sebagai penyerta. Dengan demikian, kitab klasik tidak menjadi hal tunggal yang ada. Eksistensi kitab klasik membutuhkan penunjang lain sebagai kekayaan wawasan. Saya kira, memasukkan buku yang notabene bukan bahasa Arab juga tak kalah penting. Kita membaca hal tersebut dari sudut pandang dunia hari ini yang serba komplit. Zaman bergerak tak terhenti dan keadaan menuntut siapapun—termasuk santri—memiliki wawasan luas. Dari sana, keberadaan kitab klasik di pesantren mungkin mulai terguncang, atau sengaja digunjang. Secara kasar, kita bisa bilang, tidak mungkin untuk terus-terusan belajar dari satu sumber.

Belajar dari kitab klasik adalah penting. Di sisi yang lain kita harus waspada dan tidak lengah terhadap tantangan yang jauh lebih besar. Santri secara tidak langsung dituntut untuk kosmopolit. Dalam artian, wawasan yang dimilikinya tidak harus dan hanya bersumber dari kitab-kitab klasik. Persaingan dan masa depan pesantren juga bisa dimulai dari sana. Kita paham bahwa merawat tradisi lama adalah keharusan. Namun, inovasi dan pembaruan merupakan keharusan lain. Pada akhirnya kita memang akan sedikit pelan-pelan mulai merangkak dari kitab klasik. Cepat atau lambat—meski tidak mengabaikan—kita juga akan menerima hal lain, selain dari kitab klasik.

Pada intinya, tulisan ini adalah sebuah usaha persuasif bahwa membaca tidak selalu yang bersumber dari kitab klasik. Bahwa belajar tidak harus berasal dari kitab dengan warna kuning manis. Kita sudah semestinya membuka ruang bagi pertaruangan wacana dan pemahaman lain, di luar apa yang ada dalam kitab klasik.

Namun, setelah dipikir ulang, ini juga mungkin akan sulit diterima apalagi di kalangan pesantren. Proses penyakralan terhadap teks kitab klasik adalah hal yang tak bisa dihindari lagi. Hal tersebut yang keseringan menutup ruang bagi pemahaman lain yang tidak bersumber dari kitab klasik. Pemahaman-pemahaman baru yang baru bergulir juga keseringan sulit mendapat tempat. Kitab klasik adalah kiblat di dalam dunia pesantren, secara tidak langsung.

Mari sama-sama kita koreksi, sejauh mana hal pemikiran-pemikiran non-klasik dapat eksis di pesantren? Saya tidak bisa memberikan jawab yang jelas dan detail. Tapi, saya bisa memberi semacam satu ruang di mana semestinya pemahaman baru juga dikasih tempat yang nyaman. Mengapa harus demikian, mungkin akan banyak orang bertanya. Agar ketika sudah menghadapi dunia luar, para santri yang sudah lulus tidak kaget dengan hal-hal baru dan berbeda pula.

Akan menjadi suatu pemandangan yang menarik jika pesantren mulai mengkaji banyak hal yang juga fundamental di tubuh masyarakat, seperti ekologi umpamanya. Hal tersebut sungguh menarik.

Fakta di lapangan berkata, hanya sebagian kecil pesantren yang sadar akan hal itu. Hal sebagian kecil —atau bahkan tidak ada— pesantren yang mau mengakomodasi pemikiran dan paham di luar kitab klasik. Permasalahan kita hari ini sangat kompleks, tidak mungkin selesai dengan sebuah ibarat atau maqal dari kitab. Saya tidak hendak meremehkan isi dari kitab klasik, tetapi sekali lagi kita menghadapi suatu problem empiris yang kompleks. Problem-problem itu hanya akan selesai jika kita membuka jalan terhadap pemahaman lain, tidak melulu soal kitab. Saling melengkapi antara satu dan lainnya merupakan jalan paling ideal. Pesantren, bagaimanapun keadaannya, tetap menjadi harapan agama dan harapan untuk memecahkan problem sosial lainnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan