Panggil Aku Gus Parit…

1,551 kali dibaca

Entah, darimana aku memulai cerita tentang kawanku satu itu. Kami karib sejak SD, jadi hafal betul dengan kelakuannya. Muhamad bentuk tawadluk orang tuanya terhadap Rasulullah. Parit nama yang ingin diberikan dan Lukito adalah nama bapaknya. Muhamad Parit Lukito jika dirangkai lengkap. Kalau mau diceritakan bentuk narasi fiksi cerpen, mirip sebuah dokumentari. Singkat cerita, Parit kecil tumbuh sebagai pribadi yang menyenangkan. Dia senang tertawa, selalu tertawa, dalam keadaan apa pun. Tidak berlebihan, karena Parit pernah menasihatiku, “Sal, hidup itu untuk tertawa, belajar tertawa dan menertawakan kehidupan.” Utopis nan ilusif! Entah dia dapat dari mana kalimat bijak itu.

Setelah lulus SD, aku “terjebak” mengikuti jejak Parit untuk mondok. Padahal, aku ingin ke SMP, untuk menghindari momok yang bernama Bahasa Arab. Parit, Parit… entah mengapa dia seperti magnet berkutub dan aku dari kutub berlawanan, jadi selalu nempel.

Advertisements

“Rit, aku kangen ibuk. Aku nggak kerasan di pondok,” keluhku suatu ketika.

“Dasar anak-e ibuk! Cari positifnya saja, Sal! Kita mondok tugas kita pagi sekolah, sore sampai malam ngaji. Itu tok! La, kalau di rumah, aku harus ngarit mencari rumput, ke sawah, momong-momong adikku. Enakan mondok, Sal! Hwuahaha…,” ceramah Parit.

“Ooo…jadi kamu mondok hanya niat itu to. Pelarian, sebuah penghindaran…”

Tawanya makin keras. “Ha-ha-ha…, itu primernya. Sekundernya, kan kita juga bisa ngaji. Jadi, ini bentuk pelarian yang positif, Sal. Eling, di rumah biasanya kamu ngapain? Tiap sore bersihkan kandang sapi, bantu ibumu di toko, disuruh ini-itu… adeehhh.”

Benar juga si Parit. Ini pelarian, bentuk menghindari. Tapi positif!

Begitulah. Parit selalu menenangkanku saat aku mengeluh tidak kerasan atau pengen boyong. Tawanya selalu menenangkanku. Selain mondok, kami juga sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri. Madrasah kami berada di luar pondok, karena statusnya negeri. Sepulang sekolah, baru kami aktif dengan aktivitas pondokan.

Kami berada di ghurfah dengan 6 teman lainnya. Ada satu teman santri kami, Udin namanya. Udin senang dandan, tampil keren, klimis. Bukan masalah, masalahnya adalah dia tidak modal. Apa-apa selalu minta dari teman lain. Sabun, sampo, minyak rambut, minyak wangi, sepatu, tak luput dari kata, “Aku pinjam sek yo…!” Kami yang dipinjami diam saja, sungkan menolak. Bagi Udin, diam tandanya iya. “Assukutu tadulu ‘alal na’am”.

Satu kali kami se-ghurfah diam. Lama-lama ko risih juga. Ingin mengingatkan ko ya takut tersinggung, tapi dibiarkan ko nglamak. Begitu juga Parit, gregetan. Mulailah ia berpikir ingin membuat Udin jera.

“Sal, mana botol sampomu?” tanya Parit kepadaku.

Wes, tenang wae. Mana?” desak Parit. Aku pun segera menyerahkan botol sampoku. Isinya oleh Parit dimasukkan ke botol mineral, kemudian ia isi dengan separo botol kecap yang sudah disiapkan sebelumnya.

Parid tersenyum licik. “Sal, kamu diam saja. Tawarkan sampo ini untuk Udin besok pagi sebelum mandi.” Seperti biasa, aku menurut saja bak prajurit dengan panglimanya.

Pagi setelah ngaji, kami yang bersekolah siap-siap mandi. Aku pun mengikuti skenario Parit.

“Din, ini lo sampoku. Pakai saja nggak apa-apa. Merek baru dijamin wangi,” kataku yang sudah mirip dengan salesman.

Benar saja, Udin menerimanya. “Kebeneran ini, sampoku habis. Makasih ya, Sal.”

Selesai mandi, Udin cengar-cengir menemui kami di ghurfah. “Eh, samponya ko baunya aneh ya, nggak berbusa, tak siram kena mulut ko rasanya asin manis gitu.”

Parit tertawa. “Ha-ha-ha… merek baru itu, Din! Sampo rasa Bango.”

Kejadian itu tidak membuatnya jera. Udin tetap tidak bermodal untuk nampang keren di madrasah. Tambah gregetan Parit. “Lihat saja, Sal! Kali ini aku akan membuatnya jera! Kalau tidak jera, jangan panggil aku Parit.”

“La, manggil siapa?” tanyaku.

“Panggi aku Gus Parit!”

Parit kemudian pergi ke jemuran khusus para pengurus pondok. Ia mengambil jaket dari jemuran dan membawanya ke kamar.

“Din, jaketku baru. Kamu nggak mau pakai, to?” Parit berusaha menawarkan.

“Wuih… keren. Baru dikirimi paket dari rumah to, Rit,” Udin mulai masuk jebakan.

“Sudah pakai saja. Nanti kalau kamu pakai keliatan keren. Cewek-cewek pasti ngeliatin kamu. Kesengsem,” kata Parit sambil menyodorkan jaketnya.

Pulang sekolah, begitu memasuki gerbang pondok, tiba-tiba kami dipanggil salah satu pengurus pondok. “Le..le.. kalian berlima sini dulu.”

Kami pun mendekat. “Udin, jaket kamu ko bagus Din. Ko mirip sama punyaku ya,” Gus Nur salah satu pengurus pondok, bertanya.

“Inggih, Gus! Apik nggih, saya tadi di kelas tadi jadi perhatian lo,” kata Udin bangga.

Mosok to, le! Coba copot dulu. Aku ko ya pengin makai,” Udin mencopotnya dan menyerahkan kepada Gus Nur, salah satu pengurus pondok bagian keamanan dan ketertiban, santri yang paling ditakuti di kompleks kami.

“La, betul to! Ini jaketku, Din. Liat di bawahnya ada tulisan arab ‘Nur’. Ghasab itu, Din. Meminjam tanpa izin dulu sama pemiliknya.”

Udin memandang Parit dan aku yang sedari tadi cekikikan. Udin pun dihukum Gus Nur untuk piket selama seminggu. Menyapu seluruh teras kompleks A yang terdiri dari 10 kamar bawah dan 10 kamar bawah. Rasakan!

Tapi Udin belum jera juga. Jadilah, Gus Parit makin semangat karena tidak berhasil.

“Kali ini harus berhasil,” tekad Parit kepadaku.

“Kalo nggak berhasil, suruh manggil gus lagi? Dapat gelar gus dari Hongkong. Enak kamu, dipanggil Gus bukan karena anaknya Kiai, tapi karena rencana yang tidak berhasil,” protesku.

“Jangan, kalau ini berhasil, tiga mi goreng yang kamu sembunyikan di lemari, biar untuk aku saja. Ha-ha-ha….”

Tanpa sepengetahuan kami, Parit membawa wadah bekas minyak rambut merek tertentu. Warna wadahnya biru. Bentuknya jel atau krim berwarna putih. Parit pergi ke gudang pondok, kemudian mengisi wadah minya rambut tadi dengan lem rajawali yang putih. Sekilas terlihat sama, hanya beda bau. Lalu, ia letakkan di kaca rias di kamar yang biasa digunakan untuk menyisir rambut atau mencari jerawat untuk dipencet.

Benar saja! Udin demi melihat barang bagus langsung memakainya tanpa curiga. Dioleskan minyak rambut tadi seperti bayangannya. Full, dioleskan merata ke semua bagian rambut. Awalnya belum terasa efeknya. Hingga saat kami mau ngaji sore Udin kelabakan.

Rek, rambutku kaku. Gak bisa lemes. Diapa-apakan tetap kaku. Njekengkeng!” Udin mulai panik.

Akhirnya, rambut Udin yang memang sudah terkontaminasi dengan lem rajawali. Harus direlakan digunting habis. Digundul plontos tanpa ampun. Udin kecut, kesal, tapi mau bagaimana lagi. Parit tersenyum, lalu tertawa lebih keras dari biaanya.

Parit menang! Udin kapok! Dan aku? Aku kehilangan tiga bungkus mi gorengku yang kusembunyikan untuk menghindari diminta teman sekamar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan