Pedagang Semangka

1,095 kali dibaca

Dengan wajah keruh Toha membuang satu per satu semangka-semangkanya ke dalam jurang. Berkali-kali Toha mendengus kasar untuk mengusir bau busuk yang menyundut-nyundut hidungnya. Teriris hatinya mengingat musibah yang bertubi-tubi menimpanya.

Hampir setiap hari Toha dimarahi dan dimaki habis-habisan oleh pelanggan-pelanggannya karena semangka yang dibeli mereka saat dibelah dagingnya seperti kapas, berwarna hitam, berbau busuk, dan dikerubungi ulat-ulat menjijikkan meskipun kulitnya masih tampak hijau segar.

Advertisements

Bukan hanya itu,  kemarin, Toha juga kehilangan uang sebesar tiga puluh juta. Uang itu hilang secara misterius. Padahal, tempat penyimpanan uang itu tidak ada yang tahu kecuali Toha dan orang yang paling dekat dengannya. Uang itu dibungkus dengan plastik dan dikubur ke dalam tanah di samping lincak di dalam kontrakannya. Rencananya, uang itu akan Toha gunakan untuk mendaftar haji tiga bulan lagi.

Setelah selesai membuang semangka-semangka itu, Toha bergegas pulang dengan langkah lunglai.  “Pate’! (1)”  umpat Toha dengan tangan terkepal lantas meludah ke tanah dengan kasar.

Sesampainya di sebuah toko tua yang ia sewa untuk dijadikan tempat mendagangkan semangka sekaligus tempat penginapannya selama berbulan-bulan, Toha membuka songkok hitamnya lantas merebahkan tubuhnya di atas lincak. Toha kipas-kipaskan songkok hitam itu pada tubuhnya yang dibanjiri keringat sambil menoleh pada tumpukan semangka di sampingnya.

Nanar Toha menatap tumpukan semangka itu yang hanya tinggal beberapa biji. Tadi, Toha telah memeriksa satu per satu semangka-semangkanya untuk mengetahui dagingnya normal atau tidak dengan cara mengetuk, menimbang, bahkan sampai membelahnya. Dan hasilnya, hanya semangka-semangka yang ditumpuk itu yang positif normal. Mungkin hanya sepuluh buah.

Cong, ini ada kiriman nasi lagi, Cong!”

Toha terperanjat, buru-buru mengenakan songkok hitamnya dengan cepat. Seorang nenek yang sudah membungkuk tiba-tiba saja berdiri di depannya dengan menenteng plastik berisi sebungkus nasi. Tidak asing lagi baginya, nenek itu adalah Nyi Marsina, seseorang yang rutin mengantarkan nasi kuning padanya sejak seminggu yang lalu setiap senja.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan