Pancasila dan Kesadaran Hubbul Wathan Santri Milenial

2,783 kali dibaca

Hari Pancasila di Indonesia diperingati setahun dua kali, yaitu pada 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila dan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Tanpa dilambari kesadaran dan wawasan kebangsaan, dua kali peringatan tersebut hanya akan diperlakukan sebagai “hari libur”, kurang sarat makna, dan sekadar formalitas simbol kenegaraan. Banyaknya masyarakat yang masih awam tentang perbedaan hari kelahiran dan hari kesaktian, baik secara historis ataupun interpretasi, membuat visi dan misi peringatan hari-hari bersejarah nasional kurang dimaknai dengan mengambil ibrah dan tindak nyata dalam berperilaku dalam keseharian.

Tanggal 1 Juni sebagai momen kelahiran Pansaila bukan Pancasila yang sudah terkonsep matang, melainkan berupa ide, gagasan, dan semangat Pansasila. Dr Wardiman Werdjoningrat memberi judul pidato Bung Karno dengan “Lahirnya Pancasila” yang diartikan sebagai salah satu Demokratisch Beginsel. Beginsel yang menjadi dasar negara yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno, kemudian menjadi rechtsideologie, falsafah, ideologi, dasar pedoman dalam usaha memperjuangkan dan menyempurnakan kemerdekaan negara.

Advertisements

Kemudian, pada 18 Agustus 1945 dalam sidang BPUPKI ditetapkanlah Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian dirayakan sebagai Hari Konstitusi atau Hari Undang-Undang. Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, mengatakan, Soekarno membicarakan Pancasila di mana-mana, rakyat jelata mendengar sendiri keterangan itu dari Bung Karno sebagai penggali kelima mutiara tersebut. Dan baru pada 1 Juni 1945 Bung Karno berbicara Pancasila di forum resmi BPUPKI, yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa Pancasila bukan hasil dari penggalian Bung Karno. Saat itu memang ada tiga tokoh yang memaparkan tetang dasar negar, yakni M Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Prosesnya dimulai ketika istilah pancasila dikenalkan Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, kemudian disahkan dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945, dan finalisasi Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.

Ganis Harnosni (jubir Departemen Luar Negeri era Soekarno) dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno, menuliskan bahwa pengaruh sikap Aidit yang menyatakan “Pancasila mungkin untuk sementara dapat mencapai tujuannya sebagai faktor penunjang dalam menempa kesatuan dan kekuatan Nasakom. Akan tetapi, begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tak akan ada lagi.” Maka, Presiden menuntut diadakan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1964, yang sebenarnya sudah kesembilan belas diperingati sekak pertama kali diadakan dengan upacara kenegaraan di Istana Merdeka dengan slogan Pancasila Sepanjang Masa, dan diperingati terakhir oleh Soekarno pada 1 Juni 1966. Era Soeharto pada tahun 1967 dan 1968, setelahnya sebagai upaya penghapusan desoekarnoisasi, Rezim Orde Baru melarang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1970 dan digantikan dengan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.

Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 (ditetapkan 17 September 1966), Presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Baru mensahkan perayaan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober bersamaaan dengan larangan peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila (sebelum dipulihkan oleh Presiden Jokowi, melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016). Tujuan Orde Baru adalah menarasikan pemerintah sebagai pahlawan pembela Pancasila dalam peristiwa G30S/PKI dalam memadamkan gerakan komunis di Indonesia, 30 September 1965. Dengan mengubur narasi sejarah 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, Orde Baru bermaksud memudarkan peran sejarah dan identitas politik Bung Karno yang kerakyatan.

Jika menilik sejarah panjang tersebut, maka 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila (istilah Pancasila yang diubah dari Panca Dharma menjadi Pancasila atas usulan seorang ahli bahasa kepada Soekarno), 18 Agustus sebagai hari pengesahan Pancasila, dan 1 Oktober sebagai upaya mempertahankannya. Jadi, tidak usah dan perlu berpolemik ataupun menjadi isu kontroversi lagi, karena bukti sejarah sudah menjawabnya. Seperti ungkapan Pramoedya Ananta Toer, “Hidup sungguh sangat sederhana. yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

Pancasila dan Hubbul Wathan

Rumusan Pancasila merupakan tonggak bersejarah yang menandai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan penemuan penting yang paling mendasar dalam memberikan landasan bermasyarakat dan bernegara. Pancasila sebagai ways of life, pandangan hidup, bagi seluruh masyarakat dan bangsa. Pancasila merupakan langkah strategis, penegasan pada UUD 1945, komitmen menjaga NKRI secara geografis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pancasila merupakan penegasan semangat Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar kehidupan berbangsa, alat pemersatu, sumber tertinggi hukum dan tata nilai bangsa Indonesia.

Pengaburan sejarah dan harapan tidak akan terjadi penggeseran terhadap sejarah, dengan status Pancasila sebagai dasarnya, kristalisasi dari nilai-nilai akidah, syariah, dan akhlak Islam yang dalam sejarahnya dibenarkan oleh para ulama, yaitu KH Wahab Hasbullah dan KH Saifudin Zuhri. Penegasan kembali lahirnya Pancasila juga ranah Kesaktian yang pernah dipertahankan, tidak perlu menjadi polemik dan perdebatan yang berkepanjangan. Yang terpenting adalah menempatkan posisi Pancasila pada kedudukan semula (sebagai dasar, ideologi, dan falsafah). Konsep berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial harus dikembalikan dalam tatanan solidaritas sosial untuk menghindarkan terjadinya konflik dan kepentingan yang tidak memihak khalayak. Hubbul wathan minal iiman..

Bagaimana kalangan santri dinamika sejarah seperti ini? Sejak mula, kalangan santri telah menerima NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Melalui anjuran dan gerakan hubbul wathan minal iiman, cinta tanah air sebagai bagian dari iman, KH Hasyim Asya’ari memelopori gerakan santri untuk berjuang dan mempertahankan keutuhan bangsa. Bahkan sejak lebih dini, pada muktamar NU tahun 1936, KH Hasyim Asya’ari memberikan pernyataan begini: “Karena Islam itu untuk diamalkan, bukan untuk dikonstitusikan. Islam untuk diimplementasikan bukan dipolitisasi.”

Atas dasar itulah, para ulama menempatkan Pancasila sebagai ideologi dan menggunakan spirit Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air, tumbuh sebagai aktualisasi Islam untuk melakukan perlawanan terhada penjajah, bukan sebagai ideologi politik pergerakan. Dan itu tetap bertahan hingga kini, setelah berganti-ganti era, berganti-ganti generasi. Seperti pada era industri 4.0 saat ini, nilai-nilai Pancasila harus tetap diamalkan sebagai ways of life, namun perlu rekonstruksi dan reaktualisasi sesuai dengan zamannya.

Misalnya, karena tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, perilaku radikalisme dan anarkisme mengatasnamakan “Islam” dengan doktrin membentuk negara khilafah, harus ditangkal dan dikikis habis. Nilai-nilai kebangsaan seperti terkandung dalam Pancasila juga pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Negara Madinah. Melalui Piagam Madinah, Nabi Muhammad membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa. Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam, daulah Islamiyah, dan kekhalifahan Islam. Nabi tidak pernah menetapkan aturan baku soal bentuk negara, namun menginspirasi melalui bentuk pemerintahan di Madinah. Walau demikian, Islam tetap menjiwai praktik kekhalifahan sesuai ajaran Islam.

Karena, pengalaman Pancasila sebagai way of life secara massif menjadi tugas bersama seluruh komponen bangsa untuk membentengi diri dari ancaman terorisme, separatisme, radikalisme, serta ancaman disintegrasi lainnya yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan NKRI.

Lalu, sebagai generasi santri milenial, dan warga yang tengah menghadapi masa-masa “new normal”, berketuhanan dengan menjalankan masing-masing agama dan syariatnya, menghafalkan Pancasila dengan lima butirnya, kembali menonton film-film dokumentasi ataupun bernilai historis, meramaikan media sosial dengan menyebarkan semangat positif penuh nasionalis dan patriotis dengan kemasan yang unik dan kreatif, menumbuhkan rasa kemanusiaan, semangat tolong-menolong, persatuan-kesatuan yang harus tetap diutamakan, menumbuhkan rasa keadilan sosial, sejak dini harus ditanamkan dan dilestarikan dalam ruang lingkup yang terkecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Mengakui, mencintai, dan mengimplementasikan Pancasila juga merupakan bagian dari mencintai tanah air dan sebagian dari iman.

Selamat hari lahir Pancasila! Salam NKRI!

Dan coba kau dengarkan, Pancasila bukanlah rumus kode buntut, yang hanya berisikan harapan, yang hanya berisikan khayalan (Iwan Fals, Bangunlah Putra Putri Pertiwi).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan