Pengemis di Makam Sunan Gunung Jati

“Maaf, Mas, tak punya uang,” ketus seniorku.

Pria berkaus putih dengan tas selempang tampak tidak puas. Dahinya mengernyit, dan matanya meneliti kami satu per satu. Sepertinya, dia enggan menyerah. Aku melirik ke sekeliling. Malam sudah larut, gerbang makam Sunan Gunung Jati sepi, dan beberapa gambar terlihat mengawasi dari kejauhan. Perasaanku tak enak.

Advertisements

“Orang mana, Mas?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.

Seniorku menampilkan sikap kalen. Raut wajahnya masih menyimpan kekesalan. Malam ini dia sudah dibuat frustrasi karena gagal masuk ke bagian dalam makam Sunan Gunung Jati yang berasa di Cirebon, Jawa Barat.

Setelah berlama-lama menawar harga dengan penjaga, kami tetap hanya diperbolehkan sampai di bagian luar. Itupun harus membayar lima puluh ribu rupiah. Sekarang, masih ditambah peminta-minta ini.

“Orang Madura,” jawabnya singkat, nada suaranya jelas masih kesal.

Keheningan menghentikan kami. Pria itu tampak terkejut. Tatapan matanya berubah, seolah baru menyadari sesuatu. Dia tak bertanya lagi, tak juga memaksa. Tanpa banyak bicara, dia langsung melangkah mundur dan mempersilakan kami pergi.

Kami pun segera meninggalkan gerbang makam.

***

Cerita tersebut merupakan pengalaman penulis saat berziarah ke makam Sunan Gunung Jati bersama teman-teman pondok. Pengalaman menarik, sebenarnya. Ada dua hal yang saya garis bawahi dari cerita tersebut.

Pertama, sudah menjadi fakta, bahwa Madura terkenal dengan stereotip budayanya yang keras, terutama “Carok”. Sebuah reputasi yang terkadang menjadi keuntungan, terkadang pula menjadi beban.

Dalam kasus kami malam itu, seolah-olah nama “Madura” menjadi semacam kata kunci yang cukup untuk mengubah niat seseorang. Pria itu—entah pengemis sungguhan atau bagian dari kelompok yang mencari mangsa di malam hari—langsung surut begitu mendengar asal-usul daerah kami. Ini menggelitik pikiranku. Apakah ia takut pada orang Madura? Atau hanya merasa tidak ingin cari masalah dengan kelompok yang dikenal “berani”?

Kedua, soal pungli dan percaloan. Kami datang dengan niat ziarah, membawa semangat untuk menyambung ruh keislaman dari para ulama terdahulu. Tapi niat baik itu seperti terhambat oleh sistem yang tidak sehat. Pintu makam bukan lagi hanya gerbang spiritual, tapi juga gerbang bisnis. Tarif tak resmi, nego harga, dan pengelolaan yang semrawut menjadi pemandangan yang sangat ironis di situs religius seperti ini.

Pada akhirnya membuat saya merenung: mengapa ziarah harus diwarnai ketegangan semacam ini? Mengapa makam seorang wali, yang semestinya menjadi tempat perenungan dan mendekatkan diri, justru dipenuhi praktik transaksional yang menyulitkan orang untuk masuk?

Sebagai catatan saja, hanya di makam Sunan Gunung Jati ini yang benar-benar diwajibkan membayar untuk masuk ke dalam makam inti. Untuk di makam Walisongo yang lain hanya berupa infak seikhlasnya. Termasuk para pengemis yang begitu banyak hingga mengganggu para peziarah. Untungnya, waktu itu kami datang tengah malam, sehingga tidak terlalu banyak pengemis.

Entah hal semacam ini sudah menjadi budaya yang diajarkan dan dinormalisasi sejak dulu atau memang tidak ada ketegasan dari pihak berwenang. Ah, saya jadi teringat ucapan seorang pejabat di negeri ini, bahwa meminta-minta, khususnya untuk THR, adalah budaya kita.

Makam Sunan Gunung Jati adalah warisan spiritual. Tapi jika dikelola dengan semangat materialistik, nilai-nilai warisan itu bisa terkikis perlahan. Di tengah gelap malam Cirebon dan sunyinya kompleks makam, saya belajar bahwa kadang ziarah paling tulus bukanlah ke makam wali, melainkan ke dalam diri sendiri—menjaga niat dan sikap.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan