Perempuan yang Takut Melahirkan

575 kali dibaca

Mengandung. Lalu melahirkan. Adalah hal paling menakutkan dalam hidup Rahma. Perempuan berwajah manis yang usianya kata orang-orang sudah telat menikah (tahun ini memasuki angka 33) itu kerap membayangkan; pasti sangat sakit bila alat vital yang hanya sekian senti itu tiba-tiba robek dan berdarah gara-gara dipaksa mengeluarkan bayi yang beratnya kisaran 2 hingga 4 kilogram. Bahkan konon ada bayi yang lahir seberat 8 hingga 9 kilogram. Gila. Tak bisa ia bayangkan betapa luar biasa sakit mengeluarkan bayi seberat itu.

“Ngilu pastinya,” gumam perempuan itu sambil meringis, sementara kedua matanya memejam ketika membayangkan kondisi perempuan yang sedang mengejan lalu mengeluarkan orok.

Advertisements

Itulah mengapa, hingga detik ini Rahma tak kunjung mengakhiri masa lajang. Ia benar-benar takut menikah. Karena usai menikah dan beberapa kali melakukan hubungan badan, biasanya ia akan mengandung lalu melahirkan. Duh, benar-benar tak bisa ia bayangkan betapa sakit saat melahirkan jabang bayi. Belum segala kerepotan mengurus bayi setiap menit bahkan detik, menjaganya agar jangan sampai menangis, menyusuinya, mencebokinya saat tiba-tiba ngompol atau buang air besar.

“Membayangkan saja bikin kepala pening,” perempuan itu bergumam sambil menahan nyeri yang tiba-tiba menyerang kepala saat membayangkan betapa sangat repot mengurusi bayi dan merawatnya hingga besar.

***

Satu hal yang membuat Rahma merasa sangat beruntung. Ia dikaruniai kedua orangtua yang menerima kondisi dirinya apa adanya. Ayah dan ibu, meski tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tapi tak pernah mengekang putri bungsunya agar selekasnya menikah. Terlebih saat mengetahui alasan putrinya takut menikah karena merasa sangat tertekan dan ketakutan bila sampai hamil kemudian melahirkan.

Ya, kepada kedua orangtuanya, Rahma memang selalu terbuka. Setiap persoalan yang dihadapinya sejak kecil, selalu ia bicarakan pada ayah ibu. Acap ia ditelikung kesedihan atas persoalan yang tengah menimpanya, bahkan saat ia melakukan kesalahan, kedua orangtuanya tak pernah marah. Mereka dengan begitu sabar memotivasi, menghibur, dan mengatakan agar jangan pernah putus asa dan menyerah menghadapi kehidupan yang terjal berliku ini. Bahwa, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Kita harus yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

Persoalan yang paling sering dialami Rahma adalah tentang lelaki-lelaki yang pernah menyambangi hidupnya tapi pada akhirnya memilih pergi.

Dulu, beberapa kali Rahma menjalin asmara dengan beberapa lelaki. Namun, saat lelaki-lelaki itu berniat menyeriusi hubungannya hingga jenjang pernikahan, mereka memilih pergi dan menggagalkan niatnya saat perempuan itu menjelaskan bahwa setelah menikah nanti ia tak mau memiliki anak. Artinya, saat berhubungan badan nanti, sang lelaki harus menggunakan alat pengaman. Tentu saja para lelaki yang ingin menikahi perempuan itu memilih mundur dan mengurungkan niatnya. Karena bagi mereka, tujuan utama menikah adalah untuk melanjutkan keturunan, alias memiliki momongan.

“Kalau nggak ingin punya anak, ya percuma, mending cari perempuan lain.”

“Nikah kok nggak ingin punya anak, lebih baik nggak usah nikah sekalian.”

“Jujur Rahma itu sangat cantik, makanya aku tertarik dan ingin menjadikannya istri sekaligus ibu bagi anak-anakku kelak, tapi kalau dia nggak ingin punya anak, ya lebih baik hubungan kita berakhir sampai di sini.”

“Tujuanku menikah kan ingin punya anak saleh dan salehah yang selalu mendoakan kebaikan untukku, kalau Rahma takut hamil dan melahirkan, aku nggak jadi nikah dengannya, mending nikah sama perempuan yang nggak cantik, asalkan bisa memberiku keturunan.”

Alasan-alasan itulah yang dikemukakan para lelaki yang semula mengaku mencintai Rahma tapi langsung mundur saat mengetahui Rahma adalah perempuan yang takut melahirkan. Sejak saat itu Rahma memilih menutup diri. Tak mau berhubungan terlalu dekat dengan para lelaki. Kecuali, harapnya, bila ada lelaki yang mau menerima dirinya apa adanya, tentu ia akan berusaha membuka hati dan mau menerima lamarannya.

“Ah, tapi mana mungkin ada lelaki seperti itu di dunia ini. Mana mungkin ada lelaki yang ingin menikah tanpa mendamba kehadiran anak,” gumam batin Rahma sambil menahan nyeri di hati.

***

Suatu hari, rumah orangtua Rahma kedatangan dua orang tamu. Sepasang suami istri. Kedatangan mereka ternyata ingin menjodohkan putra bungsunya yang kini berusia 35 tahun tapi belum kunjung menemukan jodohnya. Ayah dan ibu Rahma tentu langsung menyambut kedatangan tamu yang memiliki niat mulia itu dengan hangat dan bersahabat.

“Saya mendengar bahwa Bapak dan Ibu memiliki seorang putri yang masih lajang, untuk itulah kami datang ke sini, dengan tujuan ingin memperkenalkan putri Bapak dan Ibu dengan putra kami yang juga masih lajang. Siapa tahu anak kita berjodoh,” ungkap pria yang bila dilihat sekilas seumuran dengan ayah Rahma.

Singkat cerita, ayah dan ibu Rahma menjelaskan bahwa urusan jodoh, mereka menyerahkan pada putrinya. Karena yang akan menjalani kehidupannya adalah dia. Tak lupa, orangtua Rahma juga menjelaskan persoalan yang dihadapi putrinya selama ini; perihal ketaksiapannya mengandung lalu melahirkan usai menikah sehingga peluang memiliki anak sangat kecil. Tak dinyana, ternyata pasangan suami istri itu sudah mengetahui duduk persoalan putri mereka. Terka kedua orangtua Rahma, mungkin kabar tentang putri mereka yang takut mengandung dan melahirkan sudah tersiar ke mana-mana.

“Soal itu kami nggak mempermasalahkan. Kebetulan anak saya juga seperti itu,” ucap pria itu pelan membuat ayah dan ibu Rahma saling pandang. Mereka kurang bisa mencerna maksud ucapan pria tersebut.

“Maaf, seperti itu bagaimana ya, Pak?” tanya ibu Rahma.

Ternyata oh ternyata, anak yang akan dijodohkan dengan Rahma itu juga memiliki persoalan yang sama rumittnya dengan Rahma. Bila Rahma takut mengandung dan melahirkan, lelaki itu justru takut memiliki anak. Hal inilah yang menyebabkan lelaki itu sampai saat ini tak kunjung menemukan sosok perempuan yang mau dijadikan sebagai istri.

Penjelasan orangtua lelaki itu sontak membuat ayah dan ibu Rahma tersenyum lega. Mereka berdua berharap dalam hati, semoga lelaki itu adalah jodoh yang sengaja diturunkan Tuhan untuk putri mereka. Namun, mereka tak serta merta memutuskan. Karena semua keputusan tetap ada pada Rahma yang saat ini belum pulang dari tempat kerjanya. Sekadar info, sudah lima tahun Rahma bekerja sebagai kasir supermarket yang ada di pusat kota.

***

Singkat cerita, Rahma tak merasa keberatan bila ayah dan ibu hendak menjodohkannya dengan lelaki itu. Tapi ia harus bertemu dan mengenal lebih dekat sosok lelaki itu terlebih dulu.

Dan, di sinilah sekarang Rahma dan lelaki itu berada. Di sebuah kafe tak terlalu mewah (dan sedang sepi pengunjung) mereka tampak terlibat obrolan yang cukup mengalir. Seolah mereka adalah teman lama dan baru bertemu setelah berpisah sekian tahun.

Nyaris satu jam mereka mengobrolkan banyak hal. Dan sepertinya Rahma dan Abrar, nama lelaki itu, memiliki kecocokan satu sama lain. Pelan tapi pasti, Rahma mulai meyakini bahwa Abrar adalah sosok yang selama ini ia damba sebagai calon pendamping hidup. Terlebih ketika Abrar blak-blakan mengaku bahwa dirinya tak mempermasalahkan hadirnya buah hati seumpama mereka nanti menikah.

“Jadi serius nih, Mas Abrar mau nerima aku apa adanya yang seperti ini?” Rahma berusaha menegaskan. Kedua sudut bibirnya terkembang senyuman.

Abrar mengangguk. Menatap Rahma. Tersenyum kecil.

“Ya, asal kamu juga mau menerima saya apa adanya,” ucapan Abrar membuat sedikit ganjalan di hati Rahma.

“Selain persoalan anak, apa ada hal lain, Mas?”

Abrar mengangguk agak ragu. Rautnya yang semula dihiasi senyuman, kini berubah seperti harap-harap cemas untuk mengungkapkan persoalan lain yang sangat privasi.

“Sebenarnya… saya memiliki persoalan sangat pribadi dan… agak sensitif,” terdiam sejenak dan terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Tenang saja, Mas. Insya Allah saya bisa menjaga rahasia Mas Abrar,” ucapan Rahma membuat Abrar lega dan berharap Rahma dapat menerima kekurangan yang ada pada dirinya.

“Apakah kamu mau menerima lelaki seperti saya, yang….,”

Terdiam sejenak. Rahma setia menunggu. Dalam hati ia berjanji akan berusaha menerima kekurangan Abrar. Kalau Abrar bisa menerimaku apa adanya, mengapa aku tidak? Gumamnya sambil tersenyum tipis.

“Saya…. nggak bisa berhubungan badan, saya menderita… impo…,” Abrar tak kuasa melanjutkan kata-kata. Kepalanya terbenam. Rahma langsung paham dengan potongan kata yang tak kuasa terucapkan lelaki itu. Rasanya bagai tersengat lebah kedua telinga Rahma begitu mendengar persoalan pribadi lelaki yang duduk gelisah di hadapannya.

Ternyata dugaku keliru. Memang, aku perempuan yang takut hamil dan melahirkan. Tapi aku masih normal, sama seperti perempuan lain yang ingin berhubungan intim dengan lelaki. Ya Tuhan, ternyata kehidupan Mas Abrar lebih menderita ketimbang hidup yang kujalani saat ini. Rahma bergumam dengan hati dirundung bimbang.

Puring Kebumen, 3 Maret 2020.

ilustrasi: pgnwing.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan