Nurcholish Madjid dan Pemikiran Islam Progresif

1,398 kali dibaca

“Teologi yang tidak kontekstual bukanlah teologi,” demikian Eka Darmaputera menulis dalam Konteks Berteologi di Indonesia (2004). Baginya, seorang teolog yang cerdas akan selalu dibuat resah dan gelisah oleh tantangan-tantangan sosial yang berkembang di sekitarnya. Itulah yang barangkali dialami Nurcholish Madjid sebagai seorang teolog di satu sisi, kala dirinya gundah menilik kenyataan umat Islam sebagai kelompok mayoritas yang terpinggirkan.

Melalui karya-karya intelektualnya 1970-1980-an, kita bisa menangkap kegundahan pemikir Islam Indonesia modern yang akrab disapa Cak Nur ini. Kala itu, perkembangan ekonomi bukanlah berada dalam dominasi kaum muslim, melainkan didominasi oleh non-Muslim sebagai kelompok minoritas. Posisi yang kurang menguntungkan bagi kelompok Muslim. Karena umat Muslim saat itu telah mengalami apa yang disebut Cak Nur sebagai kehilangan psychologycal striking force dalam perjuangannya. Semacam ketiadaan daya dorong psikologis yang membuatnya terjatuh dalam lembah kejumudan.

Advertisements

Kejumudan tersebut tampak dalam cara umat memandang dan memperlakukan Islam. Dengan kata lain, Islam diposisikan senilai dengan tradisi, yang pada akhirnya membuahkan pemahaman bahwa menjadi Islamis sederajat berarti menjadi bersifat tradisional (Madjid 2008:229). Respons terhadap gejala ini kemudian secara kritis termaktub dalam bukunya, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan.

Dalam bukunya yang fenomenal itu, ia menulis, “Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarkis inilah yang di kalangan kaum Muslim telah membuat tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.”

Tesis Cak Nur menyebut, umat Islam Indonesia akan kehilangan daya kreativitas dan semangat ijtihadnya ketika berkutat pada tradisi dan penjagaan tradisi yang terlalu ketat. Dari sinilah, musykil melahirkan pikiran-pikiran segar yang mampu mengantarkan ke arah pemajuan dalam segala hal di dunia Islam. Untuk keluar dari kungkungan itu, diperlukan semacam liberasi atau pembebasan pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam.

Ide Kemajuan dan Modernisasi

Berkat kegundahannya itu, Cak Nur mengusung gagasan ikhwal kemajuan. Pemikirannya ikhwal kemajuan akan terus berkumandang dan relevan. Senantiasa menemukan momentumnya sebagai wacana pemikiran reflektif. Idea of progress atau gagasan tentang kemajuannya Cak Nur didasarkan pada refleksi atas keyakinannya bahwa tidak ada kebenaran insani yang bersifat mutlak, termasuk Kalam keagamaan dari para teolog terdahulu.

Karena tidak ada kebenaran insani yang bersifat mutlak itulah, maka tugas seorang muslim, menurut Cak Nur, harus melakukan telaah ulang terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan mengukurnya kembali dengan dua pedoman umat Islam, Al-Quran dan Hadis. Bukan malah menyakralkan dan memapankan ajaran-ajaran yang sudah dibangun para pendahulu itu.

Dirinya meyakini sebuah prinsip untuk berusaha secara terus menerus mencari kebenaran secara tiada berkeputusan. Kebenaran, baginya, bukan sebuah akhir, namun merupakan suatu rentetan pengalaman yang sifatnya nisbi belaka. Kendati demikian, ia tetap bermakna. Karena berjalan dan bergerak mengarah atau menuju Tuhan. Keyakinan semacam inilah yang mengantarkan Cak Nur untuk terus berpikir progresif, tidak mandek. Tidak melulu mengikuti para ulama pendahulu itu.

Sebagai pribadi yang tidak fatalistik, Cak Nur menginginkan sebuah sikap dinamis. Nilai-nilai Islam merupakan nilai yang dinamis, bukan statis. Untuk menata sebuah kekuatan yang dinamis, diperlukan fondasi berupa ide-ide yang dinamis pula. Asumsi semacam inilah yang membuat dirinya terpantik menggagas ide ikhwal pembaruan (pemikiran Islam). Semangat ide pembaruan mengharuskan umat Islam bersikap dinamis dan progresif. Semacam entitas yang menjadi fundamen penting dalam ikhtiar keluar dari tradisi yang mengkerangkeng itu.

Ide pembaruannya menghendaki adanya keharusan meninggalkan garis-garis pemikiran tradisional, terbuka pada sikap yang berorientasi ke masa depan. Cak Nur meyakini bahwa langkah pembaruannya ini pada dasarnya baik dan suci, karena merupakan tanda cinta terhadap kemajuan. Suatu kemajuan dapat dicapai jika seorang muslim memiliki sikap keterbukaan. Kemajuan dalam dunia Islam hanya sebatas impian semu, jika tidak ada usaha terbuka menerima segala ide-ide yang terlahir dari peradaban umat manusia.

Dari sinilah kemudian umat Islam perlu mengalami proses modernisasi. Cak Nur mengartikan modernisasi identik dengan rasionalisasi. Serupa rasionalisasi yang berangkat dari sesuatu yang tidak rasional ke rasional, modernisasi merupakan konstruk paradigma yang selalu ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum alam. Dengan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran secara kontekstual, tibalah dirinya pada suatu konklusi interpretatif: bahwa Al-Quran sendiri dalam beberapa ayatnya memuat ajaran untuk selalu mengamati dan berpikir.

Ayat-ayat Al-Quran yang diinterpretasi berkelindan dengan dua ajaran itu dijadikan landasan bagi terciptanya modernisasi. Menjadi modern dalam tilikan Cak Nur harus tetap memangku sikap progresif dan dinamis. Dua sikap ini merujuk proses berpikir secara visioner. Berpikir secara visioner dan terbuka merupakan lorong tempuh bagi terciptanya suatu kemajuan. Tradisi berpikir visioner tanpa tedeng aling-aling ini telah mengantarkan umat Islam di masa lalu membangun suatu peradaban unggul.

Namun, di satu sisi Cak Nur juga menyadari bahwa akal manusia itu terbatas. Tidak mungkin manusia mengerti seluruh hukum alam dalam sekali berpikir. Butuh proses dari waktu ke waktu, sehingga ketika menjadi modern pun, baginya, tetap harus progresif dan dinamis. Ia menganggap bahwa yang modern mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan yang Maha Esa.

Modernitas sendiri masih merupakan proses penemuan kebenaran relatif menuju ke penemuan Kebenaran yang Mutlak. Dengan asumsi seperti ini, seorang Muslim tidak serta merta mesti bersedia mempertahankan kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga menentang segala perubahan nilai-nilai (2008: 184).

Dengan begitulah pribadi Muslim akan terus menjadi pembelajar yang aktif. Senantiasa mau belajar. Tidak menutup diri dari ragam perkembangan ilmu pengetahuan sekuler, dan mengintegrasikannya dengan ilmu pengetahuan agama merupakan ikhtiar adiluhung seorang pembelajar demi menata jalan kemajuan di masa mendatang.

Inilah konstruksi pemikiran transformatif Cak Nur yang berusaha mendedah pikiran kita akan pentingnya menemukan kebenaran hingga mengantarkan kita ke Kebenaran yang Mutlak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan