PEREMPUAN TENGAH MALAM

2,501 kali dibaca

Setiap menjelang tengah malam, perempuan berusia senja itu dengan tekun menggeruskan cobeknya, seserius seperti saat seorang gadis sedang mengurus masa depannya. Tapi masihkah nenek setua itu paham, atau punya, akan sesuatu yang bisa disebut sebagai masa depan —seperti bila seorang gadis membayangkannya?

Entahlah. Dalam usia serenta itu, mungkin di atas enam puluh tahun, ia memilih hidup sendiri. Jauh dari kegaduhan anak-anaknya atau kebisingan cucu-cucunya. Sendiri, ia tinggal di sebuah kamar sewaan seharga Rp 200 ribu per bulan. Sendiri, ia tak pernah acuh pada suasana gaduh yang datang dari kamar-kamar sebelah atau para tetangganya yang doyan bertingkah. Maka, setiap menjelang tengah malam dan selalu duduk bersimpuh di depan pintu, dengan tekunnya ia menggeruskan cobeknya. Dan dari atas cobeknya menyebar harum bau kunyit, kencur, jahe, dan hasil tetumbuhan lain. Nenek itu, hingga fajar menjelang, terus meramu jamu, untuk kemudian, esok harinya, dijajakan entah ke mana.

Advertisements

Tapi kenapa perempuan serenta itu lebih memilih hidup sendiri, memilih hidup yang sunyi, ketimbang girang berada di antara kegaduhan anak-anaknya atau kelucuan para cucunya?

Maka menjelang tengah malam itu aku menghampirinya. “Aku hanya ingin sendiri. Itu saja,” katanya abai. Tapi aku tak beranjak, hanya menjarak.

Dari suatu jarak, semakin jelas betapa tenangnya, betapa tekunnya, ia terus menggeruskan cobeknya. Seakan tak merasakan kehadiranku. Dan aku merasa, ia seperti yang selalu ada di semua tempat dan setiap masa, seorang manusia yang tak hendak terlibat, apalagi tergantung, pada hiruk-pikuk alamnya. Ia seperti pribadi yang ogah sekadar menjadi bagian dari sebuah kerumunan. Ia merupakan sosok yang lebih memilih jalan lain atau menempuh rute yang berbeda sebab merasa bukan bagian dari satu barisan.

Dan ketika fajar menjelang, cobeknya berhenti berbunyi. Dengan gerakan yang masih gesit ia mengemas jamu ramuannya, memasukkannya ke dalam botol-botol plastik, memasukkannya ke dalam bakul, dan menggendongnya. “Jamu-jamu…,” suaranya selalu setia menyapa pagi.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan