Pentingnya Menafsir Ulang Ayat Al-Qur’an yang Bias Gender

1,038 kali dibaca

Dewasa ini, refleksi ulang mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam teks-teks keagamaan merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat dihindari seiring kemaslahatan sosial yang selalu berubah-ubah. Dalam kurun waktu yang panjang, kaum perempuan menyimpan keresahan atas peran mereka yang seringkali terhambat oleh wacana-wacana keagamaan yang dibakukan. Tentu saja hal tersebut juga menghalangi kemajuan kaum perempuan pesantren maupun kalangan umum.

Sebagaimana kitab-kitab kuning yang menjadi acuan utama kaum pesantren, masih sangat bias gender. Sedangkan perubahan konteks semakin masif dan dibutuhkan transformasi sosial yang lebih luas. Oleh sebab itu, telaah dan menafsir ulang wacana yang bias gender sangat diperlukan. Wacana yang dimaksud ialah superioritas laki-laki atas perempuan. Wacana-wacana tersebut antara lain: tipe istri shalihah yang berkewajiban patuh kepada perintah suami, kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, dan kerelaan Tuhan bergantung pada kerelaan suami terhadap istrinya.

Advertisements

Di pesantren, posisi perempuan masih diasosiakan sebagai makhluk Tuhan kelas dua. Di mana laki-laki punya sejumlah kualifikasi yang diunggulkan dibanding perempuan. Sebab itu, ruang geraknya hanya sebatas dapur, sumur dan kasur, dan tidak boleh aktif di ruang publik sebab takut akan menyebarkan fitnah. Hal tersebut tentu menghambat transformasi sosial kaum perempuan ke arah yang lebih baik.

Padahal jika menilik teks-teks keagamaan yang lain terdapat sejumlah ayat yang mengurai bahwa posisi kaum perempuan setara dengan laki-laki. Seperti halnya laki-laki, perempuan berhak mengambil peran di ruang publik, sosial maupun politik.

Ayat tersebut yaitu Al-Hujurat: 13 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa,” An-Nahl ayat 97, juga dalam hadist “kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Daud Tirmidzi)

Hal tersebut sejalan dengan fakta-fakta di awal periode Islam. Sejumlah sahabat Nabi dari pihak perempuan terlibat dalam ranah sosial dan politik. Seperti Sayyidina Aisyah R.A yang cerdas, pintar dan berwibawa dijuluki sebagai intelektual muslimah; Fatima Al-Fihri yang dikenal sebagai pendiri institusi pendidikan muslim terbesar di Jazirah Arab dan Afrika Utara; Khadijah binti Khuwailid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan; Zaynab binti Jahsy yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang; Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah bin Mas’ud; dan Qilat Ummi Bani Ammâr dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses.

Tidak dapat dimungkiri, perubahan yang terus berkembang menuntut kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas publik. Maka, wacana keagamaan di pesantren perlu ditinjau dan ditafsirkan ulang khususnya soal relasi laki-laki dan perempuan.

Agar teks-teks keagamaan tetap memiliki relevansi dengan ruang kontemporer saat ini, tentu tanpa menghilangkan maknanya. Sebelum itu perlu diperhatikan dasar langkah-langkah reinterpretasi ayat Al-Qur’an, yaitu (1) Basis utama penafsiran mengacu pada tujuan-tujuan syariah (maqashidusy syariah); (2) Menganalisa aspek-aspek sosio-historis atas kasus-kasus yang ada dalam teks; (3) Mengidentifikasi aspek kausalitas dalam teks sebagai jalan ke pemikiran analogis; dan (4) Menganalisa terhadap sumber-sumber hadis dan kritik matan.

Contoh teks Islam yang bias gender seperti hadis berikut dalam kitab Uqud Ad-Dulujain: “Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah, lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya.” (HR. Al-Hakim).

Hasil penelitian forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menemukan bahwa kualitas sanad hadis tersebut dianggap dhaif, karena terdapat perawi sanad yang bermasalah, yaitu Sulaiman bin Dawud dan Al-Qasim.

Adapun contoh lainnya dari ayat An-Nisa’: 34 “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” Menurut KH Husein Muhammad, ada beberapa aspek yang perlu dianalisis. Ayat tersebut turun berdasarkan kondisi sosial bangsa Arab yang kala itu kepemimpinannya bersifat sentralistik dan tiranik. Padahal, pertimbangan mendasar dalam kepemimpian adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal itu saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.

Ikhtiar penafsiran ulang tidak pernah luput dari kritik-kritik berbagai kalangan. Namun, upaya rekonstruksi konsep dalam merespon harus tetap mengacu pada misi Islam sebagai agama yang egaliter, menjunjung tinggi keadilan. Sebab, agama Islam akan selalu relevan dengan tuntutan kemaslahatan sosial yang berubah-ubah. Tujuan cita-cita Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus terus diperjuangkan dengan terciptanya manusia-manusia yang sehat fisik, psikis, dan sosial.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan