Percikan Cahaya Sufi (1): Ibrahim bin Adham dan Sebiji Kurma

2,894 kali dibaca

Ibrahim bin Adham (718-782) adalah seorang sufi, tokoh Arab yang lahir di Kurasan, tepatnya di Kota Balkh, bagian dari Afganistan (sekarang). Ada beberapa versi terkait dengan kehidupan Ibrahim bin Adham. Ada yang mengatakan bahwa Beliau adalah seorang raja. Ada juga yang mengatakan bahwa jejak kerajaan Ibrahim tidak meninggalkan bukti sejarah. Artinya, tidak ada bukti yang valid terkait dengan jejak sejarah Ibrahim bin Adham sebagai seorang raja.

Tetapi, nilai-nilai kesufian Ibrahim bin Adham mendapat porsi dan posisi yang begitu besar di kalangan para tokoh sufi. Ada banyak manuskrip maupun kitab-kitab klasik yang berusaha merekam jejak kesufian Beliau. Ibrahim bin Adham terkenal hingga ke pelosok Nusantara. Hal itu disebabkan karena kesufian dan gaya hidup kewalian yang tidak lepas dari keseharian Beliau.

Advertisements

Di dalam kitab Tazkiratul Aulia’, Fariruddin Attar, penulis besar pada masanya, menjelaskan bahwa pada suatu ketika, Ibrahim bin Adham akan melaksanakan ibadah haji. Untuk persiapan berangkat melaksanakan rukun Islam kelima ini, Ibrahim mempersiapkan diri termasuk bekal makanan yang harus disediakan. Maka, Ibrahim bin Adham berkunjung ke pasar untuk membeli sekeranjang kurma.

Setelah sampai di pasar, Ibrahim bin Adham membeli kurma kepada seorang bapak yang sudah sepuh. Kurma pun ditimbang dan pembayaran berlangsung sebagaimana lumrahnya. Sesaat sebelum Ibrahim beranjak dari tempat penjual, Beliau melihat sebiji kurma di bawah tempat menimbang tadi. Tanpa berpikir panjang, Ibrahim menyambar kurma tersebut dan memakannya. Karena Beliau yakin bahwa itu bagian dari kurma yang telah dibelinya.

Perjalanan ibadah haji Ibrahim bin Adham pada saat itu berjalan lancar tanpa adanya permasalahan. Sesampainya di Masjidil Haram, di depan pintu Kakbah, Ibrahim bin Adham bermunjat kepada Allah swt. Pada saat sedang khusyuk dalam doa, dalam kondisi yang begitu dekat, taqarrub, tiba-tiba Ibrahim mendengar percakapan.

“Lihatlah, Ibrahim bin Adham adalah hamba Allah swt yang begitu dekat dengan Tuhannya. Tidak akan pernah tertolak doa dari hamba yang sufi ini.” Sebuah suara dari entah.

“Benar sekali. Tetapi kali ini doanya ditolak oleh Allah swt karena memakan sebutir kurma yang masih subhat.” Sebuah suara lainnya menimpali suara yang pertama.

Percakan itu memantik keterkejutan Ibrahim bin Adham. Kini Ibrahim sadar bahwa ketika membeli kurma untuk bekal menunaikan ibadah haji, Beliau mengambil sebiji kurma yang dikiranya sebagai miliknya. Maka Ibrahim begitu menyesal, dan berjanji akan menemui bapak penjual kurma dan memohon kerelaannya.

Dan benar saja, sekembalinya Ibrahim bin Adham dari ibadah haji, serta merta Beliau bergegas pergi ke pasar untuk menemui bapak penjual kurma. Tentu saja niat dan tujuannya adalah meminta kerelaan atas sebiji kurma yang tanpa sengaja dimakannya. Sesampainya di pasar, ternyata bapak penjual kurma telah tiada, meninggal dunia. Dan pengganti bapak penjual kurma tersebut adalah salah satu dari putranya.

“Aku mohon kerelaan atas sebiji kurma yang telah aku makan,” demikian Ibrahim bin Adham berkata kepada anak penjual kurma itu sambil berkisah tentang kurma yang diambilnya.

“Tidak apa-apa, Tuan. Aku rela terhadap apa yang telah Tuan ambil tersebut,” jawab anak si penjual kurma. “Tetapi,…” ia melanjutkan, “Aku punya 11 saudara yang aku tidak tahu dari masing-masing saudara tersebut, apakah mereka rela atau tidak,” lanjutnya.

“Tidak masalah, tunjukkan kepadaku alamat rumah mereka semua,” begitu Ibrahim bin Adham bertekat demi mendapat kejelasan atas kerelaan sebiji kurma yang dimakannya.

Meski dengan susah payah, karena rumah para ahli waris bapak penjual kurma itu berjauhan, akhirnya Ibrahim bin Adham pun dapat memenuhi keinginannya. Semua anak-anak bapak penjual kurma itu merelakan sebiji kurma yang tanpa sengaja dimakan oleh Ibrahim. Dan hal tersebut menunjukkan kewaraan dan kehati-hatian seorang sufi terhadap hal-hal yang secara umum dipandang remeh temeh.

Begitulah karakter seorang sufi. Tidak pernah mementingkan dunia meskipun mereka dalam keadaan kaya raya. Artinya sufi tidak identik dengan kemiskinan, apalagi dengan kemewahan, akan tetapi sufi menempatkan akhirat, di atas segala-galanya, daripada kehidupan dunia. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan