Pengabdian di Pesantren: Mengamalkan Ajaran Para Sufi

1,475 kali dibaca

Abu Sa’id ketika ditanya perihal jumlah jalan menuju Tuhan, menjawab: “Menurut beberapa catatan, ada seribu jalan, menurut catatan lain, jalan menuju Tuhan sebanyak partikel yang ada di dunia ini. Tetapi jalan terpendek, terbaik dan termudah menuju Tuhan adalah memberi kenyamanan kepada orang lain.”

Beberapa catatan penting terkait ajaran atau prinsip sufi itu dicatat oleh Dr Javad Nur Bakhsh. Di antara ajaran atau prinsipnya adalah pendekatan praktis (lahir) dan visioner (batin) terhadap kesatuan wujud, cinta Tuhan, seruan untuk menyembah Tuhan, keterlibatan dalam sebuah pekerjaan; menghindari kemalasan dan pengangguran, pelayanan kepada sesama dan mencintai umat manusia, tidak melawan perlakuan buruk, kesopanan spiritual, toleransi agama, kebebasan; kedermawanan; dan pelepasan diri dari dunia, sikap baik kepada binatang dan terakhir aksentuasi dimensi dalam dari syariat atas dimensi luar.

Advertisements

Pesantren sebagai wadah atau tempat bernaung anak-anak muda bahkan tua yang sedang dan terus memperdalam agama sangat akrab dengan ajaran-ajaran di atas. Setiap harinya berkutat dan bercengkerama dengan kitab-kitab agama, termasuk bidang hukum maupun tasawuf. Selain mendapat pelajarannya, penekanan lain adalah pengamalan ajaran-ajaran tersebut. Baik bersifat sistematis-terorganisasi maupun kreativitas individual.

Sistem dalam pesantren biasanya berdasar pada ajaran-ajaran agama. Melalui kreativitas pengasuh, pembimbing dan pengurus-pengurus inti ajaran agama disistematiskan menjadi kode etik pesantren. Poin-poin dalam kode etik merupakan cerminan ajaran-ajaran penting dalam agama. Pengabdian jadi salah satu poin terpenting dalam kode etik atau aturan yang harus dipenuhi. Ternyata, di balik penerapan sistem pengabdian di pesantren, ada nilai, ajaran atau prinsip agama yang sangat inti.

Tugas manusia di dunia adalah menuju Tuhan; dari Tuhan kembali ke Tuhan. Pertanyaan yang sering muncul dan kadang tak kunjung segera mendapatkan jawaban adalah bagaimana manusia menempuh jalan agar sampai kepada Tuhan. Jalan mana yang bisa mengantarkan manusia menuju dan sampai pada Tuhan. Bukankah di dunia ini begitu banyak pengetahuan, ajaran, prinsip, norma, dan sejenisnya. Semuanya saling tindih berebut tempat dalam pikiran dan hati. Adakah yang terpendek dan tercepat dari sekian banyak jalan? Jawabannya ada.

Pada dasarnya para guru sufi klasik berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung perkembangan kualitas-kualitas manusia di antara mereka. Mengabdi pada manusia demi kemanusiaan.

Banyak kisah yang menceritakan tentang pengabdian para guru sufi dan pernyataan yang menunjukkan pentingnya prinsip pengabdian kepada sesama. Seperti yang diriwayatkan Sari Saqati:

“Saat itu hari raya, aku melihat Ma’ruf al-Karkhi sedang mengumpulkan buah kurma. Aku bertanya kepada dia tentang tujuan pekerjaannya itu.”

“Aku meihat seorang anak menangis. Aku bertanya kepadanya mengapa menangis.”

Anak itu berkata: “Aku seorang yatim-piatu, tidak memiliki ayah dan ibu. Sekarang di hari raya, semua anak diberi baju baru. Tetapi aku tidak. Anak-anak lain punya kelereng sebagai mainan, tetapi aku tidak.”

“Jadi aku kumpulkan buah kurma ini untuk aku jual. Untuk membelikan dia kelereng agar ia dapat bermain, sehingga dia tidak menangis lagi.”

Cerita lain dari Sahl at-Tustari. Ia menceritakan:

“Aku pernah melakukan perjalanan bersama Ibrahim bin Adham. Ketika aku jatuh sakit, apa pun yang dia miliki dia jual untuk menutupi pengeluaranku. Aku meminta pertolongannya. Dia bahkan menjual keledai miliknya untuk memenuhinya. Katika aku sembuh, aku bertanya tentang keledainya. Dia berkata bahwa telah dijualnya.

“Lalu dengan apa aku meneruskan perjalanan?” tanyaku.

“Oh, saudaraku, naiklah di kedua bahuku.”

Aku dipanggulnya sejauh tiga kilometer.”

Masih cerita tentang pengabdian Ibrahim bin Adham kepada sahabatnya. Diceritakan oleh ‘Attar: “Suatu ketika tiga lelaki melakukan salat jemaah di masjid yang rusak. Ketika mereka tertidur, Ibrahim bin Adham berdiri di dekat pintu sampai pagi. Pagi harinya, kedua kawannya bertanya kepadanya, mengapa dia melakukan itu. “Cuaca begitu dingin” jawab Ibrahim, “dengan angin yang menggigil. Jadi aku berdiri di pintu, agar kalian tidak begitu menderita, dan biarlah aku menanggungnya.”

Pengabdian memiliki banyak bentuk dan cara. Lain keadaan lain pula caranya. Seperti halnya pengabdian di pesantren. Santri pengurus diberi tanggung jawab mengurus, mengawasi, mendidik para santri. Melalui aturan yang sudah ditetapkan pesantren, pengurus berkewajiban mengabdi, supaya aturan atau sistem berjalan dengan lancar. Kegiatan santri berjalan kondusif.

Pengabdian di pesantren bisa menjadi perjalanan atau pengalaman spiritual bagi pengurus. Melalui niat tulus; niat tanpa pamrih dunia (berpaling dari dunia –tangga lain dari perjalanan menuju Tuhan), mencintai sesama santri demi terbangunnya integritas pribadinya santri, dan demi berjalannya aturan maupun kegiatan yang telah ditetapkan pesantren. Melalui mekanisme yang tepat, pengurus akan mengalami pengalaman spiritualnya masing-masing.

Strategi pengabdian ini menjadi penting dan merupakan strategi paling kreatif dari pengasuh. Supaya santri dapat mengamalkan apa yang telah diamalkan para sufi. Dapat mencontoh tindak-laku dari para sufi. Tentu, pengasuh punya pandangan visioner dalam menetapkan pengabdian sebagai syarat wajib, bukan penetapan tanpa makna dan aturan belaka.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan