Pembaruan Islam: Antara Tajdid dan Tadhlil

59 views

Pada masa keemasan Islam, nama-nama bintang di langit dihiasi oleh berbagai nama Arab, melambangkan kejayaan Islam kala itu. Sebutlah, misalnya, bintang Ain al Rami (eye of the archer), Altair (an-nasr ath-Tha`ir/elang yang terbang) dan masih banyak lagi. Setelah beberapa kurun, nama-nama bintang dari Arab (Islam) kian memudar, terkalahkan oleh nama-nama latin yang terus memimpin hingga kini.

Demikian lah seorang novelis internasional, Dan Brown, mengilustrasikan keadaan Islam yang semula mengungguli barat tetapi kemudian melemah dan belum bangkit kembali sampai saat ini.

Advertisements

Meski begitu, ketertinggalan ini nyatanya baru mendapatkan reaksi yang serius setelah penjajahan barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Umat Islam di banyak bagian dunia tertinggal di berbagai bidang, baik ekonomi, politik, maupun teknologi, jauh dengan keadaan negara-negara Barat yang telah maju. Pada saat yang sama, umat Islam terjepit oleh kolonialisme yang semakin menguasai tanah-tanah Islam, seperti yang terjadi di Mesir, India, dan negara-negara Arab.

Kondisi semacam ini kemudian memicu banyak pemikir dan intelektual muslim untuk mencari solusi agar umat Islam dapat bangkit dan kembali pada masa kejayaannya. Banyak tokoh reformis, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, menyerukan agar umat Islam melakukan pembaruan, dengan cara kembali kepada ajaran asli Islam. Di sisi lain, Muhammad Iqbal, seorang filsuf, sastrawan, dan pemikir dari India, mengkritik sikap taqlid yang berlebihan terhadap tradisi-tradisi masa lalu tanpa mempertimbangkan relevansi dan rasionalitasnya dengan kondisi masa kini.

Iqbal menyerukan agar umat Islam bersama-sama melakukan ijtihad, untuk memahami ajaran-ajaran Islam secara mendalam dan menyeluruh dengan menggali kandungan makna Al-Qur’an dan Hadis secara dinamis.

Pembaruan Islam yang digaungkan oleh kalangan reformis ini memang memiliki banyak sekali nilai positif. Di antaranya, lahirnya organisasi-organisasi Islam yang mengusung konsep tajdid seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, ada juga nilai negatif yang disebabkan pembaruan Islam.

Misalnya, gerakan radikalisme pemurnian ajaran Islam dengan menolak banyak hal dalam tradisi Islam termasuk khazanah keilmuan yang diwariskan para ulama terdahulu. Berasaskan pemurnian ajaran Islam, kelompok ini ‘doyan’ menggunakan slogan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Hadis melalui ijtihad secara serampangan.

Padahal, ijtihad tidak cukup bermodal terjemah Al-Qur’an dan Hadis saja. Tanpa ilmu yang mumpuni, ijtihad semacam ini bukan hanya konyol, tetapi juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan syariat Islam. Jika hal ini terus berlangsung, bukan tajdid yang akan tercipta, melainkan tadhlil (penyesatan dan penyelewengan) terhadap umat.

Di sisi lain, kaum tradisionalis banyak yang terjebak dalam taqlid buta dan mensakralkan pendapat ulama hingga terjadi stagnasi epistemologis dan membawa banyak dampak negatif. Imam Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahkan mengatakan bahwa fanatik terhadap mazhab merupakan salah satu pintu setan untuk membuat perpecahan dan perselisihan.

Mereka yang fanatik terhadap suatu madzhab cenderung membenarkan pendapat ulamanya, memandang rendah pendapat madzhab lain hingga pucuknya merasa berjalan di atas agama padahal sejatinya mereka sedang mengikuti jalannya setan.

Mirisnya, hingga kini banyak umat Islam yang terjebak dalam perselisihan dan debat kusir terkait suatu permasalahan fikih, yang ujungnya menyebabkan mereka tertinggal oleh orang-orang Barat yang terus konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Oleh karena itu, penting untuk kembali menjelaskan taqlid dengan matriks pemikiran yang lebih matang, sehingga pembaruan Islam yang dicita-citakan umat muslim dapat terwujudkan.

Pada dasarnya, taqlid memiliki arti mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Seorang yang taqlid akan meyakini kebenaran pendapat tersebut dan mengikutinya. Seorang yang taklid dinamakan dengan `aami (orang awam). Sederhananya, taqlid adalah sebuah solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Taqlid menjadi media penyelamat dari kesembronoan dan pendangkalan syariat bagi umat yang awam dan tidak mampu menggali hukum langsung dari sumber syariat. Secara umum, mengecualikan aliran yang mengatakan tidak taqlid, umat Islam saat ini mesti bertaqlid kepada salah satu dari mazhab yang 4, Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Sebab, jika enggan disebut tidak ada, sedikit sekali orang yang memenuhi kriteria untuk mencapai taraf mujtahid yang mampu mengolah hukum sendiri dari Al-Qur’an dan Hadis.

Kendati demikian, bukan berarti umat muslim akan terus stagnan dalam keilmuan Islam karena taqlid. Sebab, seorang yang mempelajari khazanah keilmuan Islam yang diwariskan para ulama, khususnya fikih dan ushul fikih, akan memiliki wawasan keagamaan yang mumpuni. Itu sebabnya, muncul tokoh besar seperti Kiai Sahal Mahfudz yang mampu menciptakan sebuah konsep fikih sosial.

Fikih sosial adalah fikih yang merespons secara aktif dan solutif persoalan-persoalan keumatan, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan keterbelakangan. Fikih sosial lahir dari stagnasi pemahaman fikih yang tidak mampu memahami persoalan-persoalan aktual umat secara kontekstual dan solutif. Fikih sosial menghindari pemahaman hitam putih, tetapi mengembangkannya secara dinamis, kreatif, dan inovatif.

Melalui kitab-kitab klasik, berbagai permasalahan modern yang ada dijawab dengan taqlid qauli (taqlid terhadap pendapat ulama melalui teks dalam kitab-kitab klasik), berdasarkan metode ilhaq Al-Masa’il bi Nadzairiha (menyamakan permasalahan-permasalahan baru dengan kasus serupa yang pernah dibahas oleh ulama di masa lalu). Metode semacam ini biasanya digunakan di berbagai pesantren salaf, seperti Lirboyo, terutama ketika bahtsul masail.

Ketika teks yang ada tidak mampu menjadi solusi persoalan umat, maka digunakan taqlid manhaji, yaitu upaya mendalami kajian ushul fikih dan kaidah fikih sebagai metodologi pemutusan hukum terkait problematika aktual yang belum dirumuskan oleh ulama terdahulu dengan mengedepankan kemaslahatan umat.

Dengan fikih inovatif semacam ini, Islam tidak lagi mengalami stagnasi epistemologi. Para ulama kontemporer kini mampu menghadapi berbagai persoalan modern dengan pandangan yang berpijak pada kemaslahatan bagi umat dan metode yang lebih matang sehingga tidak serampangan dalam memutuskan sebuah hukum.

Di sisi lain, taqlid pada masa modern ini tidak lagi baku. Umat Islam, sebagaimana disampaikan Kiai Hasyim Asy`ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, diperbolehkan untuk mengambil pendapat dari mazhab Syafii di satu waktu, dan mengambil pendapat dari mazhab selainnya. Meski begitu, perpindahan mazhab ini tidak boleh digunakan untuk bermain-main atau mengambil yang ringan-ringan saja karena hal itu sama saja dengan mempermainkan agama.

Dengan begitu, harapannya umat Islam tidak lagi terjebak dalam perselisihan antarmazhab, sehingga bisa berfokus untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Pucuknya, pembaharuan Islam tidak lagi sekadar fatamorgana dan utopia belaka, tetapi asa yang memang bisa umat Islam raih.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan