Ngaji Wayang: Jejak Peninggalan Wali Songo

3,641 kali dibaca

Wayang merupakan jejak artefak para wali yang menyebarkan Islam di Jawa hingga kini. Awal kemunculanya, wayang digunakan sebagai alat pemanggil arwah. Baru kemudian, pada masa Wali Songo dimodifikasi; dari kegunaannya sebagai media pemanggil arwah, menjadi media edukasi masyarakat sebagai sarana menemukan jati diri (sejatining rogo). Dapat dikatakan, para wali menjadikan wayang sebagai alat untuk mempribumisasikan Islam menjadi agama yang dapat diterima oleh masyarakat secara kultural, agar tidak terkesan keras dan kaku.

Setiap dalam cerita wayang disuguhkan dan sampaikan secara gamblang dan jelas. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang mampu membuat akal dan pikiran orang yang menyaksikannya seakan menjadi pemerannya.

Advertisements

Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, misalnya, disuguhkan dengan tema wewayanganing agesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan). Dikemas dengan bahasa yang lucu dan menghibur, tapi sarat akan makna; bahwa bayang-bayang kehidupan ini tidak akan terlepas dari lubuk hati manusia. Karena itu, wayang sangat melekat dengan aspek-aspek kehidupan bersosial dan juga spiritual.

Wayang adalah budaya khas Jawa yang telah direformasi dan ditransisikan oleh para wali. Awal kemunculannya, wayang hanya berupa kertas yang digambar (dua dimensi), kemudian divisualisasikan oleh dalang. Baru kemudian, Sunan Kalijaga menjadikannya seolah-olah hidup.

Setiap dari cerita lakon wayang memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tinggi. Seperti: “Durno Kajarwo” yang mengingatkan, bahwa setiap hawa nafsu akan menjerumuskan orientasi manusia ke dalam kehancuran. Juga lakon “Pandawa Mukso,” yang menceritakan perjalanan akhir spritual para pandawa. Artinya, lakon tersebut menuntun kita untuk senantiasa melakukan mukso (menahan diri) dari hal-hal buruk, agar memperoleh akhir yang baik (khusnul khatimah).

Di dalam pagelaran wayang, atau yang disebut pakeliran, pesan-pesan disampaikan secara jelas dan detail dalam aluring crios (alur cerita yang disampaikan). Maka, setiap dalang harus mempunyai keahlian dalam menyampaikan setiap lakon ceritanya. Misalnya, memasukkan piwulang Mbah Sunan Kalijogo di sela-sela dialog antartokoh, dan lain sebagainya.

Dari wayang, kita dapat belajar, bahwa setiap manusia tak ubahnya wayang; dia harus menuruti apa kehendak sang dalang. Manusia pun sama, harus rida dengan ketetapan Allah. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Futuhah al-Malikiyyahnya Ibnu Arabi: “Barang siapa yang ingin tahu kesejatian diri, maka hendaklah ia memandang bahwa setiap tindak-tanduknya adalah bentuk iradah (ketetapan) Allah.”

Dulu, antara keraton dan pesantren adalah dua hal yang saling berkontribusi dalam membangun peradaban bangsa yang luhur dan bermoral. Banyak dari beberapa anak pangeran dan sultan yang dititipkan kepada para guru di surau-surau, supaya menjadi penguasa yang luhur dan berpengetahuan Islam yang luas (dalam istilah kasta dulu disebut: brahmana).

Namun, semenjak kolonial masuk ke Nusantara, mereka membuat strategi untuk memisahkan budaya dan keislaman, devide et impera, sehingga terjadi dualisme di kalangan santri: menganalogikan budaya dan Islam adalah dua hal yang bertentangan (santri vs abangan). Sejak itu, makna wayang sesungguhnya mulai hilang jejak dari peradaban Nusantara. Pagelaran wayang hanya dianggap sebagai ajang permainan belaka yang tidak ada unsur ajaran agamanya.

Selain masa kolonial, faktor melandainya budaya wayang di Nusantara adalah maraknya ideologi transnasional pasca-kemerdekaan Indonesia. Belakangan, banyak organisasi sosial kemasyarakat (ormas) yang menjunjung tinggi nilai-nilai individual mereka, dan mencaci habis ormas lain yang tidak sejalan. Mereka mendakwa bahwa pagelaran wayang, tahlilan, kenduren, tingkeban, adalah bidah yang sesat.

Hingga, banyak dari orang awam yang terobsesi oleh oleh dalil-dalil mereka, tanpa mengkaji lebih dalam. Banyak dari orang awam meninggalkan budaya-budaya yang telah dibangun dan diugemi oleh para wali dan leluhur, kemudian menggantinya dengan budaya-budaya yang menurut mereka benar. Mereka menjadikan Islam dikenal oleh masyarakat awam sebagai agama yang keras dan radikal.

Semenjak itu, banyak dari generasi milenial yang sudah tak mempunyai simpati dan empati dalam mendalami makna wayang. Mereka seolah telah lupa dengan budayanya. Jowo ra ngerti Jowone. Mereka telah dikuasai oleh budaya-budaya Barat yang merusak akal dan moralitas bangsa. Maka dari itu, marilah kembali mempribumisasikan ajaran-ajaran wayang. Selain budaya, wayang juga termasuk media seseorang untuk mencapai maqom sejatinya manusia (Insanul kamil). Setiap dalam cerita wayang disuguhkan dan sampaikan secara gamblang dan jelas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan