Perpustakaan Pesantren dan Minat Baca Santri

315 kali dibaca

Rendahnya melek literasi masyarakat Indonesia, semakin ke sini tambah memprihatinkan sekali. Tidak hanya persoalan malas membaca, tapi budaya berkunjung ke perpustakaan pun senapas jua. Ventensius Gitiyarko pernah membahas problem genting ini di Harian Kompas pada 20 November 2023 lalu. Ia mengutip hasil jajak pendapat litbang Harian Kompas, bahwa separo (57,3 persen) yang mengetahui keberadaan perpustakaan daerah mengaku tidak pernah berkunjung; dan data dari Kemendikbudristek, bahwa indeks alibaca berada di angka 37,32 (2019) dalam skala 1-100, Gitiyarko merasakan perlunya usaha peningkatan minat baca.

Kegelisahan Gitiyarko mungkin juga sama seperti yang dialami oleh orang-orang yang prihatin akan pentingnya literasi. Dan di antara kegelisahan itu barang kali muncul dari kenyataan bahwa kondisi sosial masyarakat dalam konteks ini sangat paradoksal: Indonesia menempati urutan kelima terbanyak dalam kepemilikan gadget, tapi minat bacanya terendah kedua dari bawah, 0,001% (UNESCO). Padahal media-media literasi semakin berkembang bersamaan dengan kemajuan teknologi itu, seperti buku digital, koran digital, majalah digital, bahkan manuskrip-manuskrip kuno mulai didigitalisasi.

Advertisements

Perpustakaan: Titik Pusat Peradaban

Peran perpustakaan dalam meningkatkan melek literasi masyarakat sangat dibutuhkan, mengingat bahwa perpustakaan menjadi satu-satunya pusat semesta pergumulan literatur pengetahuan dan peradaban. Tak lekang dalam ingatan -dan itu tercantum dalam catatan sejarah Ibnu Khaldun- bahwa keruntuhan Baghdad, sekaligus kemunduran peradaban Islam, bermula pada titik pemusnahan manuskrip-manuskrip oleh pasukan Mongol yang konon sampai menghitamkan sungai Tigris (1258 M).

Tragedi pilu dunia pengetahuan itu, menjadi sebuah utopia, bahwa dunia sudah semestinya memasuki era modern lebih cepat. Namun, jika benar demikian, tak perlu hal itu disesalkan. Sebab, bagaimana pun kenyatannya, dunia literasi tetap berjalan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini.

Boleh saja dalam hal literasi, bangsa ini dipandang masih jauh dari bangsa-bangsa lain, terutama Eropa. Tapi, eksistentsi kepustakaannya masih dijaga dan diusahakan tetap hidup di tengah masyarakatnya. Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial yang diprogramkan pemerintah adalah satu bukti gaung keras itu.

Program tersebut mengandaikan peran dan fungsi perpustakaan bukan hanya dalam hal menyimpan dan meminjamkan buku, lebih dari itu, perpustakaan memfasilitasi masyarakat dalam pengembangan potensi di tengah keragaman budaya dan perubahan sosial; memberi kesempatan berusaha, serta melindungi dan memperjuangkan kesetaraan dan hak asasi. Semua itu haruslah direalisasikan agar perpustakaan tetap eksis sebagai titik pusat peradaban.

Santri dan Perpustakaan

Inklusi adalah sebuah pendekatakan guna membangun sebuah lingkungan yang terbuka bagi siapa saja dengan latar belakang apa saja, baik dari sisi karakteristik, kondisi fisik, status sosial, suku, atau budaya yang berbeda-beda. Semangat yang sama dengan bapak pendidikan bangsa, Ki Hadjar Dewantara, yang mengedepankan prinsip pendidikan inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kemampuan, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

Perpustakaan sebagai komponen penting di lingkungan pendidikan meniscayakan pengembangan fungsi dan perannya di “jurang” keterbatasan itu. Fasilitas yang memadai dan setara bagi siapapun dengan latar belakang minat yang berbeda-beda.

Pesantren sebagai salah satu lingkungan pendidikan berbasis keagamaan di Indonesia juga harus menjadi aktor dalam pemanfaatan yang maksimal terhadap eksistensi perpustakaan. Saya sebagai salah satu alumni pondok pesantren cukup prihatin terhadap minat baca para santri.

Pada tahun 2021, tepatnya ketika KKN DR (dari rumah) karena Pandemi, teman saya mengamati atau lebih tepatnya meneliti minat baca di pesantren kami. Hasilnya, ternyata masih rendah. Dan tambah lagi dari pengalaman pribadi, sesering saya pergi ke perpustakaan pesantren, saya bertemu dengan santri atau teman yang itu-itu saja, tak ada perubahan.

Padahal jika dilihat dari keadaan di mana santri dilarang mengoperasikan gawai, saya rasa itu dapat meningkatkan ketertarikan kepada buku, misalnya jauh dari kesibukan bermain game atau medsos. Namun, faktanya minat santri terhadap buku masih lesu dan nir-gairah. Lalu apa faktornya? Lingkungan? Ya, lingkungan pastilah yang utama, disusul kemudian hal-hal lain seperti fasilitas atau kegiatan-kegiatan pendukung.

Ketika lingkungan di sekitar kita sudah dipenuhi oleh orang-orang yang membaca kapanpun dan di manapun itu, maka lambat laun kita akan tertarik untuk juga membuka lembar demi lembar sebuah buku, lalu mulai suka dan mencintainya. Riset Fadila Ita Qulloh W telah membuktikan itu. Fadila mengungkapkan bahwa, kegiatan membaca maupun meminjam buku dapat memotivasi santri untuk membaca buku bersama-sama, dan tentu saja menghilangkan rasa bosan ketika membaca buku.

Selain lingkungan baca, fasilitas perpustakaan juga harus dikembangkan, termasuk genre buku yang beragam sesuai minat para santri yang berbeda-beda. Pengadaan buku yang lengkap ini akan membantu untuk membangkitkan gairah baca santri. Misal pengadaan buku-buku bagus, baik itu yang sudah lama maupun baru, seperti novel, sejarah, antologi puisi/cerpen, majalah, koran dll. Atau untuk santri yang mempunyai minat ke kitab turats, maka pengadaan kitab-kitab seperti fikih, tasawuf, tafsir, dan bahkan buku-buku sastra berbahasa Arab harus difasilitasi.

Perpustakaan yang lengkap dan lingkungan baca yang bagus, pada akhirnya akan senantiasa menarik minat-minat santri yang tidak suka baca buku. Sebab, terkadang ada santri yang sama sekali tidak mempunyai minat untuk belajar membaca kitab gundul, tambah lagi dihadapkan dengan perpustakaan yang buruk, bagaimana dengan masa depannya? Bukankah itu tanggung jawab lembaga pendidikan sebagai wadah para pencari ilmu?

Referensi:

Farah Arriani, dkk., Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

Fadila Ita Qulloh W, “Pengembangan Literasi Dalam Peningkatan Minat Baca Santri Pada Perpustakaan Mini Pesantren Pelajar Al-Fath Rejomulyo Kediri,” Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Nusantara (JPkMN) 1(2), Maret 2021.

Woro Titi Haryanti, “Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial,” TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA). 2(3). 2019.

Ventensius Gitiyarko, Grafikota Perpustakaan Masih Sepi Pengunjung, https://www.kompas.id/baca/metro/2022/08/24/ diakses pada 20 November 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan