Pancasila dan Berbagai Tarikan Kepentingan

2,521 kali dibaca

Pancasila sudah dinyatakan final sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pancasila memuat nilai-nilai yang disepakati sekaligus dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Reduksi pemaknaan terhadap pengamalan Pancasila haruslah selalu berkembang dan tumbuh di benak setiap warga negara Indonesia. Implementasi ini akan mengantarkan negara ini menjadi bangsa yang berdiri di atas satu pijakan yang kokoh sekaligus dinamis.

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Jumat (19/6), dengan tajuk “Pancasila di Antara Tarikan Berbagai Kepentingan”, Pancasila dibedah oleh para pakar ternama pada bidangnya masing-masing. Latar belakang diskusi daring ini adalah adanya kekhawatiran terhadap maraknya ancaman-ancaman yang mengatasnamakan revolusi ideologi oleh beberapa kelompok, dan munculnya polemik mengenai RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) oleh DPR.

Advertisements

Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Chirzin, menyampaikan bahwa Pancasila adalah buah penggalian nilai-nilai kehidupan penduduk pribumi Nusantara selama berabad-abad lamanya. Perjuangan yang diawali sejak masa perlawanan terhadap kolonialisme menghasilkan produk berupa nilai-nilai ideologis bangsa, yang pada selanjutnya disepakati dengan istilah Pancasila.

Karena itu, menurut Chirzin, masyarakat masa kini harus pintar-pintar mencari metodologi yang tepat untuk menghidupkan ruh dari Pancasila. Selain itu, pembuahan nilai-nilai Pancasila, sebelumnya harus dipupuk dengan dasar asas Ketuhanan Yang Maha Esa, khususnya pada konteks keislaman. Sebab, dalam kenyataannya, agama dinilai dapat menjadi sarana untuk dijadikan payung yang tangguh dalam melaksanakan segala praktik pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Phil Sahiron Syamsudin, mencoba mengurai aspek makna dan historisitas mengenai relasi Islam dan Pancasila. Beliau menyampaikan bahwa Pancasila kerap menghadapi keadaan-keadaan yang mengkhawatirkan. Keadaan yang dimaksud muncul dari kelompok-kelompok kecil yang berniat untuk melengserkan Pancasila dari tatanan struktural ideologi bangsa.

Kelompok yang disinggung oleh Sahiron di atas mempunyai pandangan bahwa hal yang mengandung kebenaran hanya berasal dari al-Quran dan Hadits. Memang ini sangat dibenarkan apabila dimasukkan ke dalam konteks Islam. Namun, ia menyayangkan pandangan tersebut yang terkesan terlalu sempit. Kelompok tersebut dinilai belum melihat Islam secara utuh dan fundamental, yang memberikan ruang bagi nilai-nilai yang ma’ruf. Ma’ruf yang dimaksud di sini adalah relasi antarmanusia.

Salah seorang mufassir yang sekaligus tokoh Mu’tazilah yang bernama al Zamakhsyari dalam kitabnya al Kasysyaf (2:545), menyatakan bahwa makna kata ‘urf atau ma’ruf adalah sebuah perilaku yang dikenal dan baik/ indah. Pernyataan senada dilayangkan oleh mufassir Sunni, Abu Hayyan, dalam al Bahr al Muhit (4:444) bahwa ‘urf atau ma’ruf bermakna suatu perbuatan dan perkataan yang dikenal dan baik/indah.

Argumentasi ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dipandang baik menurut sudut pandang wahyu maupun akal adalah hal yang ma’ruf.  Pancasila dalam hal ini menduduki posisi yang prestisius, di mana di dalamnya terkandung nilai-nilai kebaikan untuk kemaslahatan dan kepentingan rakyat secara kolektif, khususnya dalam agama Islam. Sehingga, Pancasila seharusnya tidak menimbulkan konflik yang besar, karena terbukti konsep ma’ruf tertanam di dalamnya.

Penanaman Pancasila Kekinian

Tampak berbeda dengan yang lain, Dr M Alfatih Suryadilaga, Ketua Asosiasi Ilmu Hadits Indonesia (ASILHA), menawarkan sebuah gagasan bagi semua elemen untuk turut mengamalkan Pancasila. Namun yang menjadi pertanyaan, “bagaimana caranya?”

Beliau menuturkan bahwa Pancasila harus disajikan melalui metode-metode yang kekinian. Penggunaan sarana teknologi informasi menjadi salah satu media yang ampuh untuk menyebarkan pemahaman mengenai Pancasila. Hal ini sangat beralasan, karena subjek yang dihadapi kebanyakan adalah kaum millenial. Dengan langkah metode yang tepat, Pancasila diharapkan bisa menjadi sebuah praktik yang riil, yang mana tidak hanya menjadi sebuah pajangan dalam bingkai foto belaka.

Menyikapi hal ini, Dr Mutiullah, Dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, turut memberikan penegasannya. Beliau menilai bahwa bukan waktunya lagi untuk orang-orang berteriak “Saya Pancasila”; “Hidup NKRI”. Karena, yang dibutuhkan bangsa ini adalah bentuk pengabdian serta pengamalan dari setiap warga negara untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan kehidupan dalam bernegara.

Menurut penulis, Pancasila merupakan sebuah perwujudan cita-cita bangsa secara luas. Pancasila menjadi jembatan sekaligus wadah bagi pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia untuk bersatu-padu dalam merealisasikan tujuan luhur para founding fathers. Dalam konteks keislaman, sebagai umat muslim hendaknya tetap memegang teguh nilai-nilai keislaman yang telah digariskan dalam al-Quran maupun yang telah direalisasikan Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban yang mengutamakan kemaslahatan dan nilai kebaikan.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan