Negeri Ber-Tuhan yang Membeci Kejujuran

36 views

Di sudut kota, di balik tembok kantor yang megah, seorang lelaki duduk termangu. Di mejanya terbuka mushaf Al-Qur’an, tepat pada Surat Al-Baqarah: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…”

Namun di hadapannya, tergeletak dokumen yang harus ia tanda tangani —sebuah laporan fiktif yang akan menguntungkan perusahaan, tetapi merugikan ribuan orang. Ia menunduk, menggenggam tasbih. Astaghfirullah, bisiknya pelan.

Advertisements

Atasannya sudah memperingatkan: “Kalau tidak mau, ada seribu orang lain yang siap menggantikanmu.” Di ruang ber-AC itu, ia menjadi saksi bisu: agama mengajarkan prinsip, sementara struktur kekuasaan menuntut kompromi.

Inilah paradoks yang menyakitkan: di negeri yang mengaku ber-Tuhan, kejujuran sering menjadi barang terlarang. Agama mengajarkan kita untuk amar ma’ruf nahi munkar, tapi mereka yang berani meneriakkan “ini haram!” justru dicap ekstrem, dipecat, atau dipenjara. Seakan menjaga kebenaran seperti memegang bara api

Sistem yang seharusnya menjamin keadilan justru merangkul korupsi seperti kekasih lama. “Kami akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya begitu,” ujarnya ketika orasi pencalonan. namun RUU perampasan aset tak kunjung ditandatangani. Di jalanan, spanduk bertuliskan “Anti Suap” bergantung megah, sementara di dalam kantor yang sama, amplop cokelat berpindah tangan berseliweran.

Di masjid, khotbah Jumat berkisah tentang kejujuran Nabi Muhammad SAW, tapi setelah salam, jemaah saling berbisik, dan uang rokok menjadi bahasa universal untuk memuluskan proyek.

Al-Qur’an menyebut tentang Ashabul Ukhdud —kaum yang membakar orang-orang beriman dalam parit api karena menolak menyembah berhala. Kini, berhala-berhala itu punya nama baru: kuasa, uang, dan karier.

Tak perlu api, cukup ancaman PHK, stigma, dan isolasi sosial. Seorang guru honorer dipecat karena menolak memanipulasi nilai. Seorang jaksa dipecat karena menyidik koruptor besar. mahasiswa diberi nilai E karena menolak perintah dosen untuk membeli bukunya yang tak relevan dengan mata kuliah. Suara-suara kebenaran menghilang bagai debu diterbangkan angin.

Kejahatan tak lagi butuh pedang. Ia cukup bersandar pada struktur yang membisikkan: “Ikuti arus, atau tenggelam.”

Islam mengajarkan bahwa sabar itu meninggikan derajat. Tapi di mana batasnya, saat kezaliman menjadi sistemik? Saat seorang ibu harus memilih antara membeli susu anak atau menyuap petugas agar KTP-nya cepat selesai? Saat mahasiswa harus memalsukan data penelitian karena dosennya minta “jatah”?

Kita hidup dalam lingkaran setan: Korupsi kecil di bawah dibiarkan, karena yang di atas lebih besar. Dan ketika ada yang mencoba melawan, mereka dihancurkan dengan sempurna—bukan karena salah, tapi karena mengganggu kenyamanan penguasa.

Lihatlah Imam Ahmad bin Hanbal, yang dicambuk hingga pingsan karena menolak mengakui paham sesat. Atau Sumayyah binti Khayyat, syahidah pertama dalam Islam, yang dibunuh hanya karena tak mau mencaci Rasulullah. Mereka kalah secara duniawi, tapi sejarah mencatat nama mereka sebagai pemenang abadi.

Kini, kita lebih takut pada atasan daripada murka Allah. Kita rela menggadaikan prinsip demi bonus akhir tahun. Kita menjadi generasi yang pandai berdalil “ikhlas” saat dizalimi, tapi bisu saat melihat kezaliman merajalela.

Padahal Rasulullah SAW bersabda: “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tak mampu, dengan lisan. Jika tak mampu, dengan hati—dan itu selemah-lemah iman.”

Tapi hari ini, tangan kita diborgol oleh aturan yang korup. Lisan kita dibungkam oleh algoritma media sosial. Dan hati kita? Kerap dibisukan oleh rasa takut yang dilestarikan sistem.

Namun mungkin di sanalah letak ujian sejati: bahwa keimanan bukan retorika, melainkan pilihan berdarah-darah.

Seperti Nabi Yusuf AS yang memilih penjara daripada tunduk pada rayuan zina. Seperti Bilal bin Rabah yang tetap berkata “Ahadun Ahad” meski punggungnya dibakar batu. Mereka tidak kalah. Mereka membuktikan: ada kemenangan yang tak tercatat di grafik karier atau laporan keuangan. Kemenangan yang tertulis di Lauh Mahfuzh.

“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)

Maka, jika hari ini kau merasa diancam, dihina, atau dipecat karena memilih kebenaran, ingatlah: Sejarah Islam ditulis bukan oleh para penjilat, tapi oleh mereka yang berani berkata “tidak” pada sistem yang menindas nilai-nilai Ilahi.

Langit mungkin tak menjawab dengan hujan emas. Tapi dalam kesunyian itulah janji Allah berbicara: Kebatilan akan runtuh, sekuat apa pun ia berdiri. Seperti Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah. Seperti Qarun yang ditelan bumi bersama hartanya. Mereka hancur bukan karena pedang Nabi, tapi karena sistem kezaliman mereka sendiri yang lapuk dari dalam.

Biarkan mereka menertawakan air mata kita. Biarkan mereka mengira kita kalah.

Karena di mata Allah, kekalahan kita hari ini mungkin adalah panggung untuk kemenangan abadi —Ketika kejujuran kita menjadi amal jariyah, sementara istana korupsi mereka menjadi reruntuhan sejarah.

Yang zalim boleh menang hari ini. Tapi besok, saat maut menjemput, mereka akan sadar: Tak ada sistem yang bisa menipu Yang Maha Adil.

Umar bin Khattab berkata: “Kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan selain dengan Islam, kita akan hina.”

Sumber ilustrasi: rmol.id.

Multi-Page

One Reply to “Negeri Ber-Tuhan yang Membeci Kejujuran”

Tinggalkan Balasan