Pentingnya Bertegur Sapa

2,634 kali dibaca

Di dunia ini, saat ini, yang paling berarti cuma kepentingan. Kalau tidak penting, ya tidak ada artinya. Tidak ada gunanya. Sekilas, atau beberapa momen sebelumnya, saya terjebak dalam untaian pemikiran tersebut. Dunia seakan hanya dipenuhi dengan kepentingan yang membabi buta. Bila tak penting, maka tak ada gunanya.

Memang, manusia dituntut untuk menjadi berguna. Seperti kata mutiara, “Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesamannya”. Namun, setidaknya, hal-hal kecil dalam kehidupan kita kadang diciptakan justru punya daya guna besar. Sayang kita saja yang tak menyadari.

Advertisements

Ada satu hal yang baru menggempur otak saya siang ini. Atau bisa disebut kemarin, atau beberapa hari yang lalu, tergantung waktu tulisan ini lolos seleksi dan di-upload di laman ini. Adalah ketika seorang teman dari Tuban datang kepada saya. Saat ditanya maksud dan kepentingannya, dengan sigap dia menjawab: hanya untuk main. Lebih tegasnya, sekadar menyapa kawannya ini yang sudah sekian lama tak berjumpa.

Saya tidak akan mengucap sebuah hadits tentang pentingnya menyambung tali silaturahmi.  Para pembaca yang budiman pasti lebih expert dalam hal ini. Atau, paling tidak bisa membuka “Mbah Gugel” dan mencarinya sendiri.

Namun, harus diakui bahwa kesibukan dan tekanan kepentingan telah lama menjauhkan kita dari logika pentingya menyapa, bertegur sapa. Padahal, tanpa kita sadari, kalimat dan atau tindakan kecil semacam itu bisa menimbulkan efek besar. Menjadikan manusia merasa dimanusiakan, misalanya. Bukankah hal kecil namun paling tidak disukai oleh manusia adalah diabaikan. Rasa terasing yang dipupuk oleh ketidakpedulian oleh orang-orang sekitar, dapat menjadikan manusia lupa pada kodratnya semula. Yakni, menjadi manusia, bukan tanpa salah layaknya Jibril. Atau penuh dengan kutukan layaknya Azazil.

Hal itu juga yang kerap dijadikan anekdot bahwa manusia diciptakan bergerombol karena suatu sebab. Bahwa, terciptanya kehidupan karena ada kesinambungan satu manusia dengan yang lain. Dan bahwa, terciptanya sebuah kematian tidak lain untuk mengingatkan kita. Saat ajal menyapa, kita tak bisa berjalan kekuburan, menggali tanah, dan menguburkan diri kita sendiri. Kepedulian orang lain mutlak dibutuhkan saat itu juga. Entah untuk keluarga yang ditinggal, atau untuk sang mayit itu sendiri.

Makhluk sosial tetaplah makhluk sosial. Tak ada yang bisa mengubahnya. Mereka, atau kita, masih membutuhkan pengakuan bahwa keberadaan diri kita ini nyata. Dan, sejenak sapaan dari kawan, handai taulan, keluarga, maupun saudara adalah sepercik pengakuan yang mereka atau kita sematkan bagi orang-orang sekitar; bahwa keberadaannya masihlah diakui. Dan bagi saya, itu adalah proses memanusiakan manusia paling dasar. Mulai dari sapaan, pada siapa pun, kapan pun. Terlebih lagi bila itu dibumbui dengan senyuman.

Tak perlu ada kepentingan bila berkenaan dengan sapaan. Cukup sebuah landasan bahwa kita pernah mengenal. Bahkan sekadar tahu nama, atau hal-hal sepele lainnya. Hal itu sudah cukup untuk menjadi landasan kuat bahwa kita pantas untuk menyapa. Untuk menghargai sesama, dan memanusiakan manusia lainnya.

Jangankan itu. Kita yang tiap hari sok-sokan mengenal Tuhan saja berani dengan lancang meminta segalanya. Padahal, toh Sang Maha Segala tersebut belum tentu mengabulkannya atas pengakuan bahwa kita mengenal-Nya. Bisa saja itu dilakukan atas dasar kasih. Siapa kita -atau saya- berani-beraninya mendaulat sebagai makhkuk yang dekat dengan-Nya. Padahal menyapa-Nya juga jarang-jarang, paling kalau butuh saja. Bukankah Dia adalah Maha Segala, yang tanpa diberi tahu telah mengetahui segalanya.

Lantas kenapa kita (Saya) selalu keterlaluan banyak meminta. Tanpa melihat yang telah diberi pada diri kita sendiri. Setidaknya, menyapa Tuhan adalah salah satu bentuk kesyukuran tersendiri atas nikmat-Nya. Dan bentuk apresiasi kita atas pemberian yang lebih banyak Dia kasih dengan tidak dinyana. Meskipun Sang Maha Sendiri tak membutuhkannya. Karena Dia tahu kita pantas menerimanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan