Perempuan Menolak Poligami: Sejarah Perjuangannya

Perjuangan perempuan Indonesia dalam menggugat praktik poligami telah berlangsung begitu lama, sejak jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Sampai kini, perjuangan itu belum benar-benar mencapai hasil maksimalnya. Kenapa?

Secara historis, perjuangan perempuan Indonesia menolak poligami dapat ditelusuri sejak masa kehidupan Raden Ajeng Kartini (1879–1904), yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan di tanah air.

Advertisements

Kartini merupakan salah satu tokoh awal yang secara terbuka mengkritik praktik poligami. Hal tersebut tercermin dalam korespondensinya dengan Ny Abendanon (sebelumnya disebut Ny Stevens), yang kemudian menjadi salah satu sumber utama dalam memahami pemikirannya.

Dalam surat-surat tersebut, Kartini menyuarakan aspirasi untuk menghapuskan poligami. Ia memandang poligami sebagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Namun demikian, meskipun ide-ide progresif tersebut telah disuarakan, Kartini pada akhirnya tidak dapat menghindari tekanan budaya patriarki yang sangat dominan pada masa itu. Ia terpaksa tunduk pada struktur sosial yang membatasi peran serta pilihan perempuan.

Perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam menyuarakan aspirasi emansipasi perempuan, khususnya terkait penolakan terhadap praktik poligami, tidak berhenti  pada dirinya semata. Gagasannya kemudian dilanjutkan oleh Rohana Kudus di Minangkabau, Sumatra Barat.

Melalui beberapa artikel yang kemudian dihimpun dan diterbitkan oleh ayah dan suaminya dalam sebuah buku yang berjudul Sunting Melayu, Rohana secara tegas mengkritik praktik poligami dan menyuarakan aspirasinya untuk menghapus sistem tersebut. Menurutnya, poligami memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kehidupan perempuan, baik dari aspek psikologis, sosial, maupun ekonomi

Perjuangan yang lebih terorganisasi dilanjutkan oleh Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) pada 1928. KOWANI merekomendasikan kepada Volksraad (Dewan Rakyat) untuk menghapus semua bentuk perkawinan yang menimbulkan problem sosial yang memperparah ketimpangan sosial di Masyarakat. Seperti, perkawinan anak-anak, kawin paksa, poligami, dan talak sewenang-wenang.

Perjuangan selanjutnya dimotori oleh kelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Putri Indonesia, Persaudaraan Istri, dan Wanita Sejati. Pada 13 oktober 1929, ketiga organisasi tersebut menyelenggarakan pertemuan strategis yang menghasilkan dua keputusan penting.

Pertama, seruan untuk penghapusan praktik poligami, yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan gender dan merendahkan martabat perempuan. Kedua, upaya pemberantasan pelacuran, yang dipandang sebagai bentuk eksploitasi terhadap tubuh dan kehidupan perempuan.

Kedua keputusan tersebut tidak hanya merepresentasikan bentuk perlawanan terhadap struktur patriarkat yang dominan, tetapi juga mencerminkan lahirnya kesadaran feminis awal di Indonesia yang berorientasi pada keadilan sosial dan perlindungan martabat perempuan.

Tak berhenti sampai di situ, pada 1931 diselanggarakan Kongres Organisasi Istri Sedar, yang menandai kelanjutan gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Salah satu Keputusan penting yang dihasilkan adalah memperkuat resolusi larangan poligami.

Keputusan tersebut merefleksikan peningkatan kesadaran kolektif perempuan akan perlunya pembaruan hukum keluarga yang berperspektif keadilan gender.

Perjuangan serupa juga dilanjutkan oleh organisasi Badan Penasihatan Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4) pada 1950.

BP4 mengajukan seruan kepada pemerintah dengan menyoroti tiga kasus utama, yakni, dampak negatif perkawinan anak-anak, talak sewenang-wenang yang dijatuhkan sepihak oleh suami, dan konsekuensi sosial dari praktik poligami. Ketiga isu tersebut dipandang sebagai hambatan serius dalam mewujudkan keluarga adil, sehat, dan bermartabat. (Nasution, 2002:50-51).

Perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia dalam menuntut reformasi hukum keluarga akhirnya mencapai salah satu titik penting dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit menyatakan penolakan terhadap praktik poligami, namun prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya menunjukkan kecenderungan kuat ke arah pembatasan, bahkan penolakan terhadap poligami.

Hal ini terlihat dari ditetapkannya asas monogami sebagai prinsip utama dalam lembaga perkawinan di Indonesia. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa poligami hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu wajib memperoleh izin dari istri sebelumnya serta harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan. Persetujuan tersebut hanya dapat diberikan melalui sidang terbuka di pengadilan negeri, setelah mempertimbangkan alasan yang sah dan adil bagi semua pihak yang terlibat (lihat: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Dengan demikian, meskipun poligami belum sepenuhnya dilarang secara hukum, regulasi yang diterapkan mencerminkan semangat pembatasan yang selaras dengan aspirasi gerakan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan rumah tangga.

Poligami bukanlah konsep yang bisa berdiri secara otonom, melainkan memiliki keterkaitan erat dengan konteks sosial, budaya, dan interpretasi keagamaan. Sebagian kalangan berpandangan bahwa poligami adalah ajaran agama Islam serta  dianggap sebagai perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya.

Pandangan seperti ini acap kali lahir dari interpretasi yang sempit terhadap teks-teks agama. Secara normatif, syariat memang memberikan ruang terhadap praktik poligami, namun legalitas tersebut tidak dapat dipahami sebagai perintah mutlak untuk melaksanakannya.

Ayat yang kerap dijadikan dasar legitimasi poligami, yakni Surah An-Nisa ayat 3, secara eksplisit mensyaratkan keadilan sebagai prasyarat utama bagi seorang laki-laki yang hendak menikahi lebih dari satu perempuan. Artinya, poligami diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dan dengan syarat yang sangat berat, yaitu kemampuan suami untuk berlaku adil di antara istri-istrinya.

Permasalahan utama yang muncul kemudian adalah mengenai siapa yang berhak menilai apakah seseorang mampu berlaku adil. Selama ini, penilaian tersebut cenderung bersifat sepihak dan ditentukan oleh laki-laki itu sendiri. Padahal, dalam kerangka keadilan relasional, perempuan juga memiliki otoritas untuk mengevaluasi dan menentukan apakah calon suaminya atau suaminya memiliki kapasitas untuk berlaku adil.

Dengan demikian, interpretasi terhadap keadilan dalam konteks poligami seharusnya bersifat partisipatif dan inklusif, tidak hanya berpijak pada otoritas tunggal laki-laki, melainkan juga melibatkan suara dan pengalaman perempuan sebagai pihak yang terdampak secara langsung

Islam sebenarnya cenderung menghindari praktik poligami. Hal tersebut tercermin dari sikap Rasulullah yang monogami sampai sepeninggalnya Siti Khadijah. Jika Rasulullah sedari awal suka dan ingin poligami, lantas kenapa beliau melakukan monogami ketika bersama dengan Siti Khadijah?

Dengan contoh tersebut, pada hakikatnya syariat ingin membatasi kebiasaan kaum jahiliah dalam menghimpun kaum perempuan pada ikatan pernikahan. Bahkan sudah lumrah para raja-raja mempunyai beberapa istri dan selir.

Pada masa Rasulullah, ada seorang yang baru masuk Islam dan memiliki sepuluh istri, Rasulullah menyuruh menceraikan enam dan menyisakan empat saja. Para kaum jahiliah memiliki banyak sekali kebiasaan buruk di antaranya, zina, minum-minuman keras, poligami, dan lain-lain.

Syariat datang di tengah kebiasaan tersebut dan melakukan pemberantasan secara langsung maupun gradual. Salah satu keberhasilan syariat adalah membatasi kebiasaan poligami yang tidak lebih dari empat. Mengingat kebiasaan ini tidak mungkin dihilangkan, sehingga syariat hanya melakukan pembatasan saja. Jika ketika itu dimungkinkan, maka pilihannya pastilah monogami.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan