Para Pencadu Ilmu

2,136 kali dibaca

Ilmu pengetahuan seperti halnya sebuah aliran air dengan kesegarannya. Bila seseorang yang telah wusul/hadir dalam pencarian ilmu pengetahuan, maka akan menikmati sensasi seperti halnya pemabuk dengan iringan irama lagu:

فَأُشْرِبَتْ مَعْنٰى ضَمِيْرِ الشَّانِ ☼ فَأُعْرِبَتْ فِي الْحَانِ بِالْأَلْحَانِ

Advertisements

“Dan karena cintanya pada Allah, mereka menjadi tenggelam dalam lautan cinta, lupa segala sesuatu yang selain Allah, bagaikan seorang pecandu minuman yang sedang asyik meminumnya dengan diiringi irama lagu-lagu.

Pada tingkatan demikian, maka ilmu akan seperti halnya minuman arak yang membuat seseorang mabuk dan tenggelam dalam kecintaan atas ilmu pengetahuan yang dicarinya. Pada tahapan ini,

ilmu pengetahuan yang ia dapatkan seperti halnya obat dari keresahan dalam jiwanya, dan ia telah menjadi pecandu ilmu.

Nilai yang didapatkan seseorang dari ilmu tidak lagi sekadar pengetahuan semata. Akan tetapi, telah menjadi pemuas hasratnya hingga adiktif dan sakau atas informasi ilmu pengetahuan. Maka, ilmu bagaikan zat adiktif yang mana bila dikonsumsi menimbulkan ketergantungan yang sulit dihentikan. Di sinilah kenikmatan ilmu pengetahuan bagi seseorang yang telah menyelaminya.

Ada beberapa ulama terdahulu yang berada di wilayah ini. Bahkan, saking gandrung pada ilmu pengetahuan, mereka rela membujang sepanjang hidup. Berikut contoh beberapa ulama terdahulu yang membujang karena kecintaannya pada ilmu.

Petama, Ibnu Jarir at-Thobari. Ia adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobari yang  dilahirkan di Thobaristan pada 224 Hijriah. Ia menyandang sederet gelar, di antaranya Al-Imam Almujtahid, Alhujjah, Almufassir, AlFaqiih, Al-ushuli, An-Naddzor, Al-Muqri, Al-Muarrikh, Al-Lughoqi, Al-‘Arudli, Al-Adiib, Ar-Rawi, As-Sya’ir, Al-Muhaqqiq, dan Al-Mudaqqiq.

Dalam kitab Kunuzul Azdad dikisahkan tentang perjalanan hidup at-Thobari yang tidak pernah menyia-nyiakan satu menit pun dalam hidupnya kecuali untuk hal yang bermanfaat atau memberikan manfaat kepada sesamanya.

Bahkan, dikisahkan, pada satu jam atau kurang sebelum ajal menjemputnya dalam kondisi sakit, at-Thobari masih meminta pena dan lembaran kertas untuk menulis. Kemudian seseorang bertanya kepadanya: “Apakah dalam keadaan seperti ini engkau masih meminta kertas dan pena untuk menulis?”

Imam Thobari pun berkata: “Seyogyanya manusia itu menuntut ilmu, dan melahap semua ilmu sampai waktu ajal datang menjemput.”

Kedua, Imam Nawawi. Nama lengkapnya adalah Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya Ibnu Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi. Dilahirkan di Desa Nawa, dekat selatan Syiria yang dekat dengan Damaskus pada 631 Hijriyah.

Pada 676 H, Imam Nawawi berziarah ke Baitul Maqdis. Kembali dari sana, Imam Nawawi ditimpa penyakit. Ia kemudian tinggal bersama orang tuanya hingga ajal datang menjemputnya. Pada bulan Rajab di tahun yang sama, Imam Nawawi wafat di usianya yang masih terbilang belum terlalu tua, yaitu 45 tahun. Ia tidak menikah dan tidak meninggalkan keturunan setelahnya.

Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Imam Nawawi telah meninggalkan berbagai macam karangan yang sangat bermanfaat dan terbilang banyak. Ada ungkapan, jika lembaran-lembaran yang dituliskan oleh Imam Nawawi dikumpulkan, niscaya akan lebih banyak apabila kita hitung daripada jumlah hari yang dimiliki semasa hidupnya.

Ketiga, Ibnu Taimiyyah. Nama lengkapnya adalah Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas ibnu Taimiyyah Al-harrani tsumma Dimasyqi. Ia lahir pada 661 H dan wafat pada 728 H dalam usia 67 tahun. Warisan Ibnu Taimiyyah berupa buku yang jumlahnya lebih dari 500 karangan.

Buku-buku karya Ibnu Taimiyyah masih banyak yang bisa kita jumpai saat ini, dan itu dalam berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya Muqoddimah fi Ushuli Tafsir, yaitu kitab yang menjadi banyak rujukan para mufassir setelahnya sampai sekarang dan Al-Jawab Ash-Shahih Liman Badala Dina yang masih bisa kita jumpai khusunya bagi yang mempelajari studi komparasi agama. Dalam bidang ilmu tauhid, Ibnu Taimiyyah menulis Aqidah Al-Washitiyyah, Aqidah Tadmuriyyah, dan lain sebagainya. Adapun, Maj’mu Fatawa li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, merupakan kitab yang banyak dirujuk dalam berbagai macam fatwa dan masih banyak lagi.

Hukum Membujang

Mereka tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh besar dunia lantaran kecanduannya pada ilmu pengatahuan. Sepanjang hidup, mereka tenggelam dalam samudra ilmu, hingga waktu dan tenaganya tidak ada kecuali untuk ilmu pengetahuan.

Lalu, pertanyaannya adalah, jika tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam tersebut membujang karena kecanduan ilmu pengetahuan, bagaimana hukumnya? Apakah mereka tidak mengetahui ada hadits Nabi yang melarang membujang?

‎رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan, tentu kami (akan ber-tabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” (HR Bukhari Nomor 5073 dan Muslim Nomor 1402).

Ada beberapa pendapat ulama tentang hadits tersebut. Hadits ini dianggap bersifat khusus, maknya tidak bersifat umum. Misalnya, dalam kitab al Fiqhu al Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i (2: 14-15) dijelaskan, karena kesibukan seseorang dengan ibadah dan menuntut ilmu agama, nikah menjadikan penyebab kelalaian pada hal tersebut, meski secara finansial mampu, tetap ia tidak dianjurkan untuk menikah.

Lalu, dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami, Imam al-Khathib al-Baghdadi juga memberikan penjelasan seperti ini: “Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu.”

Bahkan, di lingkungan para pecandu ilmu saat itu sampai ada ungkapan yang terbilang sangat controversial seperti ini:

‎ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ النساءِ

Artinya: “Ilmu itu telah disembelih di antara paha para wanita.”

Di luar itu ada ungkapan lain yang serupa, dengan konroversi yang sama: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita.” Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat menjadikan penghalang bagi seseorang untuk menuntut ilmu.

Tentang kenikmatan tenggelam dalam samudra ilmu seperti dilakukan para tokoh tersebut juga pernah diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullah, seperti ini:

‎فَالنِّعْمَةُ الْمُطْلَقَةُ: هِيَ الْمُتَّصِلَةُ بِسَعَادَةِ الْأَبَدِ وَهِيَ نِعْمَةُ الْإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ وَهِيَ النِّعْمَةُ الَّتِي أَمَرَنَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ أَنْ نَسْأَلَهُ فِي صَلَاتِنَا أَنْ يَهْدِيَنَا صِرَاطَ أَهْلِهَا

Artinya: “Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat Islam dan sunnah. Nikmat inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam doa kita agar Allah menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu kepadanya.”

Derajat Orang Berilmu

Berdasarkan keterangan tersebut, KH Mujib Imron, Pengasuh Pondok Pesantren Alyasini, menegaskan bahwa seseorang yang telah merasakan nikmat ilmu pengetahuan tidak akan tergiur dengan kehidupan luar. Ini sangat dalam penjelasannya, serta memerlukan elaborasi penjelasan dari berbagai dalil.

Menurut KH Mujib Imron, soal kenikmatan ilmu pengetahuan ini jangan ditempatkan sebatas pada wilayah kata-kata mutiara yang menjadi hiasan status di media sosial. Sebab, ada tujuan yang jelas yang ingin digapai oleh para para pencari ilmu. Begitu pula bagi santri dan mahasantri masa kini. Hal ini harus menjadi kesadaran agar tidak menjadi golongan yang sederajat dengan hewan, yang hanya menemukan kenikmatan atau kelezatan makan, minum, dan berhubungan badan.

Pandangan Kiai Mujib tersebut didasarkan dari perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah:

‎وَمن لم يغلب لَذَّة إِدْرَاكه الْعلم وشهوته على لَذَّة جِسْمه وشهوة نَفسه لم ينل دَرَجَة الْعلم ابدا فَإِذا صَارَت شَهْوَته فِي الْعلم ولذته فِي كل إِدْرَاكه رجى لَهُ ان يكون من جملَة اهله وَلَذَّة الْعلم لَذَّة عقلية روحانية من جنس لَذَّة الْمَلَائِكَة وَلَذَّة شهوات الاكل وَالشرَاب وَالنِّكَاح لَذَّة حيوانية يُشَارك الانسان فِيهَا الْحَيَوَان

Artinya: “Barangsiapa yang tidak bisa memenangkan kelezatan mengenal ilmu dan syahwat (terhadap ilmu) di atas kelezatan badan dan nafsu syahwatnya, maka dia tidak akan meraih derajat ilmu sama sekali. Apabila syahwatnya tertuju pada ilmu dan kelezatannya tertuju pada meraih ilmu tersebut, maka bisa diharapkan bahwa dia termasuk dalam orang yang berilmu. Kelezatan menuntut ilmu adalah kelezatan bagi akal dan ruh, sejenis dengan kelezatan (yang dirasakan) malaikat. Adapun, kelezatan syahwat, makanan, minuman, dan hubungan badan adalah kelezatan khayawaniyyah (kebinatangan), yang di dalamnya bersekutu antara manusia dan hewan.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan