Peri Kecilku yang Rapuh

1,227 kali dibaca

Riani. Aku mengenal dia saat aku menjadi panitia MOS di sekolahku. Saat itu aku sudah kelas 2 SMA dan menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Gadis kecil itu bagaikan peri yang sangat memesona. Semuanya terasa sangat menyenangkan ketika bersamanya. Keceriaan yang dia miliki menular di hidupku.

Dan aku mencintai Riani. Bukan hanya mencintai, aku juga sangat mengagumi dia. Cantik dan baik. Manis dan tulus. Berkarya dan tak pernah putus asa. Itulah Rianiku, Peri Kecilku yang begitu rapuh, namun sangat kuat dengan tekad yang bagai baja.

Advertisements

“Pagi-pagi kok udah nyampe, Kak. Tumben, ada apa?” tanya Riani padaku saat tiba-tiba aku muncul di depan pintu kelasnya. Dia memang sudah terbiasa berangkat pagi, dan pasti tahu juga kalau aku tidak pernah berangkat sepagi ini, jam setengah 6. Aku mengamati Peri Kecilku yang sedang memegang gagang sapu. Dia sedang piket kelas saat itu. Membayangkan betapa sempurnanya dia ketika menjadi istriku nanti.

“Kak?” panggilnya sekali lagi, membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum menatapnya. “Malah senyum lagi!” ucapnya melihatku tak lekas menjawab pertanyaannya.

“Emang nggak boleh ya, berangkat pagi?” jawabku kembali bertanya.

“Ya enggak. Tapi kan nggak biasanya, Kakak berangkat sepagi ini.”

“Ya emang sih, aku nggak pernah berangkat pagi. Tapi yang penting kan aku nggak pernah telat, Peri,” aku menjawab sambil berjalan mendekat ke arahnya. Dia tersenyum menatapku dan berkata, “Iya.”

Aku terkekeh geli mendengarnya hanya menjawab “Iya.”

“Lagian hari ini kan aku udah mulai masuk les pagi. Jadi nggak salah dong kalau aku berangkatnya sepagi ini.”

“Nggak kok, terus sekarang ngapain di sini? Bukannya ke kelas?”

Aku  mendekatinya dan sekali lagi tak mampu menahan senyumanku menatap kedua bola matanya. “Peri, lesnya mulai jam 6. Dan sekarang belum ada jam 6. Apa salah kalau aku ingin ketemu sama Peri Kecilku dulu sebelum masuk kelas?”

“Nggak ada yang salah, Kak. Lagian aku juga senang kalau Kakak mau ketemu aku dulu,” jawabnya sambil tersipu malu.

Aku mendengar suara banyak anak mendekat melewati jalan depan kelas Riani. Aku memang selalu memanggilnya dengan sebutan Peri. Agar aku selalu ingat, bahwa aku begitu bersyukur bisa bertemu dan kenal dengan dia. Aku begitu takut akan kehilangan keceriaan dan senyumannya di dunia ini. Sekarang aku sudah kelas 3 SMA, dan sebentar lagi aku akan menghadapi UN. Hanya menunggu beberapa bulan saja.

“Ya udah, aku ke kelas dulu ya!” ucapku berpamitan kepadanya.

“Iya, Kak.”

Aku bergegas menuju kelasku setelah mendengar jawabannya. Hari pertama yang tak akan aku ukir dengan keterlambatan mengisi absen

***

Hari-hari terus berlanjut, dan tanpa kusadari begitu cepat. Sampai akhirnya aku mencapai pengujung masa akhir sekolah. Dua bulan terakhir ini aku jarang sekali bertemu dengan Riana. Karena begitu sibuknya aku menyiapkan diriku untuk ujian nasional nanti. Aku juga tahu bahwa Riana juga sedang sibuk dengan penelitian ilmiahnya. Di sekolahku, saat kelas 2 diwajibkan membuat karya ilmiah. Aku juga jarang berkomunikasi lewat hp dengannya.  Bagaimana tidak, dia juga jarang online.

Aku butuh dukungannya. Senin depan, UN hari pertama dengan pelajaran matematika. Itu tidak terlalu sulit bagiku, karena aku anak IPA dan kurasa aku juga sudah menguasai semua materi yang selama dua bulan terakhir ini mati-matian kupelajari dengan sungguh-sungguh. Dan aku benar-benar sudah siap untuk menjemput masa depanku.

Semua berjalan dengan lancar dan sesuai dengan keinginanku. Aku mampu menyelesaikan semua soal dengan baik. Kurasa, aku tidak terlalu buruk untuk hal ini.

“Kak Ari!” suara itu kudengar saat aku melangkah meninggalkan ruangan ujian. Peri Kecilku ada di sana, di tempat duduk yang ada di depan ruangan ujianku.

“Peri,” seruku menghampirinya. Dia tersenyum begitu tulus dan cantik di mataku. Dia masih seceria dulu, saat terakhir kali aku bertemu dengannya.

“Kamu kok di sini?” tanyaku penasaran dengan masih sedikit terkejut.

“Emang nggak boleh?” jawabnya kembali bertanya.

“Ya bolehlah. Aku seneng banget malahan.”

“Eh, ikut aku, yuk!” kuajak dia pergi dari lingkungan sekolah ketika kulihat banyak anak menyaksikan pembicaraan kami.

Kuajak dia pergi ke taman tempat biasa kami bertemu dan menghabiskan senja bersama. Dia duduk di sampingku, tempat yang sama saat dia duduk menghadap jingga yang menguning di langit kota sore itu dengan wajah cantiknya dibingkai cahaya keemasan saksi bisu rasa ini terikat.

“Kak, aku mau ngasihin surat ini buat Kakak,” katanya dengan menyodorkan secarik kertas padaku.

“Apaan sih, kok pake acara surat-suratan segala?” tanyaku menggodanya.

“Serius, Kak! Ini suratnya wajib dibuka saat kakak wisuda nanti. Nggak boleh dibuka sekarang,” jawabnya membuatku penasaran dengan isi suratnya.

“Kalau dibuka sekarang emangnya kenapa?” tanyaku.

“Pokoknya jangan. Nanti aku marah sama Kakak kalau dibuka sekarang,” rengeknya manja.

“Iya, iya, Peri Kecilku,” jawabku sambil mengacak rambutnya.

“Peri, kamu nanti pasti datang kan saat acara wisudaku?” tanyaku setelah beberapa saat hening melanda kami berdua.

“Jika Tuhan berkehendak,” jawabnya santai.

***

Acara wisudaku tinggal menghitung menit akan segera dimulai. Dan aku begitu gugup karena Peri Kecilku belum juga datang. Aku terus menghubunginya, namun yang menjawab hanya operator yang memberitahukan bahwa nomornya sedang tidak aktif. Aku menelepon mamanya, namun juga tidak diangkat. Mamaku yang sedang berdiri cemas di belakangku menghampiriku.

“Gimana, Ri, apakah Riani akan datang? Apakah dia sedang ada masalah di jalan?” tanya mamaku bertubi-tubi yang bahkan tak sempat kucerna. Aku begitu khawatir padanya. Dan tak pernah perasaanku sekacau ini ketika menunggunya datang. Mamaku sendiri sudah menganggap Riani sebagai anaknya. Jadi sangat wajar kalau mama juga begitu khawatir padanya.

“Mama, hpnya Riani nggak aktif. Tadi aku juga sudah telepon mamanya, tapi nggak diangkat.”

Di acara wisuda kali ini, papaku tidak bisa dating karena sedang bertugas di luar kota dan sedang ada halangan untuk pulang. Aku bisa memahami keadaannya. Lagian sekarang aku ini bukan lagi anak kecil yang harus marah dan merengek manja jika orang tuanya tidak bisa datang dalam acara pentingnya. Lagian juga masih ada mama yang setia berdiri di sampingku dan menguatkan aku.

Acara wisuda di sekolahku berjalan dengan lancar. Aku dinobatkan sebagai siswa dengan nilai terbaik pertama di jurusanku. Dan semua itu tanpa disaksikan oleh Peri Kecilku. Ke mana Peri Kecilku pergi? Kenapa tiba-tiba menghilang begitu saja di saat terakhirku? Kenapa dia malah tidak hadir di saat yang sangat membahagiakan untukku?

Aku memutuskan untuk menuju rumahnya sepulang dari sekolah. Tentu saja masih dengan mamaku. Memang sudah lama, aku tidak mengajak Riani ke rumahku, dan otomatis mamaku tidak pernah bertemu dengannya. Tentu saja dia rindu pada Rianiku. Riani, Peri Kecilku.

Sampai di depan rumahnya, ada seorang tetangga yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia memberitahuku sesuatu yang bahkan tidak pernah kuduga sebelumnya.

“Neng Riani lagi di rumah sakit, katanya sih mau operasi gitu,” katanya setelah kutanya di mana Riani.

“Operasi apa?” tanyaku kembali pada seseorang yang kukenal namanya Tante Diah. Setahuku, Riani tidak pernah punya riwayat sakit apa pun. Apa mungkin dia menyembunyikan penyakitnya dariku selama ini.

Tanpa pikir panjang, aku dan mama langsung saja meluncur ke rumah sakit yang sudah disebutkan alamatnya oleh Tante Diah tadi. Dan kukira, aku sudah terlambat saat sampai di rumah sakit itu. Riani, Peri Kecilku, dia sudah tidak lagi bernyawa.

Hatiku terasa mencelos ingin lepas dari tubuhku mengetahui kenyataan itu. Riani begitu pandai menutupi lukanya. Ceria di matanya tidak pernah pudar meski dia menderita sakit separah itu. Riani menderita kanker otak stadium akhir. Jadi, dari cerita mamanya, saat aku sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi UN, Rianiku juga sedang sibuk melakukan pengobatan untuk menyembuhkan kanker yang menggerogoti tubuhnya.

Di saat terakhirnya, dia melakukan operasi donor mata untuk saudaranya yang telah lama menderita kebutaan. Aku teringat akan surat yang dia berikan setelah UN dulu. Dan aku membukanya sekarang. Di samping makamnya. Membaca setiap kalimat yang rasanya semakin lama semakin menghabisi hatiku. Bagaimana aku tidak menyadari penyakitnya selama ini?

Dear, Aria

Pangeranku

Pada kesempatan kali ini, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Sebuah kebenaran yang selama ini aku simpan rapi. Sendirian. Kak, mungkin saat Kakak membaca surat ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku tahu kakak marah padaku karena aku tidak mengatakan kebenaran ini sejak awal.

Kak, ketahuilah. Aku sangat menyayangkan kalau binar cinta dan kebahagiaan yang ada dalam matamu itu pudar karena khawatir dengan penyakit yang kuderita. Maaf karena aku tidak bisa datang di acara paling pentingmu selama tiga tahun berada di sekolah. Selamat karena sudah mampu melampaui batas. Aku tahu, pangeranku pastilah yang terbaik. Dalam hal apa pun.

O, ya. Aku mendonorkan mataku untuk saudaraku, Disha. Aku tahu, kakak tidak ingin kehilangan mataku. Maka, jika rindu padaku kakak bisa melihat mataku dalam kelopak Disha. Jangan menangisi kepergianku. Percayalah, bahwa apa pun yang terjadi dalam semesta ini adalah takdir Ilahi. Tersenyumlah, untukku dan juga binar keceriaan yang selalu kau kagumi selama ini.

Selamat tinggal, aku mencintaimu.

Riani.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan