Pemikiran Gus Dur dan PR Perempuan

1,096 kali dibaca

“Bersyukurlah memiliki seorang bapak yang selalu ABG.”

Sedikit cerita, begitu kira-kira kalimat yang pernah Bapak katakan sembari tersenyum penuh kebanggaan.

Advertisements

Bukan hanya sekadar abang-abang lambe, lips service, tetapi apa yang menjadi pemikirannya adalah berkat pemikiran seorang tokoh besar yang amat dicintai banyak orang —yang baru saya kenal kemudian. Pemikiran sang tokoh mengilhami dan benar benar diterapkannya dalam menemani saya bertumbuh sebagai anak perempuan semata wayang meskipun diapit dua saudara
laki-laki.

Istilah ABG, yang diartikan anak baru gede, sendiri barangkali sudah jarang digaungkan pada zaman sekarang. Tetapi, bagi generasi 1970-an (generasinya bapak), istilah tersebut menjadi sangat populer sebagaimana hari ini kita sering menyebutkan istilah milenial. Sebutan ABG menjadi bahasa gaul yang lazim digunakan pada masa itu.

Namun, yang menarik, istilah yang diungkapkan bapak bukan merujuk pada anak baru gede itu, melainkan Anak Buah Gus Dur (ABG)— yang sekarang istilahnnya menjadi Gusdurian. Sebagai ABG, bapak menempatkan pemikiran Gus Dur sebagai kompas penunjuk jalan —dalam hal nonpatriarki— untuk mengambil sikap dalam mendidik anak perempuannya.

Gus Dur yang saya tahu awalnya adalah seorang kiai karena ada gelar KH di depan namanya. Sebagai seorang santri, menghormati beliau adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Tetapi, lebih dari itu, pemikiran dan pandangannya yang jauh ke depan, membuat banyak orang tidak bisa berhenti berdecak kagum dan mengidolakannya, termasuk saya. Adalah hal yang sepatutnya kita teladani sebagai generasi muda. Sepak terjangnya di dunia intelektual, keulamaannya, ajaran pluralismenya, pandangannya tentang perempuan, hingga perjuangan membela hak minoritas, adalah kelantangan suara yang tidak banyak orang berani dengungkan.

Ada dua hal yang menarik perhatian setiap berbicara tentang pemikirannya terhadap perempuan. Hal yang tentu saja hingga hari ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama, sehingga diperlukan kesabaran dan bertindak secara hati-hati dalam mewujudkannya.

Pertama, bagaimana pandangan Gus Dur terhadap politik perempuan. Dan, kedua, bagaimana sikap Gus Dur terhadap masalah poligami yang seringkali menyudutkan posisi perempuan.

Terhadap politik perempuan, Gus Dur memiliki pandangan adil atau tidak berat sebelah. Bagi Gus Dur, perempuan bisa saja menjadi pemimpin dengan memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin. Terlihat jelas ia menjunjung ke-berimbang-an hak laki-laki dan perempuan sebagaimana yang banyak disampaikannya baik dalam tulisan maupun melalui wawancara di media.

Dalam bukunya yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menyangkal anggapan dangkal yang menempatkan perempuan lebih rendah di bawah laki-laki dengan mengutip ayat Al-Quran sebagai sumber tekstual (‘adillah naqliyah).

Di antara ayat Al-Quran yang sangat sering dipakai sebagai dasar melemahkan perempuan adalah “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’)” (QS al-Nisa’ [4]:34). Selain itu, ayat Al-Quran yang juga sering dikutip dan dipakai dalam hal ini, yaitu “Bagian pria adalah dua kali bagian wanita (Li al-dzakari mitslu hazzi al￾untsayain)” (QS al-Nisa’ [4]:11).

Gus Dur memiliki penafsiran tersendiri terhadap kedua ayat yang dijadikan dalil untuk memandang posisi perempuan lebih rendah dari lelaki. Menurut Gus Dur, ke-berimbang-an penilaian antara laki laki dan perempuan didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa,” (QS alHujurat [49]:13).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya hanyalah bersifat biologis, bukan lainnya, sebagaimana disangkakan banyak orang yang bahkan mempengaruhi pola pikir kaum perempuan itu sendiri.

Pandangan tersebut disuarakan Gus Dur saat menerima kunjungan seorang ulama asal Pakistan ketika masih menjabat Ketua Umum PBNU. Saat itu Gus Dur diminta untuk mendoakan negara tersebut agar terhindar dari petaka, sebab saat itu Pakistan sedang dipimpin seorang Perdana Menteri perempuan, Benazir Bhutto.

Gus Dur menyangkal hal tersebut. Menurutnya, naiknya seorang perempuan sebagai pemimpin bukanlah sebuah malapetaka. Sebab, ketika perempuan memiliki kualifikasi dan sangat dihormati masyarakat, maka boleh saja ia menduduki kursi kepemimpinan.

Realitasnya, jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan hanya secara tekstual dan apa adanya. Padahal, seharusnya dalam memahami dan mengkaji hadis, mutlak diperlukan pengetahuan terkait asbabul wurud (sisi historis) yang melingkupinya sehingga dapat dipahami mengapa sebuah hadis berbunyi demikian.

Oleh sebab itu, menurut Gus Dur, diperlukan adanya penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang ada. Lagi pula, kepemimpinan pada masa sekarang tidak berbentuk perseorangan (individual leadership) seperti kepemimpinan suku atau kaum, melainkan kelembagaan di mana pemimpin mengambil keputusan melalui sidang kabinet dengan menteri yang juga mayoritas laki-laki.

Perihal kedua, ketika ditanya bagaimana pandangannya tentang poligami dalam salah satu wawancara, jawaban Gus Dur tidak serta merta menempatkan dirinya menjadi orang
yang diberikan “hak” untuk itu.

Tetapi, ia menjelaskan bagaimana orang seringkali salah menafsirkan tentang hal ini. Karena, jika dilihat secara sosio-historis, dahulu laki-laki di Arab diperbolehkan memiliki istri berapa saja, tetapi ajaran Islam datang kemudian menguranginya menjadi hanya empat saja.

Menurut Gus Dur, alasan empat adalah karena managable waktu. Akan tetapi, hal yang paling penting dalam hal ini adalah bagaimana laki-laki dapat bersikap adil terhadap istri satu dengan lainnya baik dalam belanja lahir maupun batin.

Di sini, Gus Dur mengungkapkan bahwa ia tidak bermaksud menggugat Islam dengan pernyataannya, akan tetapi ia lebih melihat dari sisi psikologi perempuan. Menurutnya, sepanjang pemahaman Gus Dur, tidak ada perempuan yang mau dipoligami.

Ketika laki-laki ingin melakukakannya, maka harus bertanya dulu kepada istrinya. Jika istrinya tidak memperbolehkan, jelas hal tersebut tidak boleh dilakukan oleh seorang suami. Jika
diperbolehkan, ya, silakan.

Kata Gus Dur, “Ya, kalau istrinya nggak boleh, ya sudah. Sebab, saya yakin nggak ada istri yang mau. Kalau sampai ada yang mau —jangan dipaksa lho ya—pasti kelainan. Tetapi, sepanjang yang saya paham, tidak ada istri yang mau.”

Perempuan seharusnya lega usai membaca pandangan dari tokoh besar sekaliber Gus Dur. Keberpihakkannya kepada keadilan rupanya memang sejak dalam pikiran yang kemudian implementasinya bisa kita lihat bersama melalui sikap yang diambil oleh Gus Dur. Pembelaan tanpa keraguan selalu ditunjukkan Gus Dur di hadapan banyak orang.

Masalahnya adalah perempuan sendiri hingga hari ini masih banyak yang tidak menyadari kekeliruan sikapnya. Memilih acuh karena tidak mau repot, meragukan kemampuannya, bahkan terkadang merendahkan sesama kaumnya. Permasalahan yang dihadapi sudah begitu banyak dan berat untuk memperjuangkan hak perempuan di luar sana. Meskipun sudah diatur oleh Undang-Undang, tetapi dalam praktiknya tidak semuda yang diperkirakan. Bagaimana mungkin secara intern perempuan sendiri tidak mau mengatasi masalahnya? Kita harus adil kepada diri sendiri dahulu, bukan?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan