Olok-olok

1,229 kali dibaca

Kalau sedang iseng, sesekali saya berselancar di dunia maya, menyusup ke platform-platform media sosial (medsos) yang disesaki para remaja atau anak-anak muda, yang sering juga dijuluki sebagai “bocil” atau “alay-alay”.

Namun dari sana, suatu hari di pekan lalu, saya menemukan semacam komedi satir yang menggetarkan meja karena saya harus terpingkal-pingkal dibuatnya. Jika didramatisasi ke dalam sebentuk cerita mini, komedi satir itu kira-kira akan tampil dengan plot seperti ini:

Advertisements

Di sebuah majelis, seorang ustaz sedang menjelaskan perkara rukun-rukun dalam ajaran Islam, yaitu rukun iman dan rukun Islam. Setelah penjelasan sang ustaz berakhir, seorang jemaah “bocil” mengacungkan jari lalu bertanya.

“Pak Ustaz, kenapa hanya di agama Islam yang ada ajaran tentang rukun-rukun seperti itu. Di Hindu, misalnya, tak ada itu rukun iman atau rukun Hindu. Di Budha dan Kristen juga tak ada itu rukun iman atau rukun Budha dan rukun Kristen. Baru di Islam ada rukun iman dan rukun Islam. Apa karena umatnya tak rukun-rukun atau karena umatnya tak bisa rukun dengan yang lain, ya, itu….”

Gerrrr. Sebagian jemaah tertawa mendengar pertanyaan ngaco itu. Pertanyaan yang membuat sang ustaz hanya bisa tersenyum masam.

Jika tanpa konteks atau setting sosial, komedi satir itu tak bermakna apa-apa. Tapi hari-hari ini, selain memaksa saya terpingkal-pingkal, komedi satir itu terasa menampar-nampar wajah kita. Kita sebagai umat Islam. Kita sebagai kaum muslim. Komedi satir itu mewakili apa yang sedang terjadi: jangankan terhadap umat agama lain, dengan sesama muslim saja kita saling berolok-olok.

Pada derajat yang paling rendah, olok-olok adalah sebentuk candaan tanpa motif, tanpa pretensi. Ia adalah guyonan belaka. Tapi pada derajat tertentu, olok-olok adalah ekspresi dari kebencian, dari rasa benci. Kebencian dari seseorang kepada orang lain. Kebencian dari sekelompok orang kepada kelompok orang lain. Kebencian dari satu identitas kepada identitas lain.

Karena itu, olok-olok sebagai ekspresi dari kebencian ini akan melahirkan hal yang sama, bahkan lebih. Tak hanya memancing arus balik kebencian dari yang dibenci, tapi juga menimbulkaan kehinaan, kenistaan, kepada siapa olok-olok itu dialamatkan. Dan bermula dari olok-olok, akhirnya antarorang, antarkelompok, antarkomunitas, bahkan antarbangsa saling membenci dan saling memusuhi. Satu pemantik lagi ada alasan untuk berperang.

Kegaduhan yang muncul dari India hari-hari ini, sebuah misal, adalah contoh terbaik yang paling hangat bagaimana olok-olok itu bekerja. Umat Islam dari berbagai negara sedang mengarahkan kemarahan ke India. Hal itu sebuah kewajaran, sebenarnya, setelah diduga salah satu petinggi partai berkuasa di negara itu, Partai Bharatya Janata Party (BJP), Nupur Sharma melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dalam acara debat di televisi nasional India. Umat Islam tentu merasa terhina karenanya.

Namun, menurut pengakuan Nupur Sharma, apa yang ia ungkapkan sebenarnya merupakan balasan terhadap hal yang sama. Dalam acara debat di televisi tersebut, dari pihak Islam dinilainya telah melecehkan dan merendahkan simbol-simbol Hindu, yaitu Dewa Mahadev. Itulah, konon, yang melatarbelakangi “balas dendam” Nupur Sharma dengan ungkapan-ungkapan yang dinilai menghina Nabi Muhammad.

Apa yang terjadi di India itu, juga yang tersulut olehnya, terjadi juga di banyak tempat, termasuk di Indonesia —betapa kehidupan beragama dan kehidupan antarumat beragama di dunia akhir-akhir ini begitu memprihatinkan. Saling mengolok-olok dan saling menistakan hampir menjadi pemandangan sehari-hari. Akhir-akhir ini, misalnya, di Indonesia banyak pendakwah yang jika berdakwah seringkali mengolok-olok, menyudutkan, bahkan dinilai termasuk ke dalam tindak penistaan terhadap simbol-simbol agama lain atau umat penganut agama lain. Hal seperti itu dilakukan oleh pendakwah dari hampir semua agama. Bahkan, antarkelompok dalam satu agama pun juga terjadi saling olok dan saling menistakan jika apa yang diakui sebagai kebenaran ternyata berbeda-beda.

Fenomena seperti ini kemudian diamplifikasi oleh para pengikut atau followers melalui berbagai platform medsos di jagat maya. Melalui peranti digital inilah, antarumat beragama ini kemudian saling menabur olok-olok, menyemai benih-benih kebencian, hingga akhirnya saling menyakiti dan saling memusuhi. Banyak yang sudah terbui karena ini.

Sungguh saya tak pernah bisa mengerti, bagaimana bisa orang beragama, orang sedang beribadah, sambil mengolok-olok pihak lain, sambil menyakiti sesama makhluk ciptaan Tuhan. Seakan-akan, agama tak pernah mengajarkan apa yang disebut sebagai empati atau tepo seliro. Di sini, warisan Sunan Kudus menjadi teladan yang bernas.

Pada masa hidupnya, Sunan Kudus melarang umat Islam menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Alasannya, sapi dipandang sebagai hewan suci oleh pemeluk Hindu. Saat itu, di Kudus memang masih banyak masyarakat penganut Hindu. Sunan Kudus tak ingin menyakiti hati umat Hindu dengan menyembelih sapi di depan mata mereka. Sebagai gantinya, masyarakat muslim Kudus menyembelih kerbau sebagai hewan kurban. Jejaknya masih ada sampai kini; beribadah tanpa menyakiti pihak yang berbeda keyakinan.

Empat belas abad yang lampau, Nabi Muhammad, manusia yang agung itu, sudah membawa ajaran yang melarang umatnya untuk mengolok-olok bahkan kepada sesembahan umat yang beragama lain. Inilah kutipan terjemahan dari Al-Qur’an, surat Al-An’am ayat 108:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Apa yang ditegaskan dalam Al-Qur’an nyata terbukti hari-hari ini. Begitu kita sebagai muslim mengolok-olok simbol-simbol, sesembahan, atau Tuhan agama lain, maka hal sebaliknya juga terjadi. Para pemeluk agama lain juga mengolok-olok simbol-simbol, sesembahan, atau Tuhan agama Islam. Saling berolok-olok, saling menista, kemudian saling menyakiti. Itulah yang akhirnya terjadi. Seperti tergambar dari plot komedi satir di pembuka tulisan ini.

Maka, sungguh tak bisa dimengerti jika ada pendakwah atau pengikutnya yang menjadikan olok-olok terhadap simbol-simbol agama lain atau umat agama lain sebagai bagian dari ibadah, sebagai bagian dari syiar. Sepertinya mereka lupa Al-Qur’an telah melarangnya.

Multi-Page

One Reply to “Olok-olok”

Tinggalkan Balasan