Peran Signifikansi Humor di Kalangan Pesantren

716 kali dibaca

Tertawa mampu merenggangkan otot-otot yang tegang. Tertawa juga sebagai penawar manjur untuk menyegarkan jiwa. Tertawa yang lahir dari humor dapat menjadi katarsis untuk melepaskan segenap tekanan dalam jiwa. Dari itu, humor begitu penting terhadap kesehatan. Manusia yang tidak memiliki jiwa humor mudah terserang stres. Sebaliknya, manusia yang mempunyai jiwa humor maka kesempatan untuk sehat semakin besar. Di kepala manusia berjiwa humor, persoalan hidup bahkan kesulitan pun terkadang menjadi bahan humor.

Dewasa ini, persaingan hidup semakin ketat. Siapa yang berkuasa, ia jaya. Siapa yang beruang, ia makmur. Siapa yang punya orang dalam, ia menang. Realitas kehidupan diwarnai dengan saling cekal dan sikut. Hal ini, berpotensi munculnya ketegangan dan stres. Semakin hari, semakin banyak jumlah masyarakat yang terjangkit stres. Pada posisi inilah humor menemukan perannya yang signifikan.

Advertisements

Larisnya konten-konten humor di youtube akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kebutuhan humor di masyarakat begitu tinggi. Masyarakat membutuhkan hiburan setelah tertekan oleh dinamika yang makin kompleks. Menikmati konten-konten humor menjadi sarana ampuh untuk melenyapkan segala kepenatan dan ketegangan.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Retorika Modern menjelaskan tentang teori humor:

Pertama, teori superioritas dan degradasi. Teori ini menyatakan bahwa kita tertawa bila menyaksikan sesuatu yang janggal, aneh atau menyimpang. Kita tertawa karena merasa tidak punya sifat-sifat objek yang menggelikan. Sebagai subjek, kita memiliki kelebihan, sedangkan objek tertawa kita mempunyai sifat-sifat yang rendah. Teori ini mudah kita temukan pada berbagai acara humor di televisi atau youtube.

Kedua, bisosiasi. Teori ini menyatakan bahwa kita tertawa apabila secara tiba-tiba menyadari ketidaksesuaian antara konsep dengan realitas yang sebenarnya. Menurut teori ini, humor muncul karena kita menemukan hal-hal di luar dugaan.

Ketiga, teori inhibisi. Ini teori paling teoritis yang bersumber dari Sigmund Freud. Kita sering menekan pengalaman-pengalaman yang tidak enak atau keinginan-keinginan yang tidak bisa kita wujudkan dalam ke alam bawah sadar. Saah satu dorongan yang kita tekan itu adalah dorongan agresif. Dorongan agresif masuk ke alam bawah sadar kita dan bergabung dengan kesenangan bermain di masa kanak-kanak. Bila kita lepaskan dorongan ini dengan sesuatu yang bisa diterima masyarakat, kita melepaskan inhibisi. Kita merasa senang karena lepas dari sesuatu yang menghimpit kita. Kita melepaskan diri dari ketegangan. Kita senang. Karena itu kita tertawa.

Hampir semua golongan masyarakat memiliki model humor tersendiri. Di kalangan pesantren juga akrab dengan humor. Jika kita membaca buku karya Akhmad Fikri AF yang berjudul Tawa Show di Pesantren, kita diantarkan pada ketiga teori yang telah diulas oleh Jalaluddin Rakhmat tersebut. Buku Fikri mengurai sisi-sisi tersembunyi humor yang menjadi kekayaan antropologis dunia pesantren. Relasi kiai dan santri ternyata tidak selalu berlangsung secara formal dan penuh ketakziman. Tidak jarang muncul sesuatu yang mengejutkan serta spontanitas– dan lucu.

Mengulik dimensi humor kiai, akan mengantarkan kita pada persepsi yang selama ini tidak terduga. Misalnya, kiai selama ini berada di posisi sebagai figur yang selalu dihormati, serius, sarat norma, dan berbagai aspek kesempurnaan lainnya. Akan tetapi, masyarakat lupa bahwa kiai juga manusia sebagaimana lainnya. Status kiai tidak akan menghilangkan keunikannya sebagai manusia. Kiai juga memiliki banyak hal manusiawi yang sering tidak terendus oleh orang lain.

Dalam bab berjudul Kiai Bisri dan Strategi Kiai Wahab, Akhmad Fikri AF mengisahkan seorang warga yang berkonsultasi soal ibadah kurban kepada Kiai Bisri Syansuri. Orang tersebut ingin berkurban sapi, tetapi karena anggota keluarganya delapan, orang tersebut ingin di akhirat nanti satu keluarga bisa satu kendaraan agar tidak berpencar.

Kiai Bisri Syansuri yang terkenal ketat soal fikih menanggapi bahwa kurban sapi hanya untuk tujuh orang. Meski orang itu mengemukakan bahwa anggota keluarganya yang nomor delapan adalah anaknya yang masih berumur tiga bulan, Kiai Bisri tetap bersikukuh dengan jawabannya; tidak bisa.

Merasa tidak puas, orang tersebut akhirnya mengadu kepada Kiai Wahab. Kiai Wahab menjawab, “Agar anakmu yang masih kecil itu bisa naik ke punggung sapi, harus pakai tangga. Sampean sediakan seekor kambing agar anak sampean bisa naik ke punggung sapi.”

Spontanitas orang itu merespon dengan semangat, “Siap, Kiai. Jangankan satu, dua pun siap.”

Sesuai dengan teori Jalaluddin Rakhmat, kisah ini masuk ke teori bisosiasi. Ada kejanggalan, tetapi kisah tersebut menyuguhkan humor yang penuh makna. Ketegasan prinsip Kiai Bisri Syansuri itu sangat penting untuk menjaga integritas norma agama, tetapi strategi fleksibel sebagaimana diusung Kiai Wahab juga merupakan strategi efektif untuk merangkul masyarakat agar tetap berada dalam bingkai norma agama.

Humor bermanfaat untuk kesegaran dan keceriaan hidup. Para kiai ternyata juga memiliki selera humor tinggi. Humor tersebut merupakan spontanitas dan menjadi bagian dalam memahami dunia pesantren yang sejatinya sangat kaya warna.***

Multi-Page

Tinggalkan Balasan