Pesantren dan Asimilasi Sosiokultural-Religius

1,719 kali dibaca

Dalam pandangan Soekmono (1974), mengutip dari buku Atlas Wali Songo karya Kiai Agus Sunyoto, ditegaskan bahwa proses islamisasi di Nusantara, khususnya di Jawa, melalui kebudayaan adalah bukti dari gerak asimilasi sosiokulutural-religius.

Berangkat dari premis yang mafhum kita dengar al-Muhafazhah ‘ala qaadimish shalih wal akhdu bil jadid al-ashlah, maka kontekstualisasi nilai lebih diutamakan dalam proses islamisasi yang dijalankan Wali Songo tersebut.

Advertisements

Strategi ini dilakukan beberapa sebab. Diketahui, masyarakat Jawa (baca: Nusantara) telah memiliki “agama murni” yang bernama Kapitayan yang sudah dianut selama berabad-abad. CC Berg menyebutnya sebagai kebudayaan purba. Yang dimaksud adalah, misalnya, masyarakat yang lebih mengenal lambang pelindung desanya daripada memuja dewa-dewa. Kita bisa melihat dari istilah punden (tungkub), tunda, tugu, tunggul, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, ketika ada pohon besar seperti pohon beringin yang diwingitkan (dikeramatkan) dalam konteks asimilasi kebudayaan bukan berarti kabur dari dewa-dewa, melainkan menghormati alam raya yang disimbolkan dengan pohon besar. Tidak jarang, ada sumber air yang kemudian memberi manfaat untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dan dikeramatkan.

Hal inilah yang harus digarisbawahi terlebih dahulu. Pertama, konteks penghormatan adalah hal utama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Nusantara. Kedua, kebudayaan menjadi objek asimilasi dalam gerak islamisai yang kelak ditempuh oleh Wali Songo.

Melalui strategi seperti inilah misi Wali Songo akhirnya bisa masuk dan berbaur dengan masyarakat, kemudian menyampaikan ajaran Islam. Karena dengan alasan kemanusiaan dan penghormatan itulah, Islam sebagai nilai menjadi titik awal pergerakan menjadi Islam sebagai akidah.

Dari Sunan Kalijaga yang menjadi dalang dan pemain teater, sampai Sunan Gunung Jati yang membuat gamelan dan perkakas tani, adalah bukti di mana Islam (sebagai nilai) hadir di setiap sendi kehidupan masyarakat. Ketika aspek itu disentuh, maka memudahkan Wali Songo untuk masuk ke dalam dan membaurkan diri dengan masyarakat.

Karena itu, strategi seperti ini perlu menjadi pijakan bagi pesantren dalam menggerakkan misi dakwah dengan menjadi bagian dari kontruksi sosial di masyarakat. Di dalam pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memadukan unsur padepokan, seorang santri harus belajar untuk mandiri dan bersikap dewasa dalam menghadapi kondisi sosialnya, dengan unsur intelektualitas, hal ini bisa melalui kajian-kajian. Artinya sebelum para santri benar-benar masuk ke dalam kondisi sosial yang sebenarnya, ia harus menggembleng dirinya terlebih dahulu. Dan pesantren menjadi wadah dalam hal ini.

Dengan orientasi sosial yang menjadi tujuan dasar kemanusiaan dan stimulus untuk menuju pada yang haq, maka pesantren sebagai warisan dari Wali Songo perlu menengok kembali kearifan yang sudah diwariskan secara turun temurun tersebut. Dalam hal ini adalah konsep dan konteks gerakan Islam yang fleksibel sebagai jawaban atas problem sosial yang selalu berkembang.

Sudah barang tentu ketika pesantren menjadi pusat pendidikan Islam, yang diharapkan adalah santri yang memiliki ragam kecapakan sosial. Dengan asumsi bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang-orang yang beragam, baik prinsip, ide, kreativitas, agama, dan budaya. Artinya ada pola sikap dan pola pikir keberagamaan yang beragam.

Harapan besar ini muncul karena konteks perilaku sosial yang semakin beragam modelnya. Tingkat keamanan individu seperti hak perempuan dan hak demokrasi, misalnya. Atau penguatan dan pemahaman atas konsep ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasar. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai keislaman. Artinya, Islam bukan melulu membahasakan benar dan salah, halal dan haram, mukmin dan kafir, dan lain sebagainya.

Ada hal yang lebih luas dari sikap personal tersebut, yaitu perilaku sosial, lebih khusus lagi kemanusiaan. Pesantren diharapkan oleh masyarakat menjadi ruang untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam konteks perilaku sosial tersebut. Seperti kepercayaan masyarakat terhadap pesantren untuk mendidik anak-anaknya. Yang mana kelak diharapakan menjadi anak-anak yang saleh. Kepercayaan tersebut bukan tanpa dasar, melainkan ada konsep yang dibangun sejak dulu, di mana pensantren memang menjadi pusat pembejaran dan pendidikan Islam, tidak hanya sebagai akidah, melainkan sebagai ajaran nilai.

Oleh karena itu, mengapa para wali tidak anti terhadap tari-tarian, gending, dan ragam budaya yang lebih awal ada sebelum Islam dikenal. Hal ini menunjukkan bahwa ada gerak asimilasi sosio kultural-religius.

Ada sebuah lirik jawa yang dikaitkan dengan Sultan Agung (Susuhuna Hanyakrakusuma, Senapati ing Ngalaga Abdurrahman, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram), di mana dapat kita temukan gambaran tentang asimilasi sosiokultural-religius yang berlangsung.

Rasa tuwuh-tuwuh seta, bisa dadi sarana
Mblengket bedo sing ana, sastra gending karipta, sastra gending karipta.
Ngamut pitutur luhur lan budaya misuwur,
Pitutur luhur budaya jawi, dadio pangiring iro, muga dadio pangiring ira.
Agama landesane manembah mring pangerane
Kabeh lampah ing umat, titis jangkep sinerat, titis jangkep sinerat.

Bahwa kemurnian itu muncul melaluu sebuah keindahan (sastra) yang mana diwujudkan dalam bunyi-bunyian (gending). Budaya Jawa (baca: Nusantara) memiliki sarana yang bisa menyatukan perbedaan, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati (moral, etika, dan lain sebagainya) keberagaman, pun sikap keberagamaan. Agama adalah landasan menuju Tuhan, pun mengandung nilai-nilai untuk menapaki perjalanan hidup (bermasyarakat, menjungjung tinggi kemanusiaan).

Oleh sebab itu pesantren adalah ruang yang lengkap dalam mengurai nilai-nilai untuk menjadi bekal kehidupan ke depan, menuju kemurnian Yang Satu. Dan mengapa keindahan? Karena sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan adalah salah satu wujud dari keindahan itu sendiri. Allah Maha indah dan menyukai keindahan.

Semoga renungan ini menjadi satu jalan menuju pada sikap saling asih dan asuh, serta menjadi penyemaian tumbuh kembangnya pesantren dalam mencetak generasi yang siap untuk menghadapi hiruk-pikuknya perkembangan zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan