Perahu Naga Upiek

999 kali dibaca

Udara menyengat bagian sisi tepi sungai. Upiek dan belasan bocah menceburkan diri, dan sebagian menantang terik matahari. Suasana ini sangat lazim di tepian sungai Batanghari. Mereka terus bermain-main tanpa kenal bagaimana seharusnya lelah, atau inikah cara lugu mereka untuk melupakan orangtua yang telah tiada. Siapa yang bisa lupa dengan hantu itu lima tahun yang lalu.

 “Hantu eak… Hantu aek…,” ucap Datuk Ismail, mengusir Upiek dan teman-temannya untuk pergi dari tepi danau. Hari yang terik tadi berganti dingin menyengat. Zubaidah menutup jendela rumahnya dan memanggil Upiek untuk pulang.

Advertisements

Sejak tinggal bersama Zubaidah lima tahun yang lalu, Upiek mulai tersenyum kembali. Tangisan tiap malam, sekarang berganti tawa. Sebelum tidur di atas kasurnya, Upiek senang sekali mengambil dayung yang tersangkut di balik pintu dapur. Ia berjingkat-jingkat menirukan gerakan mendayung dan raut wajah Zubaidah saat berlomba.

Melihat adegan tingkah Upiek membuat Zubaidah terpingkal-pingkal. Kebahagian itu tidak berlangsung lama, karena musibah buruk menimpa Upiek. Seolah Tuhan sedang ingin mempertemukan Upiek dengan orang tua kandungnya di surga. “Nasib ya… nasib.”

Zubaidah dan Upiek tidak dipersatukan oleh Tuhan hingga hayatnya. Awan pada malam hari tampak ramai bergerombol. Orang-orang di bawahnya sedang berkumpul, menoleh ke atas langit. Zubaidah yang sedang sibuk membantu memasak segera pulang untuk menemani Upiek tidur. 

Keesokan harinya, Zubaidah sibuk kembali membantu acara akikah. Namun, pikirannya kacau di tengah kebahagiaan orang-orang. Ia kemudian teringat dan bergegas menjemput Upiek ke sekolah. Saat melewati rumahnya sendiri, Upiek meneriaki ibunya dan tersenyum. Zubaidah pun menoleh dan tersenyum kepada anaknya yang telah pulang dan sudah berganti pakaian. Dalam hatinya, ia melihat Upiek sudah menjadi anak yang pemberani. Upiek kemudian memohon izin kepada ibunya untuk pergi bermain bersama teman-temannya. Dengan senang hati, Zubaidah tidak melarang dan mengizinkan putrinya itu.

Menjelang waktu azan Ashar, langit berubah warna menjadi hitam dan seketika hujan disertai gemuruh petir mengepung desa itu. Zubaidah pun seketika bergegas pulang untuk memastikan Upiek di rumah. Saat berada pintu, hatinya menjadi tenang karena melihat sandal tali milik anaknya berada di luar rumah. Ketika pintu itu perlahan dibuka, ia benar-benar kaget karena sosok putri kecilnya itu tidak ada. Raut Zubaidah makin ketakutan setelah seorang bocah berumur dua belas tahun berlari sambil berteriak, “Upiek tidak meloncat Mak, tidak meloncat… perahu Naga hanyut,“ tutur bocah itu sambil menggaruk telapak kakinya yang telanjang. 

Tanpa alas kaki, mereka berdua bergegas menuju sungai disusul oleh orang-orang dewasa yang mengetahui hal tersebut saat berkerumun di rumah Zubaidah. Mereka merencanakan untuk turun secepatnya ke Danau. Namun hingga azan Maghrib Upiek belum juga ditemukan. Karena itu, penduduk desa yang membantu mulai mendayung ke cabang anak-anak sungai di sekitarnya. Mereka khawatir perahu tersebut terseret ke cabang-cabang sungai tersebut. Melihat kejadian itu, Zubaidah tidak berhenti mengucurkan air matanya yang bercampur dengan air hujan, sembari cekatan mengayuh dayung bersama dua orang pria di dalam sebuah perahu. 

Dari kejauhan penduduk mengungsi di atas sebuah langgar Tinggi karena air mulai meninggi sepaha orang dewasa. Mereka membuka tangan bersama sembari berdoa untuk anak itu. Sudah hampir memasuki pukul sepuluh malam, tetapi kabar dari orang-orang yang membantu belum terdengar. Kondisi anak sungai kecil dan penuh sampah menyulitkan pencarian. Berulang kali tangan-tangan mereka tergores oleh limbah perabot bekas yang tersangkut di bibir sungai itu. Walaupun demikian, Zubaidah terus mendayung tanpa menghiraukan tangannya yang penuh luka. 

Ia terus mendayung sambil menghalau sampah. Saat ingin melewati cabang anak sungai yang lain, ia melihat sosok putrinya yang terbujur kaku penuh luka di sekujur badannya yang terdampar di tepi sungai. Tubuh Zubaidah berontak dan melompat ke sungai, dan berenang ke tepi menuju putrinya. Malam itu Zubaidah menangis sejadi-jadinya. Gemuruh petir bersahut-sahutan dengan tangis Zubaidah. Setelah air surut saat Subuh, orang-orang bergegas menghampiri rumah Zubaidah. 

Suasana menjadi senyap diiringi lantunan lirih ayat-ayat suci yang silih berganti diucapkan para pelayat yang datang.

Tiga bulan sudah dari kematian anaknya si Upiek. Kini Zubaidah semakin pendiam dan tidak banyak yang dilakukannya di luar rumah. Bulan berikutnya Desa Ilir Dua kembali ramai untuk menyambut festival perlombaan perahu Naga dan seolah lupa dengan kematian bocah itu. Kejadian yang menimpa si Upiek dianggap adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Namun, Zubaidah merasa ada yang ganjal dan salah.

Pagi itu menjelang orang-orang berangkat ke Danau untuk memanen ikan, dua orang warga datang menunduk dan berjalan pelan mengetuk pintu rumah Zubaidah. Ia sudah tahu maksud dari kedatangan mereka. Zubaidah pun membuka pintu dan tanpa ditanya ia berkata kepada mereka, “Aku akan ikut perlombaan itu.” Kedua orang itu merasa menyesal telah ke rumah wanita itu dan berbalik badan untuk pulang.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh warga datang, perlombaan kali ini tertuju kepada sosok Zubaidah. Raut wajahnya tidak berbeda, tetapi orang-orang yang memandangnya merasa sangat iba dan bersalah. Perlombaan kemudian dilangsungkan saat tengah hari yang terik. Zubaidah tampak sangat tenang dan sesekali memejamkan matanya. Ikat kepala melingkar di penutup kepala; tudung sesekali mengibas ke wajahnya. Zubaidah pun menarik napas sedalam-dalamnya, kemudian perlombaan itu pun dimulai. Akhirnya Zubaidah dan perahu tim perahu Naga rombongannya menang.

Saat piala akan diserahkan, sekelebat Zubaidah merebut mikrofon yang berada di depannya. Suara-suara yang selama ini tersimpan di dadanya menggema dan berputar-putar di telinga orang-orang. Zubaidah memenuhi kuping mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab, mulai dari kebiasaan membuang sisa makanan ke danau hingga kebiasaan membuang berbagai sampah rumah tangga yang dilakukan oleh warga. Zubaidah juga menjelaskan bahwa warga juga telah lalai, mengingat bahwa tradisi perahu Naga adalah wujud syukur yang atas berkah Tuhan dan bukan hiburan tahunan semata. Teriakan inilah yang disampaikan Zubaidah, dan membuat orang-orang pun tertunduk mendengarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan