PANDUAN MENGIRIM TULISAN DI DUNIASANTRI.CO

5,811 kali dibaca

duniasantri.co menjadi satu-satunya situs web berita berbasis komunitas santri yang menerapkan konsep citizen journalism. Berikut panduan bagi Anda untuk mengirimkan tulisan ke duniasantri.co:

Status Anda

Advertisements

Jika Anda seorang santri, alumnus pondok pesantren, atau tergolong orang-orang yang bergiat dan berkhidmat di dunia pesantren, Anda dapat menjadi kontributor dan mengirimkan berita/tulisan untuk dimuat di duniasantri.co.

Registrasi Warga duniasantri

Sebelum mengirimkan tulisan, Anda terlebih dahulu harus melakukan registrasi untuk menjadi warga duniasantri. Anda harus mengisi form isian secara benar dan lengkap, seperti nama (sesuai KTP), tempat dan tanggal lahir, usia, nama pesantren/lembaga pendidikan dan alamatnya, dan hobi serta bidang yang diminati. Setelah registrasi divalidasi, Anda dapat mulai submit tulisan. Cara registrasi seperti ini:

Bentuk Kiriman

Tulisan yang Anda kirimkan dapat berbentuk berita (straight news), features, opini, puisi, cerpen, atau lainnya sesuai dengan rubrikasi yang tersedia di duniasantri.co. Anda juga bisa mengirimkan foto-foto atau video hasil dari rekaman peristiwa/kegiatan di pesantren-pesantren dari berbagai pelosok Nusantara.

Berikut tutorial pengiriman ke duniasantri.co:

Ketentuan-ketentuan

  1. Tulisan harus merupakan karya asli. Dan dilarang keras mengirimkan karya orang lain atau plagiasi dari karya orang lain.
  2. Tulisan harus merupakan karya asli yang hanya dikirimkan dan untuk dimuat di duniasantri.co. Dilarang mengirimkan tulisan untuk duniasantri yang sekaligus dalam waktu bersamaan atau berdekatan juga dikirimkan ke media lain.
  3. Batas pemuatan tiap tulisan yang dikirim paling lama dua bulan. Jika pengirim tulisan merasa sudah menunggu terlalu lama namun tulisannya belum rilis, pengirim bisa mengirimkan karyanya ke media lain dengan terlebih dahulu mencabut atau men-delete tulisan yang sudah di-submit di duniasantri.co.
  4. Tiap tulisan atau karya yang dimuat akan memperoleh honorarium sebesar Rp 50.000 dan hanya bisa dimintakan klaim pembayaran tiap lima kali pemuatan (kelipatan lima pemuatan karya).
  5. Kontributor yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan ini akan dinonaktifkan akunnya sebagai kontributor.

TANYA JAWAB MENULIS DI DUNIASANTRI.CO

Sekadar menjawab sejumlah pertanyaan tentang kepenulisan di duniasantri secara umum. Disampaikan dengan model tanya jawab untuk memudahkan pembacaan. Jika masih ada yang kurang nanti akan disempurkan, dan hasilnya akan di-insert ke dalam “Panduan Mengirimkan Tulisan” di web kita.

Seperti apa kriteria umum tulisan yang bisa dimuat di duniasantri?

Ya ditulis dalam bahasa Indonesia (dan Inggris) yang baik, yang baku. Struktur penulisannya sesuai dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku, baik itu untuk kategori karya tulisan-tulisan jurnalistik maupun kreatif. Tentu, untuk tulisan-tulisan yang lebih dekat dengan karya jurnalistik, topik-topik yang hangat, yang up to date, yang related dengan kondisi kekinian, akan lebih diutamakan.

Adakah batasan panjang-pendeknya tulisan?

Tidak ada pembatasan apakah tulisan akan sependek ingatan kita atau sepanjang jalan kenangan kita. Sebab, pembatasan panjang-pendek tulisan lebih cocok untuk media cetak yang ruangnya memang terbatas. Media digital ini kan ruang maya, ruangnya tak terbatas. Panjang-pendek tulisan akan lebih pas jika disesuaikan dengan jenis, karakter, dan topik tulisan. Misalnya, untuk tulisan yang bersifat news, informatif, akan lebih cocok jika tulisannya pendek. Tapi jika berupa analisis teoretik dan empirik, atau kajian-kajian yang radiks, atau penyajian dan analisis hasil-hasil riset, yang memang diperlukan tulisan yang panjang, bahkan malah bisa bersambung-sambung. Cerpen saja, yang berarti cerita pendek, tak berarti tulisannya harus pendek. Tapi bagaimana cerita dan penceritaannya.

Apakah tulisan yang sudah baik pasti dimuat? Dan bagaimana dengan politik redaksionalnya?

Pada kasus-kasus tertentu, tidak semua tulisan yang baik, yang sudah menenuhi kaidah-kaidah umum penulisan, dimuat. Misalnya, tulisan yang menyinggung SARA pasti tak dimuat. Yang mengandung unsur diskriminatif, kebencian, penistaan, hoaks, dan semacamnya pasti tak akan dimuat.

Bukan hanya itu, tulisan yang tak cocok dengan karakter politik redaksional juga dikesampingkan. Misalnya, ada tulisan yang temanya membahas keajaiban ayat-ayat tertentu, atau amalan-amalan tertentu, seperti “jika ingin terbebas dari beban utang maka bacalah Al-Fatikhah seribu kali”. Kita tahu hal-hal seperti itu bagian dari tradisi-tradisi santri, tapi bukan ranahnya duniasantri untuk merilisnya. Jika kita ingin menuliskannya, harus tetap dalam perspektif tradisi, menempatkannya sebagai tradisi. Kita bukan pemberi “ijazah” untuk hal-hal seperti itu. Karena itu, sebaik apa pun tulisannya, jika isinya hal-hal berbau seperti itu pasti tidak akan dimuat.

Contoh lain, misalnya, banyak sekali submit naskah dengan tema hukum-hukum domestik, yang merujuk pada produk fikih abad pertengahan. Seperti, ngomongin status hukum anak di luar nikah, hukum poligami, hukum nikah muda, hukum nikah dan syarat-syaratnya, hukum riba, atau halal-haramnya hal ihwal. Bukan pada tempatnya duniasantri merilis artikel-artikel dengan muatan seperti itu kecuali membawa perspektif baru, menawarkan sudut pandang baru, atau ide-ide baru. Karena semua itu sudah ada dalam kompilasi hukum Islam, tak perlu diulang-ulang di sini.

Ada juga, tulisan yang baik namun tak dimuat karena temanya atau topiknya mengulang-ulang hal yang sama yang pernah dimuat di duniasantri. Jadi, penulis duniasantri juga harus membaca-baca tulisan-tulisan yang pernah dimuat di duniasantri. Kalau tema atau topiknya sama, tinggalkan. Kecuali kita akan menghadirkan perspektif baru, sudut pandang baru.

Apakah ada kriteria-kriteria khusus untuk rubrik-rubrik yang berbeda-beda?

Tiap rubrik memang memiliki kekhususan, dan banyak yang mengutamakan local content. Misalnya, untuk rubrik berita Teras. Ini memang dikhususkan untuk berita-berita kesantrian, yang datang dari lingkungan santri atau pesantren. Tapi peristiwa yang diberitakan memang harus update, yang terkini.

Contoh lain, misalnya, pada rubrik Sosok. Sedari awal, rubrik ini memang tak dimaksudkan untuk memuat tulisan tentang profil tokoh-tokoh yang sudah masyhur, yang sudah popular karena sosoknya kerap nampang di berbagai media. Justru, rubrik Sosok ini memberi ruang untuk tokoh-tokoh santri, orang-orang pesantren, atau kiai-kiai kampung yang betebaran di berbagai pelosok Nusantara, yang belum terendus media. Mengglobalkan yang lokal, itulah tujuannya. Karena itu, banyak kiriman artikel yang mengangkat tokoh-tokoh yang sudah sangat popular yang justru dikesampingkan oleh redaksi duniasantri. Itu sekadar beberapa contoh. Kalau kita banyak membaca tulisan-tulisan di berbagai rubrik yang ada, kita akan tahu seperti apa tanpa harus dijelas-jelaskan.

Naskah apalagi yang banyak tak diloloskan, dan kenapa?

Cerpen dan puisi. Cerpen tergolong naskah yang banyak tak diloloskan. Kenapa? Begini, cerpen itu bukan jalan lurus, bukan sirathal mustaqim. Cerpen itu jalan berliku, bercecabang, naik turun, penuh warna, beronak duri, dan tak bisa diduga-duga akan berujung di mana atau mengantarkan kita ke mana. Sebab, cerpen itu bukan menceritakan kehidupan malaikat atau setan, tapi kehidupan manusia yang penuh kemungkinan, penuh misteri.

Ada satu kisah menarik, yang darinya kita bisa membuat pilihan mau menulis cerpen atau naskah khotbah Jumat. Ini kisah Kiai Chudlori Tegalrejo yang popular itu. Suatu waktu Kiai Chudlori didatangi warga desa yang terpecah jadi dua kubu. Satu kubu ingin dana desa digunakan membangun masjid. Kubu lain malah ingin buat beli gamelan. Mereka nyaris berantem hanya karena perbedaan penggunaan dana desa. Mereka akhirnya mendatangi Kiai Chudlori untuk minta pendapat.

Jika kita ingin Kiai Chudlori memberi saran agar dana desa digunakan untuk membangun masjid, tentu yang akan kita tulis berupa naskah semacam bahan-bahan khotbah Jumat atau materi dakwah. Beruntung, ketika itu Kiai Chudlori justru menyarankan agar dana desa dipakai membeli gamelan saja. Alasannya, agar masyarakat rukun. Jika masyarakat sudah rukun, masjid akan terbangun dengan sendirinya melalui gotong royong.

Apa yang disarankan Kiai Chudlori itu, sampai di titik dana desa digunakan untuk membeli gamelan, adalah jalan berliku itu, dan itulah cerpen. Nanti, di titik jika pada akhirnya benar masyarakat dengan bermain gamelan menjadi rukun dan bergotong royong membangun masjid, itulah hikmah.

Jadi, meskipun penulisannya baik, cerpen yang ceritanya “lurus-lurus saja” dan cenderung mendakwahi pembaca, kurang cocok untuk duniasantri.

Kalau puisi bagaimana?

Ini termasuk yang paling rumit dan kompleks untuk dijelaskan. Sebab, tak ada standar dan kualifikasi baku. Tulisan yang penulisannya paling bebas ya puisi ini, termasuk dalam hal pilihan dan pengembangan diksi.

Yang jelas begini: meskipun puisi itu soal rasa soal hati, ia bukan “baperan” kita. Orang nulis puisi itu memang pakai bahasa rasa bahasa hati, tapi tidak harus kita “baper” melalui puisi yang menjadikan puisi kita “puisi baperan”. Kebanyakan puisi yang tak lolos itu ya karena penulisnya baper —selain pilihan diksi dan susunan katanya memang tak berlogos puisi.

Bisa dijelaskan seperti apa gambaran naskah-naskah yang masuk ke duniasantri?

Dari segi jumlah, banyak dan tergolong produktif. Selama tiga tahun ini, total sudah ada hampir 5000 naskah yang masuk dari berbagai genre, dari santri-santri di seluruh Indonesia. Namun, dari jumlah itu, yang layak rilis masih kurang dari 3000. Dan, 2000-an naskah tak diloloskan.

Problem krusialnya di mana sehingga ribuan naskah itu tak diloloskan?

Yang paling krusial karena kita belum terbiasa bermain dengan data dan referensi. Kebanyakan penulis kita belum terbiasa menulis berbasis data, riset, dan referensi yang cukup. Sehingga tulisan-tulisan itu menjadi tak punya makna apa, bahkan bisa tergelincir ke dalam hoaks.

Bisa diberikan contoh?

Ok. Ini salah satu contoh submit naskah yang kalau berbasis data dan riset akan menjadi tulisan sangat brilian. Tulisan itu mengangkat tema wakaf. Sepertinya, penulisnya ingin mengatakan bahwa jika wakaf dikelola dengan baik dan optimal, akan mampu menjadi pengungkit dan memandirikan perekonomian rakyat.

Tulisannya diawali dengan narasi bahwa ekonomi Indonesia mengalami krisis sehingga muncul kemiskinan di mana-mana sebab pengangguran semakin banyak. Disusul kemudian dengan narasi bahwa kondisi demikian bisa diatasi salah satunya dengan pengelolaan wakaf, dan diakhiri dengan teori manajemen tentang wakaf.

Bayangkan, menulis ekonomi tanpa data yang elementer sekalipun. Contoh, data dan indikator yang menunjukkan terjadinya krisis tak disebut, termasuk waktunya. Kalau hari ini kita menyebut Indonesia mengalami krisis ekonomi, dipastikan akan menjadi hoaks karena data resmi menunjukkan hal sebaliknya.

Juga, tentang keberadaan wakaf. Nihil data. Padahal, kalau mau riset kecil-kecilan di Internet, kita bisa tahu berapa sebenarnya nilai dan perputaran ekonominya. Termasuk, bagaimana kondisi lembaga-lembaga pengelola wakaf dan pengelolaannya. Padahal, dengan data dan referensi yang cukup, itu bisa menjadi tulisan dengan tawaran ide-ide brilian.

Submit naskah sejenis yang lain juga banyak. Misalnya, ngomongin tentang stigma kemiskinan dan kemandirian ekonomi pesantren, tapi sama sekali tak didukung datanya. Jadi, ya, bagaimana bisa lolos. Sayang, memang, kita belum terbiasa menulis berbasis riset dan data plus referensi yang cukup.

CATATAN REDAKSI (1)

Catatan dari redaksi ini dibuat khusus untuk sahabat-sahabat mahasantri, namun sebagai pengingat dan untuk pembelajaran bersama, seluruh warga duniasantri sebagai kontributor/penulis duniasantri.co dapat menyimaknya.

Pertama, menulis artikel untuk media massa (baik cetak maupun online) pasti berbeda dengan menulis untuk tugas-tugas akademis, mulai dari paper, skripsi, tesis, sampai disertasi atau karya ilmiah lainnya. Karakter, bentuk, dan gaya penulisannya pasti berbeda.

Dalam catatan redaksi terdahulu, sudah disampaikan tentang bagaimana menulis artikel yang baik untuk media massa. Pada intinya, setiap topik, pokoh bahasan, atau permasalahan ditulis dengan gaya popular. So, sudah pasti “mengabaikan” kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah. Misalnya, tidak perlu ada abstrak, pendahuluan, landasan teori, metodologi penelitian, tujuan penelitian, dan sebagainya.

Untuk itu, di mesin pencari Google ada banyak panduan dan contoh-contohnya.

Kedua, artikel untuk media massa mensyaratkan keragaman dan kehangatan (aktual/kontekstual), baik dari sisi ide/gagasan maupun sudut pandang (angle) dari penulis dan kepenulisannya. Misalnya, karena mahasantri dalam satu jurusan ada tugas kuliah penulisan paper dengan topik hukum keluarga, mata naskah yang submit ke duniasantri.co seragam belaka. Semua membahas tentang hukum perkawinan/perceraian dalam Islam. Dari sudut pandang yang sama. Dan itu jumlah puluhan.

Nah, rasanya tidak mungkin duniasantri.co akan memuat semua tulisan, yang jumlahnya puluhan itu, padahal topik bahasan dan sudut pandangnya sama —dari tinjauan teoretis dan tekstual pula. Pasti hanya akan dipilih satu atau dua tulisan yang memenuhi syarat dan sesuai dengan politik redaksional setelah melalui proses penyuntingan atau bahkan pengguntingan. Tentang ini, sahabat-sahabat mahasantri harus pintar-pinta memilih topik yang menarik, yang hangat, atau memilih sudut pandang yang berbeda.

Ketiga, ini tentang artikel untuk media massa, yang kebetulan jenis medianya media komunitas santri (santri journalism); artinya, kita tidak sedang menulis artikel untuk “buku pintar” atau “buku panduan teknis beribadah” atau bahkan “kitab mujarobat”.  Misalnya, tentang keutamaan membaca surat-surat atau ayat-ayat tertentu dari al-Quran. Seperti, agar terhindar dari fitnah harus membaca ayat ini atau itu. Atau, agar rezeki lancar maka bacalah ayat ini atau itu. Itu bukan kaplingnya duniasantri.co. Terhadap fenonema seperti itu, misalnya, duniasantri.co akan berdiri dari sudut pandang tradisinya. Tentang keutamaan dan pahalanya, biarlah itu tetap menjadi rahasia dan urusan Tuhan.

Karena itu, mohon maaf sekiranya tidak semua artikel yang di-submit oleh sahabat-sahabat mahasantri bisa dimuat. Tapi tidak berarti kita harus berhenti menulis untuk duniasantri.co. Bersama dengan berjalannya waktu, kita pasti akan sampai pada satu titik: oh, ternyata menulis itu, menulis untuk duniasantri.co, gampang belaka… dan tiba-tiba para santri dan mahasantri telah menjadi penulis-penulis hebat yang tulisannya dibaca begitu banyak kalangan.

CATATAN REDAKSI (2)

Keempat: sebenarnya kita punya rubrik yang dari awal dipersiapkan sebagai andalan dan kekhasan duniasantri.co, yaitu Santri Way (bisa diartikan “jalan santri” atau “gaya santri, atau justru dibaca sebagai santri wae [Jawa]). Dijadikan andalan dan kekhasan karena rubrik ini dimaksudkan untuk mewadahi cerita-cerita yang hidup di lingkungan pesantren dengan segala ragam keunikan dan kekhasannya.

Namun, rupanya ini menjadi salah satu rubrik yang paling jarang diisi oleh para kontributor duniasantri.co, meskipun kami telah mengawalinya dengan beberapa tulisan yang bahkan sebagiannya merupakan pengalaman pribadi. Padahal, ada banyak cerita hidup yang khas di lingkungan pesantren yang memiliki tingkat human interest tinggi, dengan segala hikmah dan pesan moralnya.

Cerita-cerita itu bisa berasal dari pengalaman pribadi atau kehidupan santri pada umumnya. Bagi santri mungkin cerita-cerita itu sebagai hal yang biasa dan tak bernilai apa-apa. Tapi bagi khalayak pembaca yang lebih luas, akan berbeda sudut pandang dan penerimaannya. Dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di rubrik Santri Way, dapat dipelajari begitulah kira-kira cara penyajian ceritanya.

Kelima: kita juga punya rubrik Bintang yang dimaksudkan untuk mewadahi kisah hidup santri berprestasi. Tapi harus dicatat: prestasi tak melulu soal piala. Seorang santri yang mampu menghafal kitab Alfiah lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh santri pada umumnya, misalnya, jelas layak menjadi bintang. Seorang santri yang mampu mengkhatamkan dan menguasai kitab al-Hikam lebih cepat dari waktu yang dari waktu yang dibutuhkan oleh santri pada umumnya, misalnya, jelas layak diberi bintang. Seorang santri yang dengan segala keterbatasannya mampu menembus dan menyelesaikan studi di perguruan tinggi bergengsi, misalnya, jelas juga layak diberi bintang.

Santri-santri dengan pencapaian seperti itulah, mungkin kita sendiri, atau teman-teman dekat kita, santri-santri di sekitar kita, sangat layak untuk dituliskan dalam rubrik Bintang duniasantri.co. Tentu dengan pertimbangan, jika santri dengan pencapaian seperti itu diprofilkan, akan menginspirasi santri-santri yang lain.

Itulah perlunya ada konsep citizen journalism atau jurnalisme santri.

CATATAN REDAKSI (3)

Keenam: di duniasantri.co, di antara rubrik-rubrik yang ada yang paling digandrungi para kontributor adalah cerpen dan puisi (dibaca: sastra pesantren). Cerpen dan puisi sepertinya menjadi rubrik “primadona”. Saban hari cukup banyak para santri mengirim tulisan berupa cerpen dan puisi. Namun, belum semua cerpen dan puisi yang dikirim para santri bisa dirilis karena, tentu saja, pertimbangan kelayakan (dan juga kemenarikan).

Untuk cerpen, misalnya, tentu saja syarat utamanya adalah kekuatan cerita, penokohan, dan kemenarikan penceritaannya. Banyak cerpen yang dikirim belum menyuguhkan cerita apa-apa. Atau ada cerita tapi “datar-datar saja”. Misalnya, seorang cewek tiba-tiba tanpa alasan yang jelas diputus pacarnya. Setelah dia berdoa, pacarnya kembali dan meminta maaf. Dan sang tokoh kemudian bahagia…. Untuk sebuah cerita, misalnya, lebih kuat dan menarik yang mana: doa yang selalu langsung dikabulkan atau yang sebaliknya?

Begitu juga dengan puisi. Masih banyak yang baru berupa “curahan kegalauan hati”, bukan buah dari kontemplasi, permenungan, dan pergulatan hidup. Masih banyak juga yang kering dari metafor.  Malah tak jarang yang digunakan justru bahasa-bahasa teknis-akademis. Puisi tak boleh kehilangan keindahannya, rimanya, dan maknanya.

Lalu apakah kita harus berhenti menulis cerpen dan puisi karena tidak atau belum ada yang dirilis? Tidak! Pertama, kita hanya perlu lebih banyak lagi membaca karya-karya terbaik, baik cerpen maupun puisi, dari penulis-penulis terbaik sebagai proses pembelajaran dan terus mencobanya lagi.

Kedua, kita harus selalu ingat pertanyaan ini: untuk apa sastra ada? Sastra ada karena disiplin-disiplin ilmu yang lain tak bisa menampungnya. Karena itu, ketika menulis karya sastra, kita harus mampu menyuguhkan logika yang berbeda (terbalik?), cara berpikir yang berbeda, sudut pandang yang berbeda, cara dan sikap hidup yang berbeda. Kalau tidak memperoleh sesuatu yang berbeda, buat apa kita membaca karya sastra?

CATATAN REDAKSI (4)

Ketujuh: seperti Santri Way, rubrik Pondok sejak mula juga disiapkan sebagai unggulan dan kekhasan duniasantri.co. Namun, justru tak banyak kontributor duniasantri.co yang mengirim tulisan tentang pondok pesantren untuk rubrik Pondok ini. Padahal, jika mau menuliskannya, ia boleh dibilang bisa menjadi sumber pertama tentang profil pondoknya. Sebab, asumsinya, semua kontributor duniasantri.co adalah santri, baik yang masih mondok maupun yang jebolan pondok.

Seperti sering ditegaskan oleh almarhum Pak Bisri, “Inilah saatnya santri menulis tentang dunianya sendiri, tentang pesantrennya sendiri. Bukan santri dan pesantren yang ditulis oleh orang lain.”

Kami tidak tahu, kenapa santri justru sangat jarang menulis tentang pesantrennya sendiri. Mungkin ewuh pakewuh? Takut kuwalat sama kiainya? Atau tidak tahu bagaimana cara menuliskannya? Entahlah.

Menurut data Kemenag, di Indonesia tercatat ada sekitar 28 ribu pesantren, dengan beragam kategori, kekhasan, dan keunikannya. Betapa itu merupakan sumber pengetahuan yang sangat-sangat kaya, lebih-lebih jika ditulis oleh tangan pertama, dari orang-orang yang mengalaminya sendiri secara langsung.

Ada dua cara mudah untuk melakukannya. Pertama, menuliskan pesantren sendiri tempat kita mondok. Tentu, yang diperlukan adalah data sejarah pondok dan profiling lengkapnya. Data mentahnya tentang itu pasti ada. Tinggal memperkaya dan memperdalam. Profil dasarnya biasanya meliputi proses pendiriannya, tokoh pendirinya, tahap-tahap pengembangannya, program-program unggulannya, perkembangan kesantriannya. Berikutnya kita tinggal menentukan tema, topik, atau angle yang paling menarik, yang didasarkan pada kekhasan dan keunikan dari pondoknya.

Kedua, kita bisa menuliskan tentang pesantren lain, yang bukan pondok kita sendiri. Tentu untuk ini diperlukan riset. Toh, di zaman digital ini, untuk sekadar riset kecil-kecilan sudah ada “Mbah Google”. Yang harus diingat hanya ini: jangan tergantung hanya pada satu sumber. Kita harus punya lebih dari satu sumber untuk menguji hasil riset dan memperkaya bahan. Dan, sama dengan sebelumnya, berikutnya kita tinggal menentukan tema, topik, atau angle yang paling menarik, yang didasarkan pada kekhasan dan keunikan dari pondoknya.

Banyak tulisan tentang pesantren di Rubrik Pondok dihasilkan dengan cara kedua ini. Kita bisa membaca ulang untuk mempelajarinya. Dan ini merupakan salah satu dari produk jurnalistik, dalam hal ini citizen journalism (jurnalisme santri).

CATATAN REDAKSI (5)

Kedelapan: nyaris tak ada kontributor yang tidak pernah mencoba mengirimkan tulisan untuk Rubrik Opini. Ini menjadi seperti mahkotanya duniasantri.co, padahal seharusnya tidak begitu. Seperti pada rubrik lain, lumayan banyak kiriman tulisan untuk Opini yang belum bisa dirilis, tentu didasarkan pada pertimbangan kelayakan dan kemenarikan.

Biasanya, tim redaksi membutuhkan effort yang ekstra untuk memeriksa dan mengkurasinya. Misalnya, satu artikel harus dibaca dulu berulang-ulang sebelum memperoleh sentuhan. Macam-macam problemnya.

Ada tulisan opini yang pembukaannya berupa kalimat-kalimat puitis mendayu-dayu. Banyak yang kalimat-kalimatnya ngalor-ngidul tidak fokus pada pokok bahasannya. Ada pula yang hanya terdiri dari dua alenia pendek. Ada yang bahasanya bertele-tele, dan sebagainya, dan sebagainya.

Susah? Mungkin, bagi yang baru memulainya. Berikut adalah pengetahuan dasar bagi yang memulai belajar menulis opini.

Pertama, tentu kita harus menguasai bidang atau masalah yang akan kita tulis. Kedua, kita harus puny ide atau gagasan apa tentang apa yang akan ditulis. Opini, meskipun artinya harfiahnya adalah pendapat, dalam penulisan opini tak sekadar menuliskan pendapat, tapi harus didukung dengan argumentasi yang logis dan kuat, kalau perlu didasarkan pada teori atau hasil riset.

Ketiga, kita harus menguasai teknik penulisan. Teknik ini berkaitan dengan struktur penulisan, seperti penjudulan, pembuka, pembahasan, dan penutupnya. Dengan struktur yang baik, pesannya lebih mudah dimengerti. Kalau struktur bolak-balik naik-turun, orang keburu capek membacanya.

Keempat, kita memiliki kemampuan penggunaan bahasa yang baik, benar, efektif, efisien, sederhana, mudah dimengerti. Banyak dari kita yang suka menggunakan bahasa yang sok ilmiah dan asing, jelimet dan bertele-tele, agar terlihat keren dan intelek, padahal malah sulit dimengerti. Penulisan opini menghindari penggunaan bahasa seperti ini. Kita juga harus menguasai penulisan dalam bahasa yang benar dan baku.

Bagaimana menulis opini yang baik menurut standar media massa? Selain keempat hal tersebut, ide tulisan opini yang pertama-tama harus aktual. Peristiwa apa yang sedang terjadi dan menjadi pembicaraan masyarakat luas, itulah yang dimaksud dengan aktual, dalam jurnalistik istilahnya peg news atau cantolan peristiwa.

Bagaimana jika tidak ada peristiwa aktual sebagai peg news, sementara kita punya ide untuk menulis opini? Berarti harus ada unsur kebaruan dalam artikel yang akan kita tulis. Kalau tidak ada hal baru, buat apa kita menulis.

Selain itu, kita harus paham bahwa peristiwa yang terjadi di masyarakat jelas bukan monopoli kita. Semua orang tahu. Maka, agar tulisan opini kita memiliki daya tarik, kita harus lihai memilih atau menentukan angle (sudut pandang). Contoh: saat ini semua orang sibuk membincangkan Omnibus Law Cipta Kerja dengan nasib buruh. Penulis yang jeli akan membidik dari angle lain: misalnya, adakah pengaruhnya bagi santri kelak?

Yang tak kalah penting untuk membuat opini menarik adalah bagaimana kita mampu mengeksplorasi ide atau gagasan yang kita ajukan. Untuk menguatkan eksplorasi itu, lazimnya didukung dengan contoh peristiwa atau data. Meskipun begitu, harus diingat, jangan pernah menggurui (publik) dalam menulis opini, karena kita sedang menulis opini untuk beradu argumen. Lain cerita kalau kita sedang menjadi guru atau dai.

Sesungguhnya, Rubrik Opini duniasantri.co ini memuat sekaligus apa yang dimaksud dengan artikel, opini/kolom, dan esai. Meskipun memiliki pengertian sama, semuanya berkaitan dengan penulisan pendapat, namun pada dasarnya ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda. Artikel biasanya berupa sebentuk tulisan nonfiksi berisi fakta dan data yang disertai (sedikit) analisis dan opini dari penulisnya, hanya menyangkut satu pokok permasalahan, dan ditinjau dari satu disiplin ilmu atau satu teori ilmiah. Ini masuk kategori tulisan ilmiah, dan lebih dekat dengan terbitan berkala atau jurnal.

Opini juga karya tulis nonfiksi dan berisi pendapat atau gagasan dari penulisnya seperti yang terurai tadi.Namun bersifat bebas, logis, obyektif, disertai argumentasi berdasarkan fakta dan data. Namun, pendapat pribadi penulis lebih diutamakan dengan dukungan argumentasi atau penjelasan yang kuat.

Sementara, esai lebih merupakan karangan prosa. Maka, esai bisa dimasukkan ke dalam kategori karya sastra. Meskipun, pengertiannya nyaris sama dengan opini, di antara yang membedakannya adalah faktor analisis, interpretasi, dan refleksi dari penulisnya dengan gaya penulisan dan penggunaan bahasa yang khas. Konon, tingkat paling sulit adalah menulis esai disbanding bentuk-bentuk opini yang lain.

Karena itu, pada esai, meskipun tanpa dicantumkan nama penulisnya, biasanya orang akan tahu oh.. ini tulisannya Kang Sobary, Kang Zastrouw, Mahbud Junaidi, atau bahkan Gunawan Muhamad.

Masih ada satu kunci lagi untuk membuat opini kita memiliki daya tarik untuk dibaca: judulnya harus menarik, eye catching. Pada sambungan berikutnya kita akan berbagi soal bagaimana trik membuat judul semenarik mungkin.

CATATAN REDAKSI (6)

Kesembilan: membuat judul menjadi salah satu bagian paling sulit, terutama untuk tulisan di media dibandingkan dengan untuk karya ilmiah seperti skripsi, tesis, atau disertasi. Kenapa? Faktor pembatas dan tuntutannya jauh lebih banyak. Ada pembatas ruang (space) dan waktu (deadline). Ada tuntutan ketertarikan publik (pasar).

Inilah kenapa, sudah lebih dari setahun duniasantri.co, lebih dari 80 persen tulisan yang dimuat, sedikit banyak judul-judulnya mengalami pengubahan/penyesuaian dibandingkan dengan judul-judul aslinya. Ini menunjukkan memang tak gampang membuat judul yang baik dan menarik.

Nanti kita akan mengambil contoh dari web kita sendiri bagaimana judul-judul itu berubah sebagai proses pembelajaran.

Per teori, kalau kita baca-baca referensi yang ada, syarat judul yang baik itu hanya ini: singkat, lugas, menarik (eye catching/menggoda/provokatif), mudah ditebak, meringkas/menggambarkan isi, logis, dan estetis. Harus diingat, judul hanya berupa frasa, bukan kalimat (sempurna).

Ayo kita bernostalgia sedikit: hingga 2005, koran harian masih menggunakan kertas ukuran karton (sekarang sudah lebih kecil). Kertas ukuran karton itu kemudian dibagi menjadi 9 kolom, lalu diplot per tiga kolom ke samping dan tiga blok ke bawah. Dengan begitu, yang lazim, halaman depan koran selalu berisi 9 berita/artikel plus 3-4 foto/gambar. Artinya, tiap berita/artikel hanya punya tempat 3 kolom ke samping (dan 3-4 alenia sedang ke bawah). Teman-teman santri mungkin ada yang tangannya belum pernah menyentuh koran dengan 9 kolom itu.

Dengan ruang (space) sesempit dan seterbatas itu, maka editor harus mampu membuat judul “sesingkat-sesingkatnya”, namun mampu menggambarkan keseluruhan isi dan menarik minat publik untuk membaca. Karena ittu, judul berita/artikel di zaman itu biasanya hanya terdiri dari 4 maksimal 5 kata dasar (yang sering 3-4 kata dasar).

Maka, sebagai contoh, pada 1994, saat Majalah Tempo dibredel, banyak koran yang memasang headline dengan judul dua kata saja: “Tempo Dibredel”. Malah ada koran yang memasang judul “Ojo Dumeh” —diambil dari kutipan pemrednya. Judul yang hanya dua kata itu telah menggambarkan semua-muanya: peristiwanya dan suasana zamannya.

Belakangan, ketika tren media bergeser ke format digital dalam dunia maya, pembatas ruang (space) dalam pembuatan judul mulai berkurang. Sehingga, ada kecenderungan judul-judul tulisan semakin panjang. Malah, di luar media mainstream, judul tidak lagi berupa frasa, melainkan telah menjadi kalimat tersendiri saking panjangnya.

Nah, sebagai media berkonsep citizen journalism, duniasantri.co tetap mempertahankan kaidah pembuatan judul layaknya media mainstream tersebut: harus singkat, lugas, menarik (eye catching/menggoda/provokatif), mudah ditebak, meringkas/menggambarkan isi, logis, dan estetis.

Contoh pertama adalah tulisan Gus Rusdi Umar dalam tulisan berjudul “Ma Jian: Kiprah Ilmuwan Muslim di Negeri Komunis”. Judul aslinya adalah “Muhammad Ma Jian: Ilmuwan Muslim Tionghoa Modern”. Tak ada yang salah judul lamanaya, namun kurang greget dibanding dengan judul barunya.

Kenapa? Pertama, ada identitas dobel dalam judul lamanya yang membuatnya kurang efektif dan provokatif: nama “Muhammad” dan keterangan “Ilmuwan Muslim”. Kalau menyandang nama “Muhammad” so pasti dia ilmuwan muslim. Jadi salah satunya harus dibuang.

Kedua, penggalan judul atau frase “Ilmuwan Muslim Tionghoa Modern” dalam judul tersebut “tidak bunyi”, tidak menggambarkan apa-apa, tidak mengisyaratkan adanya “gerak hidup”. Dan, ketika diubah menjadi “Kiprah Ilmuwan Muslim di Negeri Komunis”, ia telah menggambarkan segalanya secara provokatif, menjadi lebih hidup.

Dengan demikian, perubahan itu dilakukan untuk memenuhi kaidah penulisan judul yang baik: provokatif dan mengambarkan apa yang terjadi.

Contoh kedua adalah “Tafsir Kedekatan Tuhan dalam Puisi Abdul Hadi MW”. Judul aslinya adalah “Mengurai Kedekatan Tuhan dalam Puisi Abdul Hadi MW”. Yang diubah hanya satu kata: “Mengurai” menjadi “Tafsir”. Ini sekadar pilihan diksi, tapi untuk memenuhi kaidah penulisan judul “lugas”. Yang baru lebih lugas dari yang lama.

Contoh ketiga adalah “Filosofi Sarung”. Judul aslinya adalah “Santri, Sarung, dan Identitas Budaya”. Judul aslinya tak ada yang salah dan sudah baik. Namun, “Filosofi Sarung” lebih memiliki magnitut karena “membonceng” ketenaran judul/istilah “Filosofi Kopi”. Jadi ada unsur “pencatolan” pada istilah yang lebih popular.

Contoh lain adalah tulisan kontributor lain, “Srikandi Literasi di Zaman Nabi”. Judul asli tulisan Sirojul Azmin ini adalah “Srikandi Literasi di Era Nabi Muhammad SAW”. Perubahan judul dilakukan untuk kaidah pemendekan (agar lebih singkat) dari “Nabi Muhammad SAW” menjadi “Nabi”. Juga dimaksudkan untuk memenuhi unsur estetis dengan repitisi bunyi ketika dibaca, di mana hampir semua kata dalam frasa berakhiran i.

Dengan catatan ini, semoga teman-teman santri sudah memiliki trik dan pengetahuan untuk bagaimana membuat judul yang baik. Lebih dari sekadar trik teoritis tadi, pengalaman membaca dan jam terbang juga ikut menentukan hasilnya.

CATATAN REDAKSI (7-SELESAI)

Kesepuluh: Apa istimewanya situs web kita, duniasantri.co, ini saat semua orang, setiap orang, sudah dengan mudah bisa membuat blog-blog pribadi sendiri, membuat situs-situs berbasis web sendiri?

Dengan blog pribadi, dengan situs web sendiri, setiap orang bisa mengunggah konten apa saja dan kapan saja, tanpa harus direcoki oleh redaksi duniasantri.co, misalnya. Dan, teman-teman santri di sini mungkin juga sudah banyak yang memiliki blog pribadi atau situs web sendiri. Ya, lalu apa istimewanya situs web kita, duniasantri.co, ini?

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang santri yang tinggal di suatu kota di Filipina melakukan registrasi di duniasantri.co untuk menjadi warga duniasantri, dengan ajuan menjadi kontributor penulis. Setelah di-approved, ia menjalin komunikasi pribadi (japri) dengan salah satu pengurus JDS.

Setelah ngobrol ngalur-ngidul, ia meminta satu hal: begitu ia submit artikel, maunya artikelnya langsung terpublish tanpa harus melalui pemeriksaan/validasi dan editing dari tim redaksi. Kompasiana dan beberapa media berkonsep citizen journalism ia rujuk. Kalau maunya begitu, kami menyarankannya untuk membuat blog pribadi atau situs web sendiri. Sesederhana itu urusannya kalau sekadar mengunggah konten di dunia maya.

Jangankan tanpa saringan. Sudah disaring sedemikian rupa pun masih juga kebobolan. Belum lama ini, kami terpaksa menonaktifkan akun salah satu kontributor karena diketahui beberapa artikel yang disubmit dan sebagian telah kita rilis ternyata hasil copypaste dari media lain. Ini termasuk pengkhianatan terhadap jurnalisme, dan kita menutup diri untuk itu.

Kembali ke pertanyaan di awal: Ya, lalu apa istimewanya situs web kita, duniasantri.co, ini?

Ketika duniasantri.co masih berupa konsep dan belum resmi rilis, seorang wartawan senior memberi komentar: bukankah citizen journalism itu, meskipun toh menggunakan nama santri, tetap rawan disusupi penyebaran hoax atau berita palsu, ujaran kebencian, dan akurasi kontennya  rendah? Kami menjawab: tidak!

Kenapa? Meskipun ini berkonsep citizen journalism, jurnalisme warga (santri), kami akan tetap menggunakan prosedur dan standar kerja jurnalistik. Karena itulah kami menolak permintaan santri yang bermukin di luar negeri itu, dan menonaktifkan akun kontributor yang melakukan penjiplakan artikel.

Nah, itulah yang, menurut kami, membuat duniasantri.co ini istimewa. Ia satu-satunya media berkonsep citizen journalism yang dikhususkan bagi komunitas santri atau masyarakat pesantren yang tetap menggunakan prosedur dan standar kerja jurnalistik, dengan standar kualitas yang dipancang tinggi-tinggi.

Dan, sesungguhnya, kami ini sekadar mengawali dan memfasilitasi. Pada nantinya, ketika jejaring duniasantri ini sudah muncul di mana-mana, tersebar hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, atau bahkan ada di negara-negara lain, tugas kita semualah untuk tetap menjaganya, dan terus membesarkan dan mengembangkannya. Entah bagaimana caranya.

Mimpi kita, suatu saat akan muncul kebanggaan tersendiri saat tulisan kita dimuat, karena duniasantri.co telah berkembang menjadi “media otoritatif” dalam menyuarakan keislaman, kepesantrenan, kebangsaan… dengan standar kualitas yang teruji dan terpercaya.

Jadi, seiring berjalannya waktu, teman-teman santri jangan pernah berhenti meningkatkan kualitas kepenulisan. Semakin lama, artikel yang disubmit dan dimuat di duniasantri.co harus makin baik, makin berkualitas, makin beragam. Itulah yang akan membuat kita istimewa…

POLITIK REDAKSIONAL DUNIASANTRI

Sahabat-sahabat warga duniasantri, ayo berdiskusi lagi, kali ini tentang politik redaksional duniasantri.co —semacam kebijakan redaksional pada media massa.

Sedari mula, web kita memang bukan dirancang dan diposisikan sebagai media Islam atau islami, karena itu namanya bukan duniaislam.co atau duniaislami.co.  Melainkan, duniasantri.co. Kenapa? Spiritnya adalah bagaimana santri memandang dunia, dunia yang sangat begitu luas, dan bagaimana dunia yang beragam itu memandang dunia santri sebagai sebuah subkultur —meminjam istilah Gus Dur.

Bagaimana santri memandang dunia, dan bagaimana dunia memang santri, itu kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan yang difasilitasi oleh duniasantri.co. Karena itulah, sejak awal jejaring duniasantri berusaha mendorong lahirnya penulis-penulis baru dari kalangan santri melalui Gerakan Santri Menulis, dengan sesering mungkin mengadakan diklat, workshop, dan diskusi kepenulisan. Apakah yang menulis harus santri? Tidak. Yang bukan santri, dan bahkan yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan santri, bisa menuliskan pandangannya melalui duniasantri.co. Karena, faktanya, banyak juga nonmuslim yang memiliki kepedulian dan bergiat di dunia pesantren.

Begitulah tradisi dan jiwa santri: beragam, terbuka menerima siapa saja.

Lalu, apa impact-nya dengan rancang bangun politik redaksional seperti itu? Kira-kira begini: saat ini sangat banyak artikel yang di-pending pemuatannya. Jumlahnya mungkin sudah ratusan. Kenapa? Sebagian besar karena isi dan cara penulisannya memang tidak atau belum sesuai dengan politik redaksionalnya.

Andai semua tulisan yang di-pending itu kita muat, maka beginilah kemungkinannya: Pertama, web kita akan berubah menjadi kumpulan naskah khutbah jumat. Di dalamnya rata-rata berisi pesan untuk melakukan ini-itu dan menjauhi ini-itu lengkap dengan ayat dan hadits sebagai dalilnya.

Kedua, web kita akan berubah menjadi kumpulan naskah fikih Islam. Yang kategori ini, di dalamnya rata-rata berisi pesan bahwa yang ini halal dan yang itu haram, misal kawin beda agama itu haram dan sebagainya, juga lengkap dengan ayat dan hadits sebagai dalilnya.

Ketiga, web kita akan berubah menjadi kumpulan naskah tuntunan beribadah. Yang kategori ini, di dalamnya rata-rata berisi pesan tentang cara-cara beribadah, seperti bagaimana tata cara wudlu atau salat yang benar, tentu disertai dengan dalil-dalil rujukannya.

Keempat, web kita akan berubah menjadi kumpulan naskah kitab mujarobat. Yang kategori ini, di dalamnya rata-rata berisi pesan tentang keutaman atau khasiat jika kita melakukan amalan tertentu. Misalnya, kalau kita ingin lulus ujian, tinggal baca surat al-Waqiah selama tiga puluh hari dan semacanya itu. Tentu juga disertakan dalil-dalilnya.

Kelima, web kita akan berubah menjadi kumpulan naskah dari buku motivator atau buku pintar. Yang masuk kategori ini kebanyakan memang berupa berbagai “motivasi” dan tips-tips yang berbau sloganistik dan artifisial.

Tak ada yang salah dengan itu semua, tapi standing position duniasantri.co memang bukan di situ. Ini perlu disampaikan agar sahabat-sahabat warga duniasantri tak merasa di-PHP. Naskah yang masuk dalam lima kategori itu bisa dipastikan memang tidak diloloskan untuk dimuat karena alasan standing position politik redaksional tersebut.

Lalu yang seperti apa? Terutama bagi sahabat-sabahat yang baru bergabung, ada baiknya menyempatkan diri untuk membaca-baca seluruh unggahan duniasantri.co di semua rubriknya, mulai dari Opini, Cerpen, Puisi, Pondok, Sosok, Teras, Pustaka, Bintang, Santri Way, dan Humor. Benang merahnya: semua tentang bertukar gagasan, ide, pemikiran, informasi, dan cerita —tentu bersumber dari bagaimana santri memang dunia dan dunia memang santri.

Mungkin, bagi yang belum terbiasa menulis, ini akan terasa sulit, lebih-lebih untuk tulisan opini. Tapi ada cara mengawalinya dengan mudah. Misalnya, dimulai dengan membuat tulisan resensi buku tentang buku-buku yang sedang kita baca. Atau menuliskan profil pondok pesantren kita atau pengalaman kita mondok, atau memprofilkan hidup dan perjuangan para kiai kita —daripada kita menulis, misalnya, biografi Imam Ibnu Hambal yang seluruh dunia sudah mengetahuinya. Atau mencoba-coba menulis cerpen atau puisi, yang kebetulan sudah mulai jarang disubmit di web kita.

Nah, mumpung besok kita mengadakan workshop penulisan cerpen/novel, ada baiknya sahabat-sahabat warga duniasantri bisa meluangkan waktu mengikutinya, agar kita memiliki pengetahuan dan kemampuan menulis yang beragam.

Tentang politik redaksional ini, kita bisa terus menduskusikannya…

SEKALI LAGI TENTANG KEJUJURAN

Sahabat-sahabat santri, mungkin di antara kita ada yang belum sempat membaca tulisan dalam link ini: https://www.duniasantri.co/jurnalisme-itu-soal-kejujuran/. Bagi yang belum, sempatkanlah membacanya untuk kebaikan kita bersama.

Kami merasa perlu mengingatkan kembali hal ini karena semakin banyak tulisan atau artikel yang di-submit, ternyata masih banyak kami temui hal-hal yang seperti itu. Bukan sekadar soal kelayakannya sebuah tulisan atau artikel bisa dimuat, melainkan juga melibatkan soal orisinalitas.

Sejak peristiwa yang tergambar dalam link tersebut, kami memang memiliki pekerjaan tambahan. Sebelum melakukan editing atau proses penyuntingan, terhadap setiap tulisan akan dilakukan tracking —karena kami tidak ingin kecolongan lagi dengan muat tulisan atau artikel yang ternyata hasil copypaste atau penjiplakan. Dan tentu urusan tracking ini menguras energi yang sesungguhnya tidak perlu.

Hasil tracking menyimpulkan bahwa masih banyak tulisan atau artikel yang di-submit ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan dengan yang pernah dimuat oleh media-media lain. Kami tidak tahu apakah itu disengaja atau tidak. Mungkin tidak ada maksud untuk menjiplak dari penulisnya, atau tidak tahu bahwa itu penjiplakan. Sebab, kami tahu bahwa salah satu tahapan belajar menulis adalah meniru. Tapi menurut kamus, meniru dan menjiplak itu beda arti.

Jadi, sekali lagi mohon maaf, begitu hasil tracking menunjukkan bahwa satu tulisan atau artikel yang di-submit memiliki kemiripan atau kesamaan dengan tulisan atau artikel yang pernah dimuat oleh media lain yang menjurus pada penjiplakan, kami tidak bisa meloloskannya ke tahap penyuntingan.

Jadi, sekali lagi, ini tentang kejujuran dalam jurnalisme yang harus kita junjung tinggi jika ingin terus berkarya dalam dunia kepenulisan.

SEKALI LAGI TENTANG PLAGIASI

Sahabat-sahabat santri dan mahasantri, mungkin ada yang belum sempat mengikuti catatan kita terdahulu atau yang bergabung dengan Gerakan Santri Menulis (GSM) duniasantri.co, kita perlu sekali bicara tentang plagiasi.

Kenapa? Ternyata, dari banyak artikel yang di-submit, masih banyak saja yang merupakan plagiasi. Tentu ini tidak baik dan tidak sehat bagi keberlanjutan GSM. Karena itu, dalam menyunting setiap artikel, kami menetapkan prosedur sangat ketat.

Sebelum disunting, setiap artikel akan dibaca lebih dari sekali, kemudian dilakukan tracking, penelurusan atau pelacakan atau audit untuk memastikan setiap artikel bukan hasil plagiasi. Jika lolos tracking, barulah dilakukan penyuntingan. Nah, prosedur tracking ini cukup menguras waktu dan energi. Tapi, itu tetap harus kita lakukan demi menjaga marwah kita bersama.

Kami tak bisa bayangkan jika kemudian banyak orang bilang, “Ah, artikel di duniasantri.co ternyata banyak yang plagiasi….” Ya, lebih baik sedikit menerbitkan artikel tapi benar-benar merupakan karya sendiri, daripada banyak tapi plagiasi.

Sebagai contoh, misalnya, ada beberapa artikel yang belum lama di-submit, dengan topik cukup menarik dan penulisan yang baik. Tapi, setelah di-tracking, tulisan yang sama persis, atau setidaknya lebih dari 50 persennya, pernah dimuat Repulika, Kompasiana, atau beberapa situs web lainnya. Tentu ini menyedihkan.

Karena itu, bagi sahabat-sahabat santri dan mahasantri, sekiranya memang belum siap untuk menulis sendiri, lebih baik bersiap diri dulu, tak perlu memaksanakan diri untuk lekas-lekas submit artikel. Masih ada waktu bagi kita untuk saling belajar.

Ini contohnya: misalnya kita ingin menulis tentang profil Syekh Nawawi —kebetulan memang ada yang submit artikel tentang Syekh Nawawi, tapi setelah di-tracking ternyata sama persis dengan yang pernah dimuat di Republika.

Untuk menulis profil Syekh Nawawi itu kita tak perlu plagiasi. Yang perlu kita lakukan adalah riset, riset, dan riset dengan membaca sebanyak mungkin referensi tentang Syekh Nawawi. Barulah setelah itu kita akan menemukan sesuatu yang baru, gagasan baru, atau sudut pandang yang baru tentang Syekh Nawawi yang memang perlu kita tulis sendiri. Dan menulislah kita…

Kami khawatir, suatu saat kami lengah, dan kecolongan memuat artikel yang ternyata hasil plagiasi. Itu akan akan mencoreng apa yang telah kita lakukan selama ini.

Untuk itu, kepada sahabat-sahabat santri dan mahasantri, mari saling menjaga, agar kita tetap berada di “jalan yang lurus…”

SEKALI LAGI TENTANG ETIK DAN ETIKA KEPENULISAN

Kepada sahabat-sahabat penulis duniasantri, sudah lama rasanya kita belum berbagi lagi hal ihwal kepenulisan di duniasantri.co. Hal ihwal berupa catatan-catatan dari tim redaksi kali ini semoga ada manfaatnya buat kita.

(1)

Jumlah penulis semakin banyak. Per hari ini, Senin 13 Juni 2022 pukul 09.000, sudah mencapai 1.023 orang. Tak hanya datang dari lingkungan pondok pesantren, tapi juga berlatar belakang pendidikan umum, bahkan dari berbagai universitas ternama.

Kita patut bangga akan hal ini. Tentu, jumlah tulisan yang submit ke duniasantri akan semakin banyak dan beragam. Dan diharapkan makin berkualitas. Tapi tentu juga ada “konsekuensi” tertentu. Misalnya, persaingan untuk bisa dimuat semakin ketat. Juga, antreannya untuk dimuat semakin panjang. Dengan demikian, (seharusnya) apa yang kita sajikan di duniasantri.co juga semakin berkualitas.

Poin ini membuat tim redaksi mengubah “masa tunggu” yang sebelumnya maksimal sebulan menjadi dua bulan untuk pemuatan tulisan sejak tanggal submit.

(2)

Tim redaksi merasa harus kembali mengingatkan soal etik dan etika di dunia kepenulisan, terutama yang berkaitan dengan pengiriman satu tulisan ke beberapa media sekaligus dan penjiplakan.

Sebab, belakangan beberapa kali muncul kasus satu tulisan dikirim ke beberapa media sekaligus, sehingga terjadi duplikasi pemuatan atas satu tulisan yang sama di media yang berbeda dalam waktu bersamaan atau berdekatan. Juga, ada beberapa kasus tulisan yang disubmit tidak asli alias jiplakan dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Poin ini membuat tim redaksi harus mengambil tindakan tegas, memberikan “notice” terhadap pengiriman tulisan dari penulis-penulis yang telah menyalahi etik dan etika di dunia kepenulisan.

(3)

Banyak sahabat-sahabat yang bertanya-tanya: kenapa aturan-aturan penulisan di duniasantri tidak secara resmi diumumkan di webnya, baik yang menyangkut soal-soal teknis maupun etik dan etika kepenulisannya? Bahkan, notice terhadap pelanggaran tidak diberi peringatan terlebih dulu.

Pertama, ketika kita sudah ber-nawaitu menjadi penulis atau aktif di dunia kepenulisan, harus dianggap kita sudah memahami bagaimana etik dan etikanya, memahami rambu-rambunya. Ibarat kita akan menjadi sopir bus, segala syarat dan persyaratnya harus dipenuhi, harus dikuasai. Jangan hanya karena ingin mengejar setoran, rambu-rambu diterabas.

Bukankah tujuan awal kita menulis di duniasantri untuk menyebar dan berbagi kebaikan, dan yang lain-lain kita anggap berkahnya?

Kedua, kita adalah komunitas santri, kaum santri, di mana hal ihwal bentuk-bentuk relasi informal dan relasi kultural di antara kita tak bisa dihilangkan (begitu saja), seprofesional apa pun kita mengelola media ini, secanggih apa pun media yang kita gunakan. Maka, kita harus saling membaca, saling memahami, dan saling menjaga agar relasi kita tetap terbangun dengan kokoh demi menjaga kualitas seperti tujuan awalnya.

TANGGUNG JAWAB JURNALISTIK, TANGGUNG JAWAB (KE) PUBLIK

Teman-teman warga duniasantri semoga ada yang sempat mengikuti kehebohan pemilihan Presiden AS. Ada satu pelajaran yang dapat dipetik, yang relevan dengan kepenulisan di duniasantri.co, yaitu tanggung jawab jurnalistik.

Ini sering menjadi pertanyaan: kepada siapa jurnalistik bertanggung jawab? Pertanyaan seperti ini wajar sering diajukan karena jurnalistik atau pers memang merupakan institusi independen, yang tidak memiliki relasi (dependen) dengan pihak mana pun. Ia tidak punya atasan. Ia tidak punya juragan.

Filososi dasarnyanya, jurnalistik bekerja untuk memenuhi hak-hak dasar publik, yaitu hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat. Itulah kenapa jurnalistik atau pers juga sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi —setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif. Melalui pers, publik dapat menyuarakan pendapatnya. Atas dasar itu, maka tanggung jawab jurnalistik adalah tanggung jawab ke publik. Bagaimana mengukurnya?

Mari kita lihat apa yang terjadi di AS, dan kemudian kita bisa mengambil contoh dengan apa yang dimiliki duniasantri.co.

Ketika calon incumbent Donald Trump memprovokasi publik dengan klaim kemenangan dan menuding pihak lawan melakukan kecurangan, baik melalui platform media sosial maupun media massa mainstream, namun tidak disertai dengan bukti-bukti yang didaku, maka media-media di AS langsung mengambil tindakan. Sebuah stasiun televisi ternama langsung menghentikan siarannya. Media-medoa mainstream tidak memuat pernyataannya —kalau pun memuat diberi catatan. Dan, media-media sosial memberi notice khusus.

Kenapa hal itu dilakukan oleh media-media AS? Bukankah Trump yang melakukan jumpa pers adalah peristiwa dan fakta? Bukankah Trump yang menulis di media sosialnya adalah juga peristiwa dan fakta? Dan Trump adalah tokoh yang prominence?

Di sinilah media-media AS memberi bobot tinggi pada nilai impact dari 10 nilai berita yang pernah kita diskusikan sebelumnya. Andai saja Trump, saat menyiarkan klaim kemenangan dan menuding kucurangan, melengkapinya dengan bukti, setidaknya bukti-bukti awal, pers di sana pasti akan memberikan liputan luar biasa, bahkan bisa langsung menurunkan tim untuk melakukan invesgative reporting. Sebab, impact atau dampaknya akan luar biasa bagi masa depan politik negeri Paman Sam itu.

Rupanya, pers di sana mencium gelagat yang ganjil. Media hanya akan dimanfaatkan oleh Trump atau dijadikan corong untuk menggiring dan membentuk opini publik, bahwa pemilu dipenuhi kecurangan dan karena itu harus ditolak. Pers di sana tidak mau hanya dijadikan corong, dan karena itu harus mengambil sikap: tidak memuat atau menyiarkannya, atau memuat dan menyiarkannya dengan catatan.

Apa yang dilakukan media-media di AS itu merupakan salah satu contoh tanggung jawab jurnalistik kepada publiknya. Pers tak mau publik disesatkan oleh pemberitaannya.

Kasus duniasantri.co

Kita, yang memiliki situs web duniasantri.co, juga memiliki tanggung jawab yang sama kepada publik kita, pembaca tulisan-tulisan kita. Karena itu, ada saatnya kita tidak memuat tulisan —semua tulisan yang disiarkan media pers masuk kategori bagian dari produk jurnalistik— salah satunya karena pertimbangan impact tersebut.

Belum lama ini, seorang dari kita men-submit tulisan yang tidak memenuhi nilai impact tersebut. Judulnya cukup provokatif: “Kesesatan Aqidah dan Ajaran Syi’ah di Indonesia”. Di dalam artikelnya, penulis membuat list pokok-pokok ajaran Syiah. Pada bagian penutup, penulis menyimpulkan bahwa ajaran Syi’ah adalah sesat dan menyesatkan.

Kita tahu, firqah dalam Islam sudah terjadi sejak sepeninggal Nabi, dan terus berkembang hingga harus diakui banyak firqah yang masih eksis sampai saat ini. Salah satunya adalah Syiah. Yang menyebut Syiah sebagai sesat pasti datang dari kelompok lain. Dan Syiah juga melakukan klaim yang sama. Faktanya, di Iran aliran Syiah ini menjadi agama resmi negara. Di banyak negara lain, Syiah menjadi mayoritas.

Dari sini kita sudah bisa membayangkan, begitu duniasantri.co meloloskan artikel ini, sudah pasti akan memunculkan minimal ketegangan publik. Itulah impact-nya pada publik. Di sisi lain, duniasantri.co bisa jadi akan diposisikan sebagai “corongnya” lawan Syiah.

Tim redaksi sudah sempat berdiskusi dengan penulisnya. Dan teman kita yang menulis bisa memahaminya. Malah sempat dicandai: apa siap kalau nanti didatangi orang Syiah jika tulisannya dimuat? Hmmm…

Begitulah teman-teman santri, saat menulis, sekaligus kita sudah harus menimbang soal tanggung jawab dan impact dari apa yang kita tulis.

KEBENARAN JURNALISTIK, KEBENARAN FAKTUAL

Kegiatan jurnalistik seringkali diidealisasi atau diklaim untuk mengungkap kebenaran. Pertanyaannya adalah, kebenaran yang bagaimana? Kebenaran versi siapa? Benarkah kebenaran yang diungkap melalui kerja jurnalistik adalah kebenaran yang sebenar-benarnya alias kebenaran hakiki?

Tentu tidak. Pada kenyataannya, kebenaran jurnalistik adalah kebenaran faktual, bukan kebenaran material atau kebenaran substansial menurut pengertian hukum positif. Artinya, pekerjaan jurnalistik hanyalah mengungkap suatu peristiwa sesuai dengan kejadian yang senyatanya, kejadian yang sebenarnya, sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan.

Yang harus kita ingat ini: kerja jurnalistik hanya mengungkap, bukan menghakimi atau menilai suatu peristiwa yang terjadi. Apakah menurut hukum positif kejadian atau peristiwa itu benar atau salah, itu bukan urusan jurnalistik. Itu urusan pengadilan. Apakah menurut ukuran nilai-nilai tertentu, kejadian atau peristiwa itu baik atau buruk, bukan juga urusan jurnalistik. Itu urusan penilaian publik.

Karena itulah, dalam mengungkap suatu peristiwa untuk dijadikan berita, pertama, seorang jurnalis tidak boleh berbohong. Itu kode etiknya. Seorang jurnalis bisa saja salah atau teledor dalam mengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap peristiwa yang sebenarnya, sehingga beritanya tidak akurat. Itu kesalahan yang bisa dimaaafkan (ma’fu) dalam dunia jurnalistik. Tapi tidak dengan kebohongan. Sengaja memberitakan sesuatu peristiwa yang tak pernah terjadi, atau memberitakan sesuatu yang berbeda dengan kejadian sebenarnya, adalah suatu kesalahan yang tak termaafkan.

Kedua, seorang jurnalis tidak boleh menilai atau memberikan opini terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Tugasnya hanyalah benar-benar mengungkap suatu peristiwa dan merekonstruksinya menjadi berita sesuai dengan kejadian dan fakta-fakta yang sebenar-benarnya.

Mari kita ambil contoh, lagi-lagi, kasus kecelakaan Hanafi Rais di jalan tol belum lama ini, seperti yang kita ceritakan dalam catatan-catatan sebelumnya.

Seperti seorang penyidik atau detektif, seorang jurnalis juga harus turun ke lapangan, memeriksa bukti-bukti yang masih bisa ditemukan di lapangan, mewawancarai saksi-saksi (saksi korban/pelaku atau orang yang berada di lokasi ketika kecelakaan itu terjadi).

Beginilah kira-kira fakta-faktanya:

Bukti:

  1. Hanya ada satu mobil Alphard (milik Hanafi Rais) di lokasi dengan kondisi ringsek bagian depan;
  2. Hanafi Rais mengalami luka serius dan dirawat di sebuah rumah sakit.
  3. Sopirnya mengalami luka ringan.

Saksi:

  1. Dari pihak Hanafi Rais (keluarga): mobil Alphard milik Hanafi Raid korban tabrak lari. Kejadiannya, diseruduk dari belakang, kemudian menabrak truk di depannya. Kendaraan yang menyeruduk dari belakang dan yang ditabrak sama-sama lari.
  2. Dari pihak sopir: keterangan berubah-ubah, semula ia mengaku menabrak kendaraan di depannya; lalu berubah ditabrak dari belakangan.
  3. Kepolisian: mobil Alphard ditabrak dari belakang, lalu menabrak kendaraan yang ada di depannya. Semua kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan itu kabur. Belum bisa memastikan tindakan selanjutnya.

Kemungkinan penyebab kecelakaan sebenarnya berdasarkan temuan di lapangan:

  1. Alphard melaju terlalu kencang, lalu menabrak kendaraan di depannya.
  2. Alphard disenggol dari samping belakang, sopirAlphard tak bisa kendalikan kendaraannya dan menabrak kendaraan di depannya.
  3. Sopir ngantuk atau mabuk (perlu pemeriksaan laboratorium).

Seorang jurnalis, berdasarkan temuannya di lapangan, bisa saja punya kesimpulan: Alphard menabrak kendaraan di depannya lantaran sopirnya ngantuk. Namun, berita bukanlah kesimpulan. Berita adalah pengungkapan fakta-fakta atas kejadian yang sebenarnya. Karena itu jurnalis tidak bisa menyampaikan kesimpulannya karena itu bersifat opini dan penilaian. Itu ranahnya penegak hukum.

Dengan fakta dan keterangan yang berbeda-beda, seorang jurnalis tidak boleh menyebut, misalnya, pihak Hanafi Rais atau saksi lain berbohong atau memberikan keterangan palsu dalam tulisannya karena itu sudah bersifat opini dan penilaian. Misalnya, menulis “Hanafi Rais berbohong atau memberi keterangan palsu”. Jurnalis hanya bisa menuliskan begini: “Hanafi Rais (atau saksi lainnya) memberikan keterangan berbeda, bla-bla-bla…”

Apakah dalam kecelakaan ini Hanafi Rais (dan saksi lainnya) telah berbohong atau memberikan keterangan palsu, hanya hakim yang berwenang membuat keputusan. Polisi pun, bila menangani kasus ini, kewenangannya hanya sampai pada level “menyangka”. Apakah dalam kasus kecelakaan ini pihak Hanafi Rais yang bersalah, itu juga ranahnya pengadilan, bukan ranahnya kerja jurnalistik.

Itulah yang disebut kebenaran dalam dunia jurnalistik, yaitu kebenaran faktual.

MEMBIASAKAN DIRI DENGAN DATA

Assalamualaikum sahabat-sahabat santri. Rasanya sudah lumayan lama kami tidak membuat catatan hal ikhwal kepenulisan di duniasantri.co. Kini, izinkan ada satu catatan tentang bagaimana seorang penulis membiasakan diri dengan data.

Kebetulan, itulah salah satu kelemahan atau kekurangan paling umum dari tulisan-tulisan yang disubmit ke duniasantri.co: data, fakta, referensi.

Padahal, tulisan yang paling kuat adalah yang dibangun dari atau didukung oleh data, fakta, dan referensi yang kuat pula. Ini berlaku untuk semua jenis, kategori, atau genre tulisan. Tulisan opini, misalnya, meskipun ia merupakan pendapat atau gagasan dari si penulis, tetaplah bahwa pendapat atau gagasan yang disuguhkan harus dibangun dari data, fakta, dan referensinya. Apalagi untuk jenis-jenis tulisan yang masuk kategori produk jurnalistik, seperti sosok dari seorang tokoh atau profil suatu pondok pesantren.

Bahkan, karya sastra pun, seperti cerita (novel/cerpen), yang terbilang bagus dan kuat adalah yang didasarkan pada hasil riset data, fakta, dan referensinya. Bahkan puisi/sajak pun, banyak yang dihasilkan dari atau diperkuat oleh pengamatan dan pergulatan si penulis dengan data atau fakta-fakta kehidupan. Kita harus ingat bahwa puisi atau sajak bukanlah sekadar untaian kata-kata yang mendayu-dayu, yang mengharu-biru —yang malah sulit dimengerti.

Begitu pentingnya data, fakta, dan referensi itulah maka banyak tulisan yang disubmit ke duniasantri.co akhirnya ditangguhkan —karena tidak didukung oleh ketiganya.

Satu contoh, misalnya, ada tulisan yang menyorot tentang konflik Palestina-Israel. Mungkin saja pendapat atau opini si penulis benar, tapi karena tidak didukung oleh bangunan data dan fakta yang kuat, sehingga menjadi argumentatif, maka tulisan tersebut dikesampingkan. Tanpa didukung dan dibangun di atas data, fakta, dan referensi yang sahih, tulisan opini kita akan terasa “gerundelan”.

Atau contoh lain lagi yang elementer. Misalnya kita menulis tentang profil pesantren. Kita menyebut pesantren X sebagai salah satu pesantren tertua atau terbesar. Bagaimana kita bisa mengukur “ketuaannya” kalau tidak pernah disebutkan tahun berapa pesantren itu didirikan. Bagaimana kita mengukur “kebesarannya” kalau kita tidak pernah menyebut, misalnya, luas bangunannya, jumlah gedung/kamarnya, luas tanahnya, ragam fasilitas pendidikannya, jumlah santrinya, dan sebagainya.

Sahabat-sahabat santri bisa membanding-bandingkan berbagai tulisan di banyak media, termasuk yang bertebaran di dunia maya. Bandingkanlah tulisan-tulisan yang dibangung di atas dan didukung oleh banyak data/fakta/referensi dengan yang sebaliknya. Rasakan bedanya. Bedakan kualitasnya.

Karena itu, mari biasakan diri bergulat dengan data/fakta/referensi untuk menghasilkan tulisan terbaik, yang semakin baik. Bagaimana caranya?

Ada satu contoh menarik. Dulu, pernah ada dua orang wartawan Tempo melakukan wawancara khusus dengan KH Ahmad Shiddiq (almarhum), pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember. Saat wawancara dimulai, hanya satu wartawan yang melakukan wawancara. Satunya lagi? Jalan-jalan keliling pesantren. Hasilnya? Perpaduan antara hasil wawancara dengan pengamatan lapangan (hasil jalan-jalan). Artinya? Betapa riset/survei untuk memperoleh data/fakta sama pentingnya dengan (kutipan) wawancaranya.

Nah, data/fakta/referensi untuk membangun argumen kita, tulisan kita, bisa kita peroleh melalui riset kecil-kecilan atau memperbanyak referensi (bacaan). Misalnya, kalau kita ingin menulis tentang satu pesantren, paling tidak kita sudah harus siap lebih dulu dengan data elementernya. Begitu juga, kalau kita punya ide (topik) untuk menulis sebuah opini, maka kita sudah harus siap lebih dulu dengan datanya, fakta-faktanya, referensinya —meskipun tidak semua data/fakta/referensi tersebut kita cantumkan dalam tulisan kita. Rasanya tidak ada penulis sejati yang malas untuk menggali data, fakta, referensi.

Dengan membiasakan diri bergulat dengan data/fakta/referensi, semoga tulisan kita menjadi semakin berkualitas.

“SECEPAT APA TULISAN SAYA DIMUAT?”

Pertanyaan dalam judul itu bisa jadi juga ngendon di kepala kita, para kontributor duniasantri.co. Sebab, memang ada saja teman-teman kontributor yang secara pribadi mengajukan pertanyaan seperti itu. Ada juga yang berulang-ulang men-submit artikel yang sudah di-submit.

Karena itu, berikut kami sampaikan “pemeringkatan kecepatan” pemuatannya.

Pertama, artikel yang disegerakan untuk dimuat adalah yang bentuk/sifatnya berita, dalam hal ini untuk rubrik “Teras”. Tidak pakai lama, hari itu juga, bahkan mungkin hanya dalam hitungan menit atau jam akan langsung diproses. Itu semata-mata karena sifat dan karakternya.

Kenapa? Karena web kita sejak awal memang dirancang sebagai situs berita dengan konsep citizen journalism. Contohnya sudah ada. Beberapa teman dari Madura dan Yogyakarta sering mengirim artikel berita dan langsung dimuat saat itu juga setelah dilakukan penyuntingan.

Kedua, artikel dalam bentuk produk jurnalistik non-berita juga disegerakan, seperti untuk rubrik “Sosok” (profil tokoh), “Pondok” (profil pesantren), dan “Bintang” —tapi peringkatnya masih di bawah Teras. Tujuannya apa? Agar semakin banyak kiai-kiai kita, ustaz-ustaz kita, dan pesantren-pesantren kita, memperoleh tempat dalam dunia literasi.

Untuk yang kedua ini, terutama untuk rubrik “Sosok”, politik redaksional kita begini: lebih mengutamakan tokoh-tokoh di daerah, kiai-kiai di daerah, nyai-nyai di daerah, ustaz-ustaz di daerah, bahkan kiai-kiai langgar di kampung ketimbang para pesohor. Misalnya, belum lama ini ada yang submit profil Oki Setiana Dewi, artis yang ustazah atau ustazah yang artis. Bagi duniasantri buat apa? Sebab, kalau kita ingin tahu tentang Oki Setiana Dewi, profilnya sudah ditulis di mana-mana, sudah ada di mana-mana. Tapi kalau kita ingin tahu siapa kiai alim nan zuhud di Ciwaringin, Cirebon, di mana mencarinya? Itu tugas duniasantri.co.

Intinya, kita tidak menulis profil tokoh yang sudah sohor, yang semua orang sudah tahu, karena sudah banyak yang menuliskannya. Kecuali, kita memotret dan menghadirkan sosoknya dari sudut pandang yang berbeda —dan itu berarti sudah setengah opini.

Ketiga, artikel-artikel non-produk jurnalistik, seperti untuk Opini, Cerpen, Puisi, Santri Way, Pustaka, dan Humor. Untuk artikel-artikel dalam kelompok ini banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan pemuatan—dengan asumsi artikelnya sudah layak muat.

Faktor pertama adalah kapasitas sumber daya pengelola(an) web. Untuk saat, kapasitasnya baru sekitar pemuatan 5 artikel per hari. Faktor kapasitas ini akan berkorelasi-relatif dengan faktor-faktor berikutnya.

Faktor kedua adalah keragaman rubrik per rubrik. Contohnya, tidak mungkin dalam sehari kita memuat lima artikel tapi semuanya puisi, atau semuanya cerpen. Keragamannya harus kita jaga. Jadi, jika sehari memuat lima artikel, maka akan diambilkan dari rubrik per rubrik; ada opini, ada puisi, ada cerpen, ada santri way, atau resensi buku. Agar web kita tetap variatif.

Faktor ketiga adalah “pemerataan” penulis. Misalnya, tidak mungkin tiap hari kita akan terus-menerus memuat tulisannya Si Fulan tanpa jeda meskipun naskahnya numpuk di redaksi. Sepanjang artikel yang disubmit memenuhi kelayakan, kami akan selalu menghadirkan penulis-penulis yang berbeda secara “berselang-seling”. Sebab apa? Web kita memang dirancang sebagai tempat semua santri mengasah diri dalam dunia kepenulisan.

Faktor keempat adalah relasi kontektual dan aktualitas tulisan. Misalnya, jika ada dua opini sama-sama memenuhi kelayakan, maka juga akan ditimbang aktualitas dan kontekstualitasnya. Yang topiknya lebih aktual dan kontekstual akan didahulukan.

Nah, semoga ini menjawab jika ada pertanyaan “kok tulisan saya belum dimuat-muat sih?” Jadi, kita tak perlu berulang-ulang submit naskah yang sama —kecuali ada penyempurnaan. Status naskah yang telah disubmit pada akun penulis adalah “pending”, artinya sumbit sudah berhasil tapi naskahnya ditahan di ruang redaksi. Jangan pernah khawatir naskahnya tak dibaca oleh tim redaksi. Pasti dibaca, bahkan lebih dari sekali, baru dilakukan proses penyuntingan.

Semoga berfaedah.

TENTANG EKOSISTEM LITERASI KITA

Hari ini, Senin 23 Agustus 2021, web kita mengunggah 5 artikel baru, tapi hanya 1 yang link pemuatannya di-share di grup percakapan “Gerakan Santri Menulis” (GSM). Itu memang disengaja. Dan mulai hari ini kebiasaan kami men-share link artikel yang baru diunggah ditiadakan —kecuali untuk hal-hal khusus.

Dari sudut tertentu mungkin ini terlihat sebagai perkara remeh. Tapi, dari sudut lain, ini bisa jadi perkara serius:tentang konstruksi ekosistem literasi kita.

Hari ini, inilah yang terjadi: artikel pertama, puisi dengan judul besar “Kekasih Semua Orang” diunggah pada pukul 04.24 WIB. Sampai dengan pukul 06.39, saat linknya di-share, tak satu pun ada jejak orang yang membacanya. Padahal, selama hampir tiga jam itu, ada beberapa dari kita melakukan login, masuk ke akunnya di web, dan men-submit artikel. Setelah linknya di-share, barulah ada yang mulai membaca tulisan yang pertama diunggah tersebut.

Setelah itu ada 4 artikel lagi diunggah dalam jeda waktu berlainan, dan semua link pemuatannya tidak di-share. Apa yang terjadi?  Hanya 1 artikel yang dibaca beberapa kali. Tiga sisanya tak ada jejak dibaca orang sampai sekitar pukul 17.00. Padahal, dalam rentang waktu seharian ini, banyak, puluhan orang, yang melakukan login, masuk ke akunnya di web, dan men-submit artikel. Banyak artikel yang hari ini di-submit.

Apa arti dari gejala ini? Inilah perkara serius yang bisa dibilang mengkhawatirkan itu: jangan-jangan, kita hanya peduli pada diri sendiri. Mengirim artikel sendiri, menunggu pemberitahuan dimuat, lalu dibaca sendiri, dan di-share di kelompoknya sendiri. Selesai. Abai pada artikel lain yang juga dimuat. Tak peduli pada karya teman/penulis lain.

Jika gejala ini benar, maka mirip-mirip dengan apa yang disebut sebagai bagian dari snobisme intelektual, yang tak kondusif bagi ekosistem literasi.

Diam-diam, sudah beberapa lama, kami melakukan pengamatan terhadap “perilaku” kejejaringan kita dalam web duniasantri.co.  Jika di-profiling, dari 343 kontributor yang terdata kira-kira ditemukan tipologi seperti ini: Pertama, kontributor  pasif. Jumlahnya sangat banyak. Bahkan terbanyak, mungkin. Mereka ini membuat akun sebagai kontributor, namun belum pernah submit artikel atau sudah submit sekali dua kali tapi belum ada yang dimuat. Mungkin mereka ini menjadi pembaca yang pasif.

Kedua, kontributor superaktif. Jumlahnya tak terlalu banyak, tapi sangat-sangat aktif submit artikel. Ketiga, kontributor aktif. Jumlahnya juga tak terlalu banyak, tapi terbilang aktif (rutin) submit artikel. Keempat, kontributor agak-aktif. Jumlahnya relatif banyak dan tidak rutin dalam submit artikel.

Nah, “gejala abai pada yang lain” tadi, “snobisme intelektual” itu, bisa jadi ada di tipe kedua, ketiga, dan keempat sekaligus. Apakah itu baik? Apakah itu buruk? Bukan di situ persoalannya. Persoalannya ada pada apa yang seharusnya kita lakukan dalam membangun ekosistem literasi yang kondusif.

Di situ ada yang disebut apresiasi. Dalam ekosistem literasi yang kondusif, ada saling memberi apresiasi, ada saling respect. Jika tak ada itu, maka ekosistem literasi tidak akan kondusif. Apresiasi tidak identik dengan memuja atau memuji. Membaca tulisan orang lain adalah sebentuk apresiasi. Mengkritik atau memberi komentar apalagi.

Itulah salah satu alasan utama duniasantri.co ada: saling menguatkan melalui apresiasi dalam berliterasi. Mari bertanya pada diri sendiri: pernahkah kita merindukan membaca tulisan teman-teman kita di jejaring ini? Pernahkah kita “mencolek” teman-teman kita yang terasa sudah lama tidak menulis lagi?

(Saya secara pribadi, meskipun jarang, beberapa kali melakukan itu. Jika ada yang sudah lama sekali tidak menulis, saya biasanya japri sekadar menyapa begini: “gus (atau ning) apa kabar? Saya kangen baca tulisannya.”—meskipun belum tentu tulisannya nanti dimuat).

Nah, dengan ditiadakannya kebiasaan share link unggahan artikel itu, maka jika ingin mengetahui informasi apakah tulisan kita sudah dimuat atau belum, kita bisa mencari tahu sendiri di web kita. Jadi tak perlu menunggu-nunggu ada share link unggahannya. Semoga ekosistem literasi makin kuat, makin baik.

TENTANG PROFILING KEPENULISAN KITA

Berikut beberapa catatan dari redaksi duniasantri.co untuk dijadikan pertimbangan dan bahan diskusi dalam berliterasi.

(1)

Semula ada kekhawatiran, peniadaan kebiasaan share link pemuatan artikel di grup-grup percakapan Gerakan Santri Menulis akan menurunkan tingkat keterbacaan (views) situs web kita. Nyaranya kekhawatiran itu tak terjadi. Trennya justru terus menaik meski tak signifikan benar. Artinya kesadaran berliterasi yang sebenarnya telah terbangun; bahwa ilmu dan informasi itu harus dicari, bukan dinanti.

(2)

Ada kecenderungan para kontributor mulai banyak menulis berita untuk rubrik Teras. Namun, masih banyak yang belum terbiasa dengan bentuk berita yang sebenarnya. Sering bercampur antara berita dan opini —padahal dalam berita tak boleh ada opini.

Untuk kecenderungan ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kita harus lebih membiasakan diri dengan rumus “5W1H” dalam penulisan berita —kalau perlu sering-sering berlatih menulis berita (bukan untuk dimuat) dan membanding-bandingkan hasilnya dengan berita-berita pada media mainstream.

Kedua, berita yang cocok muat di situs web kita benar-benar berita tentang dunia santri, dunia pesantren, oleh dan untuk kalangan pesantren. Misalnya, belum lama ini ada kontributor yang submit berita tentang Kementerian Agama menyelenggarakan diklat (dakwah) digital. Institusi negara ini punya perangkat dan modal berlebih untuk menyiarkan kegiatannya ke seluruh dunia, karena itu web kita tak merasa perlu untuk memberitakannya. Lain soal kalau kegiatan serupa diselanggarakan oleh pesantren, maka duniasantri.co harus memberitakannya. Sesederhana itu rumusan umumnya.

Sebagai catatan di poin kedua, direkomendasikan, dan memang ada baiknya demikian, seluruh kontributor duniasantri.co membiasakan diri dengan penulisan jurnalistik dengan penerapan kaidah “5W1H”. Percayalah, dengan membiasakan diri dan menguasai penulisan jurnalistik, menulis dalam bentuk apa saja akan terasa lebih mudah. Basis atau fondasi kepenulisan kita akan semakin kukuh. Itulah kenapa, dalam satu workshop cerpen kita, Putu Fajar Arcana menyodorkan teknik penulisan cerpen dengan mengadopsi kaidah penulisan jurnalistik “5W1H” ini.

Karena kita bukan jurnalis sungguhan, kita bisa belajar dan mencobanya dengan cara sangat sederhana. Menuliskan peristiwa sehari-hari di sekitar kita dalam bentuk berita, dengan penerapan kaidah “5W1H”, diulang dan terus diulang hingga kita mahir melakukannya. Persis seperti belajar naik sepeda.

(3)

Jumlah santri yang melakukan registrasi sebagai kontributor semakin banyak dan beragam, terutama beragam dalam hal kemampuan dan usia. Saat ini sudah bergerak ke angka 500 kontributor. Dari segi kemampuan, misalnya, ada yang sudah mahir dan memiliki gaya tersendiri dalam menulis. Namun, tak sedikit yang masih belajar dan tulisannya belepotan. Dari segi usia, misalnya, ada yang sudah di atas 40 tahun. Tapi ada juga yang masih 12 tahun! (Bayangkan, anak 12 tahun mendaftar menjadi kontributor duniasantri.co!)

Dengan semakin banyaknya kontributor, tentu tingkat “persaingan” menulis di duniasantri.co menjadi lebih ketat. Setidaknya, durasi pemuatan tulisan dari seorang kontributor akan “terganggu” dengan hadirnya kontributor- kontributor lain —mengingat keterbatasan sumber daya di lingkungan jejaring duniasantri.

Dengan latar itu tentu diperlukan “seni” tersendiri dalam menentukan “standar mutu” pemuatan tulisan, mula-mula dimulai dari “standar minimalis” dan terus di-upgrade sesuai dengan perkembangannya. Jika cermat memeriksa tulisan-tulisan masa-masa awal duniasantri.co hingga yang terkini, pasti akan terasa ada tahapan “upgrading” standar yang dipakai.

Intinya, dari waktu ke waktu harus selalu ada peningkatan standar kualitas. Kita tidak bisa hanya “begini-begini saja” atau “begitu-begitu saja” dan cukup puas dengan itu. Harus ada saatnya situs web kita ini, duniasantri.co, “tak layak” lagi mewadahi perkembangan kepenulisan kita hingga kita harus mencari media-media yang lebih besar, yang lebih berkualitas, mungkin lebih berkelas dan bergengsi, untuk mewadahi karya-karya kita. Dan di saat itu mungkin kita juga sudah menerbitkan media baru yang sekarang sedang digagas oleh teman-teman di jejaring duniasantri: “jurnal ilmiah duniasantri”.

Untuk naik ke puncak, kita harus menyiapkan dulu tangganya. Dan duniasantri.co adalah salah satu dari anak-anak tangga itu.

Untuk catatan poin ketiga ini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, tidak semua penulis selalu bisa melahirkan tulisan yang baik, atau sebaik sebelumnya dan setelahnya. Itulah kenapa adakalanya kadang-kadang tulisan kita dimuat kadang-kadang tidak. Yang tulisannya pernah dimuat duniasantri.co tidak berarti seluruh tulisan yang kemudian juga akan dimuat. Sebab, setiap tulisan akan diperlakukan sama: melalui tahapan dan proses editing.

Tapi reaksi para penulisnya memang berbeda-beda. Ada yang tak peduli jika ada tulisannya yang tidak dimuat dan terus saja berkarya. Ada yang setelah tulisan terakhirnya tak dimuat berhenti mengirimkan karyanya. Ada yang tak peduli tulisannya tak pernah ada yang dimuat dan terus saja mengirimkan karyanya. Ada yang sekali dua kali mengirimkan tulisan dan berhenti melakukannya karena tak dimuat. Ada yang baru bergabung dan baru submit satu tulisan minta segera dimuat. Bermacam ragam.

Sekarang kita ambil contoh. Di duniasantri.co, Kiai Rusdi tergolong paling aktif dan tulisannya paling banyak dimuat. Tapi jangan salah sangka. Bukan berarti tak ada tulisannya yang tak dimuat. Banyak. Mungkin malah paling banyak. Tapi Kiai Rusdi sepertinya paham kenapa tulisannya yang ini atau yang itu tak dimuat.

Contoh lain adalah Khalil Satta Elman yang puisi teranyarnya dimuat pada Jumat (10/9/2021). Empat puisi di bawah judul “Ibu, Malam Sudah Terpejam” itu merupakan seleksi dari sekitar 15 puisinya yang dikirimkan secara berturut-turut sejak sebulan sebelumnya. Artinya, ketika “serumpun” puisi yang dikirimkannya belum dimuat, Khalil Satta tetap berkarya dan mengirimkan karya-karya lainnya. Artinya, banyak juga puisi Khalil Satta yang oleh tim redaksi dinilai tidak layak muat.

Kedua, ada sejumlah penulis yang mencoba “curang”. Mungkin sudah tidak ada lagi plagiasi atau copy paste —setelah tahun lalu. Tapi ada saja yang mencoba-coba mengirimkan tulisan sendiri tapi sebelumnya sudah pernah dimuat media lain. Tim redaksi selalu melakukan tracing terhadap setiap tulisan yang masuk. Jika diketahui ada yang seperti ini, maka duniasantri.co tidak akan memuat tulisannya, termasuk tulisan-tulisannya yang lain, sampai dengan adanya klarifikasi dari yang bersangkutan dengan catatan tidak akan ada lagi pengulangan.

Ketiga, untuk yang baru bergabung dengan duniasantri.co, karena dalam dua minggu belakangan banyak yang baru membuka akun kontributor, ada baiknya mempelajari terlebih dahulu karakter dari setiap rubrik di duniasantri.co dan standar penulisannya. Ini diperlukan agar kita mengenal betul karakter dan politik redaksional duniasantri.co sehingga tidak melakukan hal yang sia-sia. Contohnya, seseorang mengirimkan tulisan yang isinya berasal dari ceramah seorang gus/kiai di kanal Youtube. Itu bukan konsumsinya duniasantri.co. Sebab, orang sudah bisa menyimaknya di kanal Youtube.

Atau, contoh lain, adalah tulisan-tulisan bertema “Islam amalan” atau “Islam how to”.  Misalnya, tentang bacaan ayat tertentu agar cepat kaya atau terbebas dari utang, dan yang semacamnya itu. Tulisan-tulisan bernada seperti ini pasti tak dipertimbangkan. Jadi, mengenali karakter dan politik redaksional itu penting bagi semua penulis.

Keempat, bagi yang sudah (sering) mengirimkan tulisan tapi belum pernah dimuat sebaiknya tak pernah berputus asa mencoba dan terus meng-upgrade kemampuan kepenulisannya. Untuk sementara, tulisan-tulisan tersebut oleh tim redaksi memang dinilai belum memenuhi syarat —bahkan setelah dibongkar-pasang secara berulang. Ada baiknya sebelum submit mengonsultasikan tulisannya ke kanan-ke kiri atau ke teman-teman yang sudah piawai, termasuk teman-teman yang ada di grup Gerakan Santri Menulis. Intinya, tunas-tunas kepenulisan itu jangan sampai layu atau mati sebelum berkembang.

BEDAH NASKAH

Sepertinya lebih enak kalau sekarang kita coba “bedah naskah”. Sebelumnya mohon maaf buat sahabat warga duniasantri yang naskah aslinya dijadikan contoh untuk bedah naskah di sini —tapi tetap dengan merahasiakan penulisnya.

Bedah naskah kita perlukan untuk belajar bersama demi peningkatan kualitas penulisan di web kita sendiri, duniasantri.co.

Inilah naskah yang masih asli:

******

Syiar Sholawat dan Maulid Nabi Di Tengah Pandemi

Sholawat nabi merupakan salah satu amalan yang memiliki arti dan definisi yang sangat mendalam. sehingga kita sebagai umatnya, sudah sepatutnya mengamalkan dalam aktivitas sehari-hari. Anjuran sholawat ini terkandung dalam Al-quran surat Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya:

” sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”

saat ini, sudah memasuki bulan rabiul awal pada kalender hijriyah yang mana didalamnya terdapat peristiwa penting bagi umat muslim yaitu maulidnya Nabi Muhammad SAW. Biasanya masyarakat di Indonesia ramai menyelenggarakan peringatan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan cinta atas kehadiran nabi.

namun kondisi saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. hal ini karena kita sedang diuji oleh wabah virus covid-19, sehingga ada batasan yang harus dipatuhi dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut .

dengan adanya batasan tersebut tentunya tidak menjadikan alasan bagi para pecinta Rasulullah untuk memperingatinya. Salah satunya dengan mensyiarkan maulid dengan bersholawat dirumah saja, seperti yang dijelaskan oleh Menteri Agama Fachrul Razi melalui surat edarannya terkait kegiatan keagamaan ditengah pandemi yang bertujuan untuk meminimalisir risiko kerumunan massa.

hal ini mendapat tanggapan positif oleh masyarakat sehingga menghasilkan inovasi yaitu mengadakan perlombaan online. salah satu contoh adalah festival sholawat online, yang mana pesertanya membuat rekaman bersholawat dengan sekreatif dan sevariatif mungkin lalu dikirimkan kepada panita seperti yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Tilawatil Qur’an Al-Mahfudz di Demak, Jawa Tengah. Festival ini diikuti oleh 30 tim peserta yang berasal dari berbagai kota di Indonesia antara lain Bandar Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.

dengan adanya perlombaan ini bertujuan untuk meningkatkan syiar islam dengan sholawat nabi, sehingga semarak maulid nabi masih bisa dirasakan oleh masyarakat walaupun tidak semeriah biasanya. Dan berharap di bulan kelahiran nabi ini dengan keberkahan sholawat kepadanya kita mendapatkan syafaat kelak di hari kiamat.

******

Naskah ini disubmit pada 1 November 2020 untuk rubrik Opini.

Jika kita membaca mulai dari judul hingga alenia keempat, terasa bahwa artikel ini dimaksudkan untuk opini atau tulisan dalam bentuk opini. Namun, setelah itu, sejak dari alenia keempat hingga ketujuh, tulisan ini bermaksud memberikan informasi dalam bentuk berita.

Jadi, kesimpulannya, naskah ini jenis kelaminnya tidak jelas. Disebut opini bukan, karena tidak ada pembahasan terhadap topik atau ide tertentu. Dibilang berita juga bukan, karena tidak memenuhi unsur 5W+1H seperti catatan-catatan kita sebelumnya.

Ini bukan yang pertama. Naskah seperti ini sering masuk ke redaksi, tentu dari penulis yang berbeda-beda. Biasanya, setelah dilakukan beberapa kali “tektokan” barulah muncul naskah baru dengan jenis kelamin yang jelas dan siap dirilis.

Dalam naskah ini, kita belum tahu apakah si penulis ingin membahas masalah selawat (di KBBI yang baku selawat, bukan sholawat atau shalawat) dan maulid Nabi atau menginformasikan kegiatan perayaan maulid Nabi dengan lomba selawat.

Terhadap naskah ini, mestinya ada dua skenario. Pertama, ditulis dalam bentuk opini. Maka, topik yang relevan dan aktual untuk dibahas, misalnya hukum perayaan maulid Nabi, boleh atau tidak boleh, bidah atau bukan, disertai dengan dalil-dalil dan argumennya. Lalu, bagaimana dengan beragam tradisi maulidan di berbagai daerah. Apa pendapat penulis dan seperti apa argumennya. Jika konstruksinya seperti ini, maka jenis kelaminnya menjadi jelas: tulisan dalam bentuk opini/artikel.

Kedua, ditulis dalam bentuk berita. Tentu saja, syarat penulisannya harus sesuai dengan kaidah penulisan jurnalistik, memenuhi unsur 5W+1H. Dalam naskah ini, yang terpenuhi baru dua unsur, yaitu what (apa) dan who (siapa). What-nya adalah festival selawat online dan who-nya adalah Pondok Pesantren Tilawatil Qur’an sebagai penyelenggara dan para peserta. Selebihnya tidak ada.

Kira-kira, kalau akhirnya ditulis dalam bentuk berita, akan menjadi seperti ini:

Judul:

“Maulid Nabi, Pesantren Tilawatil Quran Gelar Festival Selawat Online”

 Lead:

Dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad, Pondok Pesantren Tilawatil Qur’an Al-Mahfudz Demak, Jawa Tengah, menggelar festival selawat secara online yang berlangsung pada Kamis (29/10/2020). Festival selawat yang digelar secara online karena pandemi ini diikuti oleh 30 tim peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pemenangnya akan memperoleh hadiah berupa… bla-bla-bla….

Selanjutnya baru diikuti kronologi dan suasana pelaksanaan festivalnya.

 Dari Bedah Naskah seperti ini, bagi teman-teman warga duniasantri yang baru mengawali menulis, sudah punya gambaran jelas: jenis tulisan apa yang akan dibuat. Kalau mau menulis opini, perangkatnya harus disiapkan. Kalau mau menulis berita, kaidahnya harus diikuti.

Begitulah salah satu cara dan ikhtiar kita untuk tetap menjaga standar kualitas.

BEDAH CERPEN

Berikut naskah asli cerpen

***

Ternak yang “Menguntungkan”

Perayaan wisuda di madrasah aliyah tempat Mansur dihelat, dengan mengundang dai untuk memberikan mauizah hasanah;nasihat keagamaan, sebagai pengantar ijazah yang terselip ditangan para alumni.

“Adik-adikku wisudawan MA Darussalam, yang diberkahi Allah. Selesai belajar di sini, saya harapkan kalian melanjutkan kuliah atau bekerja. Pokoknya jangan nganggur. Harus terus menyibukkan diri, sibuk yang berkualitas dan sibuk yang produktivitas. Laysal ghina ‘ankatsratil’ardhi walakinnal ghina ghinan nafsi. Jadilah kaya, kaya bukan lantaran banyak harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa”.

Hadirin tertegun, ada juga yang melamun. Para lulusan mendengarkan, tidak sedikit pula yang melewatkan. Mansur terpaku pada seremonial. Duduk tenang, sembari melirik orang tuanya yang berada di barisan yang berbeda. Pikirannya membuncah, tak berani ia berpikir untuk melanjutkan kuliah. Alasan ekonomi jelas menjadi kendala utama. Syukur-syukur ia mampu melanjutkan sampai jenjang aliyah. Berkat adanya kartu sakti; Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan.

“Di tengah zaman yang disebut ‘edan’, jauh dari sudut kewarasan. Dosa yang sudah dianggap kewajaran. Maka, kayakan dirimu wahai para lulusan..Kaya iman, kaya ilmu, kaya hati, kaya wawasan-pengetahuan, juga kaya materi. Bekerjalah dengan keras dibarengi dengan tawakal dan doa. Petani, pegawai kantoran, pedagang, peternak, apapun itu carilah rejeki yang halal.

Berbicara tentang ternak, saya mau tanya, ternak apa yang bisa membuat cepat kaya?” Sang dai meneruskan ceramahnya dengan pertanyaan retorika untuk membuat pesona orasinya. Hadirin siap menunggu jawaban dai, yang pasti akan menderai tawa dalam benak mereka.

“Ternak yang cepat membuat kaya adalah dengan cara beternak tu..yul”. Disambut riuh tawa dari seluruh hadirin undangan wisuda.

“Ya, ternak tuyul itu cepat menghasilkan. Tapi, saya yakin lulusan madrasah Darussalam tidak akan melakukannya. Karena sudah dibekali ketahuidan, dibentengi dengan bermacam ilmu keagamaan. Akhirnya, selamat dan sukses kepada para lulusan. Wassalamualaikum Wr.Wb.”

Sang dai menutup ceramahnya. Mansur tetap tertegun, terngiang kata “sukses”yang menjadi akhir seremoni. Semua mengatakan tentang sukses. Kepala madrasah, Kepala Desa, Ketua Komite, sampai dai yang diundang, tidak pernah teralpha kata “sukses”. “Selamat dan sukses!”

Sejak sepuluh tahun silam, Mansur benar-benar membenci kata “sukses”. Kata tersebut, baginya adalah buaian. Kata bohong; sebuah noun pengingkaran tentang hidupnya kini. Sukses secara harfiah beretimologi beruntung atau berhasil. Dan harfiah “sukses” tersebut, berbanding terjungkir dengan kehidupan Mansur.

Setelah lulus, Mansur bekerja serabutan. Menjadi buruh tani, kuli bangunan, mencari rumput, kuli angkut pasar, marbot masjid, apa saja. Demi hidup, demi uang, demi makan dan demi sekedar untuk bisa buang hajat layaknya manusia normal.

Sukses bagi Mansur adalah mimpi; dongeng kocak, fable dan dia sebagai hewan yang bisa berbicara. Dengan kemustahilan sebagai karakteristiknya. Sukses bagi Mansur adalah ketika takdir kerelaan Sundari menerimanya sebagai pendamping hidupnya. Tanpa syarat, tanpa sebab. Dan jelas kerelaannya menjadi wilwatikta, swargaloka nan indah. Smaradhana, Sundari menyempurnakan simbol kejantanan Mansur, dengan satu plasma nutfah yang nyata. Lengkap dengan hidung dan mulut. Mata dan senyum mungil yang membuat Mansur rela mengorbankan apa pun. Meruntuhkan langit jika ia meminta sanggup Mansur lakukan. Menggoyang mayapada, bila perlu. Agar Mikail sudi turun dan berdebat dengannya, tentang rejeki yang mungkin terlewat, Mansur siap melakukannya.

Klimaks dari putar balik plot kehidupan Mansur berawal sore ini. Ketika bapaknya yang renta, menunggunya diteras tragedi. “Le, pinjami aku uang dulu yo. Untuk nggarap sawah. Beli bibit, pupuk, sama buruh tandurnya.” Mansur mengangguk satu kali.

“Oh ya, lali aku. Sekalian biaya selamaten mbahmu. Pinjami dulu ya le.”. Mansur mengangguk dua kali tak menjawab. Bapaknya tersenyum, kemudian bergegas pulang.

Mansur mengetuk pintu, mengucap salam yang dibalas istrinya dengan raut elegi, merintih yang tak terucapkan. Tergambar dalam cekungan pipinya. Daster yang tipis, sobek di dua ketiak, bahkan jauh dari kata pantas untuk sekedar dijadikan kain lap meja kotor. Tapi, sambatan dari sayatan meminta kepada suami, Sundari sembunyikan dalam sepuluh ribu kesabaran, bahkan lebih. Mansur sukses mendapatkan istri yang begitu nrima ing pandum, selalu diam, tak pernah mengeluh. Justru ini semakin membuat Mansur membenci dirinya, membenci kehidupannya, seakan ingin mengepalkan dan mengajak tawuran dengan Sang malaikat pembagi rejeki.

“Mas, adikku tadi kesini. Ia bilang, ibuku butuh uang untuk kontrol diabetnya. Ibu harus terapi insulin. Pinjami dulu duit ya mas”. Mansur bergeming. Mengangguk tiga kali. Sundari kembali ke kamar, setelah mendengar Maksum putera bak parabel dengan tokoh Parikesit di dalamnya, yang mampu mengubah baratayudha di padang kurusetra, menjadi negeri pandhawa nan sentosa, gemah ripah loh jinawi. Sundari dari dalam bilik menenangkan Maksum yang tiga puluh delapan derajat panas dijidatnya yang tak jua turun.

“Mas, maksum harus dibawa ke bidan. Ini panasnya sudah dua hari tidak turun. Sore atau besok ya mas, sekalian bayar BPJS biar dapat keringanan”, Sundari memelas kasih, suaranya tampak parau. Tersayat kekhawatiran mendengar jerit tangis buah hati. Mansur diam, dadanya bergaung sembilu, ia mengangguk empat kali.

“O ya mas, ini tadi ada pegawai bank kesini, katanya mas telat membayar. Dan besok harus bayar cicilan pokok dan bunganya”, Sundari seperti tak tega melanjutkan tuntutan, dengan suaminya sebagai terdakwa prahara kehidupan yang ia sendiri tahu, carut-marut, miskin semiskin-miskinnya, dengan tangan di bawah bentuk dari sebuah kepantasan tak terelakkan. Mansur mengangguk lima kali, bahkan lebih. Tak berkata, hanya mengangguk. Anggukan untuk melegakan bapaknya, istrinya, tapi tidak kepada dirinya sendiri.

Mansur lunglai, ia menutup pintu triplek rumahnya. Berjalan seperti biasa ke TPQ masjid untuk mengajar santri kecilnya. Tetap dalam mengangguk disertai cabikan kehidupan tak mapannya. Mansur mengadu:

“Ya Allah, perkenankan aku sambat. Kewajibanku sebagai hamba telah aku lakukan. Ku ikuti perintahMu, kujauhi laranganMu. Selayaknya derita menjauhiku. Seharusnya aku pantas menyandang kata sukses. Sudikah diriMu mengiyakan? Aku tidak berbuat yang sekiranya membuatMu marah, jadi tolaklah kemiskinanku, tolak segala ketidakberuntunganku. Gantikan nasib burukku. Dunia ini fana, tapi batin ini meronta. Karena Mansur adalah manusia biasa, tak lepas dari keinginan fiddunya hasanah..wa fil akhirati..”. doanya terputus.

Mansur menutup doanya, tetapi tidak dengan mengusap kedua tapak tangan ke wajah. Doa yang ditutup dengan batas kesabaran. Batas pengharapan yang baginya tak pernah nyata berbalas. Batas ketabahan dari garis nasib yang begitu perih, tersayat luka dunia, yang semakin menganga. Lebih perih lagi, seakan luka itu tertetesi air garam, sedikit demi sedikit. Tangan kanan Mansur menelungkupkan jarinya ke dalam. Mengepal erat, kemudian memukul ke dinding tembok masjid yang keras. Pukulannya penuh tekad. Keras hingga kulit luarnya sedikit mengelupas.

Kini, Mansur tak peduli apapun. Ia siap dengan segala konsekuensi. Ia harus akrab dengan kata “sukses”. Mulai sekarang. Nasibnya yang terus di bawah, harus diubah ke atas, menyentuh awang-awang langit nasib. Merobek kertas derita. Mengoyak jala “kesusahan”.

Puncak klimaks tragedi, yang jelas bukan komedi unik ala Iwan Simatupang, disertai anggukan Mansur dua tahun lalu, secara cepat berganti ode; pujaan untuk dirinya sendiri.

“Ayo, kang..cepat carikan sewa tanah untukku. Aku siap menanami apa saja. Tebu, padi, apa saja”, kata Mansur kepada Kang Seno.

“Apa belum cukup to, Nak Mansur. Hampir sepertiga tanah di desa ini telah kau sewa. Telah kau garap. Biarkan mereka menggarap sendiri meski hasil tidak seberapa, setidaknya penduduk bisa menjadi juragan di tanahnya sendiri”, Kang Seno menasihati.

“Ah, mereka itu pemalas, Kang! Aku dulu juga pernah diposisi itu. Tidak sedikitpun aku minta bantuan mereka. Aku kerja keras, Kang. Dan, kini lihat..Aku sukses sekarang. Aku telah memiliki toko sembako, sewa tanah dimana-mana, justru aku membantu mereka, Kang. Biar mereka sukses seperti aku. Sukses, Kang..sukses..” Mansur berbalik. Kini ia akrab dan mencintai dengan kata “sukses”.

Mansur tempo dua tahun sejak mengepalkan tinju dendamnya ke langit berubah. Ia kaya. Tangannya tak lagi di bawah. Tapi, di atas dengan tapak tangan berposisi ke bawah.

Santri kecil di TPQ malas Mansur memberi ngaji. Kini, ia menjadi juragan toko sembako terbesar di desanya. Tuan tanah. Rumah megah, mentereng, dengan pagar menjulang. Seolah memisahkan dan menjadi metafor kesuksesan. Gubuk kemiskinan, ratapan rintihan tak lagi berdenging di gendang telinga. Bahwa, Mansur kini seorang yang sukses, memunyai banyak harta, melimpah kebendaan duniawi, dan jauh dari kata sambatan yang dulu ia sering ucapkan pada dirinya sendiri ataupun Tuhan.

Mansur tidak pernah sambat atau mengeluh lagi kepada Sang Ghani. Ia jauh, bahkan terlampau jauh, untuk sekedar mengingat, apalagi menyebut dan menyembah bersujud, sudah samar. Mansur berada di puncak kata “kesuksesan”.

“Jadi begini saja, Pak Darno. Saya sepakat kemitraan dengan Bapak dalam usaha ternak ayam petelor dan pedaging. Segera nanti sampeyan urus semua. Saya tinggal teken dan transfer uangnya”, Mansur bermufakat dengan rekan bisnisnya.

“Baiklah kalau begitu Pak Mansur. Segera saya urus pembuatan kandang dan bibit ayamnya. Untuk masalah limbah nanti bagaimana Pak? Ya, takut kalau ada warga yang protes karena menyengatnya bau kotoran ayam, kerumunan lalat, juga limbah lainnya?”

“Santai saja, Pak. Biar nanti saya tepuk muka mereka dengan uang, biar mereka diam. Wong miskin saja, kalau dikasih duit juga akan diam. Hahaa”. Mansur dan Pak Darno terkekeh membayangkan pundi laba yang segera bertambah.

Tersilap, Mansur melihat dua makhluk gundul, hanya menggunakan cawat menatapnya. Berkulit putih pucat, dengan bola mata yang bulat. Buah hati Sundari? bukan!.

Mansur melihat dan memahaminya. Tapi, Pak Darno tidak menyadari keberadaan dua makhluk tak kasat mata tadi, melihatpun tidak. Hanya Mansur yang bisa melihat, karena dua makhluk tadi adalah rumatannya.

Mansur meminta izin kepada tamunya, “Sebentar saya tinggal dulu, ya Pak. Saya mau ternak dulu”

Pak Darno bingung, “Memang ada ternak yang lebih menghasilkan dari ternak ayam ini, Pak?”

“Lo..ada. Ternak tuyul..”, jawab Mansur tergelak persis derai tawa saat lulusan waktu silam. Dan Pak Darno menganggapnya sebagai tiupan angin lalu.

***

CATATAN:

Setelah saya baca ulang, ini beberapa catatan saya:

  1. Karya sastra yang paling genuine itu yang disajikan secara realis. Dalam hal cerpen, ia menceritakan tentang kehidupan tokoh(-tokoh)-nya melalui dialog antartokoh atau penggambaran riil apa yang dilakukan oleh tokoh(-tokoh)nya. Dalam hal Mansur, misalnya, dari mana pengarang/pembaca tahu perasaan dan pikiran Mansur kalau tidak dari dialog atau penggambaran riil apa yang dilakukannya. Contoh (1): Mansur benci kata sukses; dari mana kita tahu hal itu. Tak ada dialog soal itu baik dari Mansur atau tokoh lain. Ia miskin, benar adanya. Tapi miskin tak identik “benci sukses”. Jadi kita perlu lebih fokus dan intens menyajikan dialog dan penggambaran riil apa yang dilakukan oleh tokoh(-tokoh)nya. Contoh terbaik untuk ini salah satunya cerpen-cerpen Ernest Hemingway.
  2. Karya sastra harus “subversive”. Artinya menyajikan sudut pandang di luar common sense, di luar logika umum, tak terduga. Contoh adegan dalam sebuah cerita Gabriel Marquez: dalam suatu penguburan seorang tokoh, si istri justru tampak sumringah, banyak senyum. Tidak menampakkan wajah duka. Tidak meneteskan air mata. Temannya bertanya, “Kenapa kau tampak bahagia justru ketika sedang mengubur suamimu?” Si istri menjawab, “Sejak detik inilah aku tahu di mana keberadaan suamiku ketika sedang tidak berada di rumah…”.

Subversifnya: ia bahagia saat seharusnya sedang duka (sudut pandang berbeda) dan sebaliknya.

Realisnya: isi perasaan diungkapkan melalui dialog dan penggambaran bahasa tubuh (bahagia: senyum, tidak menangis) karena pengarang sebagai orang ketiga sama dengan posisi pembaca.

    1. Dalam hal cerpen ini, karakter tokoh utamanya di klimak plot justru tidak ada. Dari miskin tiba-tiba kaya —yang belakangan baru diketahui punya tuyul. Hal yang terpenting seharusnya adalah penggambaran bagaimana Mansur menyikapi kemiskinannya, bagaimana pergulatan batinnya ketika terjadi “migrasi” dari seorang santri menjadi peternak tuyul. Sudut “subversive” mana yang akan kita peroleh dari “migrasi” Mansur ini?
    2. Dalam hal cerpen ini, ada fragmen-fragmen yang tidak logis. Misalnya, sudah pasti kemiskinan Mansur diketahui oleh orang-orang terdekatnya, istri dan bapaknya, misalnya. Logiskah kalau kita pinjam uang kepada orang yang kita tahu orang tersebut miskin?
    3. Terakhir, di banyak tulisan Mas Anang sering memasukkan banyak hal lain yang dimaksudkan asosiatif pada peristiwa yang pernah ada, yang sesungguhnya tak perlu karena mengganggu. Di cerpen ini, misalnya, yang dimasukkan kebetulan ini: komedi unik ala Iwan Simatupang. Pembaca akan meninggalkan Mansur dan justru mencari Iwan Simatupang.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan