NU Versus Wahabi

2,675 kali dibaca

Entah kenapa, Nahdlatul Ulama (NU) tiba-tiba keluar dari pakem. Organisasi massa berbasis Islam terbesar di dunia ini tiba-tiba meminta pemerintah melarang penyebaran paham Wahabi di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga diminta melarang gelaran event HijrahFest atau HijabFest yang dipandang sebagai bagian dari propaganda Wahabisme.

Adalah Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) yang meminta pemerintah melarang penyebaran Wahabisme itu. Permintaan itu tertuang dalam rekomendasi yang dihasilkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IX LD PBNU pada 25-27 Oktober 2022 di UPT Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.

Advertisements

“Lembaga Dakwah PBNU merekomendasikan kepada pemerintah (dalam hal ini Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Kemendagri, dan Kemenag) untuk membuat dan menetapkan regulasi yang melarang penyebaran ajaran Wahabiyah, baik melalui majelis taklim, forum kajian, media online, maupun media sosial (dalam bentuk tulisan, audio, maupun visual),” demikian bunyi rekomendasi itu seperti dikutip dari laman LD PBNU.

Karuan saja, rekomendasi itu memantik perdebatan dan penentangan dari sejumlah kelompok masyarakat muslim. PBNU akhirnya memberikan klarifikasi, bahwa apa yang disampaikan oleh LD PBNU tersebut baru berupa rekomendasi dan belum menjadi keputusan PBNU.

Selain itu, dijelaskan juga bahwa yang dimaksud Wahabisme dalam rekomentasi tersebut adalah paham salafi takfiri, yang mengkafirkan sesama muslim karena beda pendapat keagamaan sebagaimana yang diyakini oleh penganut aliran garis keras ISIS. “Tidak semua Wahabi Takfiri, hanya sebagian saja,” demikian penjelasan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi.

Seteru Lama

Sesungguhnya, perseteruan atau pertentangan antara NU yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah dengan Wahabisme bukan perkara baru. Namun, dalam kontelasi kekinian, meminta pemerintah secara resmi melarang penyebaran Wahabisme di Indonesia bisa menjadi persoalan tersendiri. Meskipun, sikap NU tersebut sesungguhnya dapat dipahami jika merujuk pada sejarah berdirinya NU hingga dinamika Islam di Indonesia terkini.

Jika kita melihat ke belakang, pertentangan antara NU dengan Wahabi telah seumur Kerajaan Arab Saudi itu sendiri, yang berdiri dengan sokongan kaum Wahabi. Bahkan, NU menjadi organisasi berbasis Islam di dunia yang pertama dan secara resmi melakukan “perlawanan” terhadap gerakan Wahabi. Memang, salah satu tujuan utama dibentuknya NU adalah untuk melawan dan mengadang gerakan Wahabi itu.

Sejarah mencatat, kisah itu bermula dari persekutuan antara ulama garis keras Muhammad bin Abdul Wahab dengan seorang pangeran yang sedang berjuang membangun kekuasaan bernama Muhammad ibn Saud. Sebelum bertemu dengan ibn Saud, Abdul Wahab ditolak penduduk Basrah karena ajarannya bertentangan dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Ia kemudian menetap di Dir’iyah, dan di sanalah Abdul Wahab bertemu dengan ibn Saud.

Kedua orang ini akhirnya bersekutu. Abdul Wahab mendukung ibn Saud untuk membangun kekuasaan asal kerajaannya menganut ajaran Abdul Wahab. Dan, ibn Saud mengangguk tanda setuju. Keluarga Saud dan pasukan Wahab bahu-membahu melakukan penyerangan dan peperangan ke berbagai kota, mulai dari wilayah Najed, Oman, hingga ke Irak dan Suriah. Pada tahun 1802, pasukan Saudi dan laskar Abdul Wahab berhasil merebut Hijaz, daerah yang meliputi Jeddah, Mekkah, Madinah, dan sekitarnya. Berbagai peperangan ini memiliki dua misi sekaligus: menyebarkan ajaran Abdul Wahab —yang kelak disebut Wahabi— dan memperluas jaringan kekuasaan ibn Saud.

Persekutuan ibn Saud-Abdul Wahab yang mengobarkan peperangan ini membuat Kesultanan Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul murka. Kesultanan Turki akhirnya mengirimkan pasukan untuk menumpas gerakan duet ibn Saud-Abdul Wahab. Pada 1818 laskar ibn Saud-Abdul Wahab menyerah, dan Kesultanan Turki berhasil memulihkan keadaan, ibn Saud pun dieksekusi. Namun demikian, laskar Wahabi dan klan ibn Saud masih tetap membangun persekutuan untuk kembali merebut kekuasaan.

Gelombang pasang persekutuan klan Saud-penganut Wahabi kembali menguat ketika Kesultanan Turki berada di titik nadir. Setelah memperoleh sokongan persenjataan modern dari Inggris, klan Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Saud, bersama laskar Wahabi, pada 1925 berhasil menaklukkan Hijaz yang sebelumnya di bawah kekuasaan Kesultanan Turki. Pada 1932, Hijaz menjadi kerajaan yang berdiri sendiri dengan nama baru, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah atau Kerajaan Arab Saudi. Nama Saudi dinisbatkan pada Al Saud, leluhur Muhammad ibn Saud dan Abdul Aziz Ibnu Saud.

Sikap Ulama Nusantara

Arab Saudi, sebagai kerajaan yang baru, harus membayar “utang dan janji” pada penyokongnya, laskar Wahabi. Maka, ketika keturunan Saud bertakhta di tampuk kekuasaan yang baru itu, ajaran-ajaran keagamaan Abdul Wahab dijalankan secara formal. Maka, di wilayah Arab Saudi yang sebelumnya dikenal sebagai Hijaz itu, paham dan praktik-praktik keagamaan mulai berubah total.

Di Hijaz itu, atau dengan nama baru Arab Saudi, paham Ahlussunnah wal Jamaah berubah menjadi paham Wahabi. Semua penduduk harus menganut ajaran-ajaran keagamaan Abdul Wahab. Orang tak boleh lagi mengikuti imam mazhab atau bermazhab. Semua harus kembali ke Al-Quran dan Hadis secara murni, seperti yang diajarkan Abdul Wahab. Praktik-praktik keagamaan yang mereka anggap syirik dan bidah harus ditumpas. Misalnya, ziarah ke makam-makam pahlawan Islam dilarang atau diharamkan. Termasuk, ziarah ke makam Rasulullah Saw. Karena itu, makam Rasul dan sahabat-sahabat Nabi harus dihancurkan karena dianggap sebagai sumber kemusyrikan.

Hijaz, yang dulunya dikenal sebagai wilayah toleran dan plural, di mana orang-orang Islam dari berbagai paham atau mazhab dapat hidup berdampingan secara damai, berubah menjadi Arab Saudi yang bertangan besi dan intoleran. Saat itulah, banyak ulama dan pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia yang sudah lama bermukim di sana harus eksodus. Mereka berbondong-bondong meninggalkan Arab Saudi.

Perkembangan Islam di Hijaz itu akhirnya memperoleh perhatian dari dunia Muslim, termasuk dari ulama Nusantara, yang banyak di antara mereka pernah bermukim di sana. Untuk menyikapi perkembangan tersebut, pada Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia berkumpul di Surabaya. Dari pertemuan itu lahirlah panita Komite Hijaz. Komite ini diberi mandat untuk mengahadap Raja Arab Saudi Ibnu Saud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia. Karena komite ini sifatnya tak formal, maka pada 31 Januari 1926 dibentuk organisasi resmi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama atau NU.

Ada lima poin penting yang disampaikan Komite Hijaz dan ulama NU kepada Raja Ibnu Saud, dua di antaranya berkaitan dengan kebebasan bermazhab dan pelestarian tempat-tempat bersejarah, utamanya makam Rasul dan para Sahabat. Rupanya Raja Ibnu Saud menerima masukan tersebut, dan akhirnya makam Rasul dan tempat-tempat bersejarah lainnya lestari hingga kini.

Tantangan Kekinian

Jika menilik sejarah tersebut, memang sudah sejak mula NU telah menjadi seteru Wahabi. Dan perseteruan itu terus bersambung hingga kini. Sebab, Wahabisme ternyata tidak hanya berkembang di Arab Saudi, tapi bertransformasi menjadi ideologi transnasional dan terus “diekspor” ke berbagai negara-negara muslim, termasuk Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Bahkan, ketika di Arab Saudi sendiri praktik-praktik Wahabisme sudah mulai melemah dengan adanya “relaksasi syariat”, tren gerakan Wahabi di negara-negara lain justru menguat, termasuk di Indonesia.

Tak hanya NU, bangsa Indonesia yang begitu majemuk sebenarnya juga dihantui dengan geliat gerakan Wahabi ini. Sebab, intrusi Wahabisme, dengan budaya intoleran dan takfiri itu, memang bisa mengancam sendi-sendi keutuhan dan kesatuan bangsa. Namun, pelarangan legal-formal terhadap penyebaran sebuah paham, paham apa pun, termasuk Wahabisme, dalam kontelasi kekinian justru bisa dianggap sebagai lelucon. Atau bahkan dianggap sebagai pelanggaran terhadap demokrasi dan hak asasi.

Tantangan NU, jika tak ingin bangsa Indonesia terintrusi Wahabisme, memang lebih berat jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di masa lalu. NU sendiri yang justru harus bertransformasi, agar keberadaannya tetap sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sebagai contoh, model-model pendidikan keagamaan, pengkaderan, atau dakwah di kalangan NU banyak yang out of date. Setidaknya, NU harus menyusun ulang strategi dakwahnya agar masyarakat tidak mudah kepincut dengan gemerlap propaganda Wahabisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan