Ijma merupakan salah satu dalil utama dalam penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis. Ia mempunyai peranan besar dalam proses penggalian sebuah hukum.
Seorang mujtahid, sebelum melaksanakan ijtihadnya, dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu apakah permasalahan yang sedang ia gali termasuk mujma ‘alaih atau mukhtalaf fih. Jika permasalahan yang sedang digali adalah mujma’ alaih, maka tidak ada ruang untuk berijtihad.
Ijma secara bahasa diambil dari kata kerja اجمع yang mempunyai dua makna. Pertama, tekad yang kuat atau bisa juga diartikan sebagai niat.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
Artinya: “Barangsiapa tidak niat puasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi & Nasa’i).
Sedangkan, makna kedua, ijma secara bahasa adalah kesepakatan terhadap suatu perkara (konsensus). Dengannya, istilah ijma didefinisikan sebagai kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad terhadap suatu hal.
Ijma mempunyai fungsi besar dalam proses berijtihad. Ia bisa mengubah suatu hasil ijtihad yang awalnya dzonni (asumsi) menjadi qoth’i (definitif). Dengan begitu, hasil hukum yang melalui proses ijma, mutlak tidak bisa diubah sama sekali.
Namun, tidak semua ijma mempunyai peranan sebagaimana tersebut. Syekh Ali Jum’ah membagi ijma menjadi dua.
Pertama, ijma ‘ammah adalah kesepakatan para imam mujtahid dan orang awam terhadap suatu hal. Seperti kesepakatan umat terhadap hukum wajibnya salat, haramnya zina, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ijma ‘ammah ini, tidak diperbolehkan siapapun mengingkarinya. Barang siapa yang mengingkari, maka akan dihukumi kafir.
Kedua, ijma khoshoh, adalah kesepakatan para imam mujtahid (seluruh mazhab) saja. Ijma kedua inilah yang dibahas dalam kitab-kitab ushul fikih.