Penjual Cilok Naik Haji

2,223 kali dibaca

Di Kampung Congkal, banyak penjual cilok menjajakan dagangannya. Tapi, entah mengapa cilok Pak Huri mempunyai daya tarik tersendiri. Mulai anak-anak hingga yang orang tua, saban pagi dan sore menunggu bunyi terompet dan suara renyah Pak Huri, “Tet-tot-tet-tot. Wayahe… wayahe.” Rengekan anak kecil meminta, rayuan manja sang mudi kepada muda ketika melewati gerobak kecil Pak Huri. Juga tak luput mbahmbah yang rela daun sirihnya digantikan kuluman cilok Pak Huri.

Cilok Pak Huri terkenal seantero Kampung Congkal, bahkan sampai tingkat kecamatan. Meski begitu, Pak Huri membatasi jumlah ciloknya dan ruang gerak serta waktunya. Pak Huri membuat kalkulasi ketika memulai usaha ini dengan berutang pada Haji Somad. Jumlah cilok yang dijual selalu dijual 300-500 biji. Pagi menjajakan jam 10.00 di depan SD terdekat, siang istirahat, dan sore jam 14.00 sampai jam 16.00 Pak Huri sudah pulang.

Advertisements

“Pak, mbok ya jumlah ciloknya ditambah lagi, kasihan kami menunggu seharian, pas ketemu eh sudah habis,” keluh satu pelanggan yang kecewa karena kehabisan stok cilok.

“Maaf, Neng, rezeki sudah ada yang ngatur. Biarlah penjual cilok yang lain yang merasakan rezeki itu,” dengan lugu Pak Huri menjawab.

Sudah sering Pak Huri mendapatkan protes dari beberapa langganannya. “Pak Huri gak cool nih. Istri saya ngidam ciloknya Pak Huri, eh tak cari-cari keliling kampung, pas ketemu habis,” sungut kesal langganan lainnya.

“Maaf-maaf, bukan saya pilih kasih, sampeyan kan bisa beli ke penjual cilok yang lain,” Pak Huri berusaha menenangkan.

“Lah, orang ngidam itu punya indera kedelapan belas, kalau saya ganti dengan cilok lain pasti akan kerasa bedanya. Bisa-bisa anak saya lahir ngileran bibirnya ndower ke bawah, sampeyan mau bertanggung jawab?!” protes pelanggan tadi.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan