Negarawan

1,584 kali dibaca

Ketika menjadi presiden pertama Amerika Serikat, tak ada aturan yang membatasi hingga berapa kali George Washington boleh dipilih kembali untuk menduduki jabatan yang sama. Namun, ia menolak berkuasa selama ia bisa.

Sebagai pendiri Amerika Serikat, George Washington dilantik menjadi presiden pada 30 April 1789. Di bulan yang sama empat tahun kemudian, saatnya ia turun takhta. Namun, atas desakan rakyat yang memang masih mencintainya, dengan berat hati George Washington mau menjadi presiden untuk periode kedua.

Advertisements

Dan empat tahun kemudian, pada Maret 1797, ia benar-benar turun takhta. Ia tak mau lagi mendengar bujukan, rayuan, godaan, atau bahkan desakan agar menjadi presiden untuk periode ketiga —meskipunn konstitusi tak melarangnya.

“Jika aku melakukannya, maka akan diikuti oleh generasi yang akan datang,” kira-kira begitulah alasan penolakannya. George Washington akhirnya digantikan oleh John Adams. George Washington akhirnya memilih “hidup dalam kesunyian”, menjadi negarawan, Bapak Amerika Serikat. Apa yang dicontohkan George Washington itu akhirnya menjadi konvensi, menjadi tradisi politik yang dianut oleh bangsa Amerika Serikat selamat setengah abad sampai muncul tokoh yang bernama Franklin D Roosevelt.

Apa yang dikhawatirkan George Washington akhirnya terjadi juga ketika Franklin D Roosevelt menyimpang dari konvensi. Pada 1940 ia menjadi presiden untuk periode ketiga dan empat tahun kemudian, ia masih dilantik sebagai presiden untuk periode keempat! Baru pada 1951 dibuat konstitusi yang membatasi seseorang boleh menjadi presiden maksimal hanya dua periode. Bangsa Amerika kembali ke “konvensi Washington”.

Indonesia juga pernah mengalami masa-masa tidak ada pembatasan seperti itu atau apa yang disebut dengan konsep no limitation re-election. Ini terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dapat dipahami bahwa kekacauan politik mendorong Soekarno untuk menjadi presiden seumur hidup —sampai kemudian kekuasaannya diambil alih oleh Soeharto pada 1966. Di masa Soeharto inilah konsep no limitation re-election ini benar-benar dipraktikkan secara sempurna. Setiap lima tahun ia dipilih kembali sebagai presiden —hingga pada 1998 gerakan reformasi menggerus kekuasaannya.

Soeharto bukan George Washington. Ia “mampu” berkuasa seumur hidup seandainya reformasi tak menghentikannya. Dan, sepertinya ia belum pernah mendengar kata-kata George Washington itu: “Jika aku melakukannya, maka akan diikuti oleh generasi yang akan datang.”

Baru setelah era reformasi, Indonesia membuang konsep no limitation re-election, dan menggantinya dengan only one re-election. Jabatan presiden dibatasi maksimal hanya dua periode.

Tapi benar belaka: kekuasaan itu memang memabukkan, dan di situlah derajat kenegarawanan seseorang ditimbang. Selalu ada godaan untuk menambah-nambah masa berkuasa, untuk mencoba mengutak-atik konstitusi selama pasca-reformasi. Jika konstitusi saja tak dihormati, apalagi konvensi.

Tapi benar belaka: kekuasaan itu memang memabukkan, dan itulah yang dipertunjukkan hari-hari ini, di negeri ini. Mabuk kuasa tak hanya dimonopoli oleh orang-orang yang secara resmi-formal masih berkuasa, tapi juga oleh mereka yang di luar lingkar kekuasaan, juga oleh yang mantan.

Beruntung orang Amerika punya George Washington yang bisa dijadikan cermin. Kita hanya punya wiracarita yang ada pada diri Abiyasa. Abiyasa adalah contoh par excellence bagaimana seorang penguasa memasuki masa lengser keprabon, menuruni gunung kekuasaan.

Dalam kisah Mahabarata, darinyalah asal usul Pandawa dan Kurawa. Ia menjadi Raja Negara Astina dan bergelar Prabu Kresnadwipayana. Jika ia mau, seluruh keturunan dan rakyatnya akan mendukungnya untuk menjadi raja seumur hidup, untuk menyerahkan dan memuasatkan seluruh sumber daya kuasa ke pangkuannya. Tapi ia tak menghendakinya. Ia segera menyerahkan kekuasaan kepada generasi penggantinya, dan lebih memilih hidup menyendiri dalam sepi ke pertapaannya. Ia tak pernah ikut campur dalam urusan kenegaraan, dan karena itu ia disebut negarawan.

Meski hanya sebentar, BJ Habibie pernah memberi contoh tentang apa yang disebut negarawan. Setelah tak menjadi presiden, ia benar-benar “menjalani hidup yang sepi” di “pertapaannya”, jauh dari hiruk-pikuk transaksi kekuasaan. Ia tak pernah berkomentar di depan publik tentang kekuasaan yang dijalankan oleh para penggantinya. Jika dirasa perlu, ia akan mendatanginya, berbicara empat mata. Selebihnya ia diam, dan karena itu orang-orang menyebutnya sebagai negarawan.

Kini, kita tak lagi memiliki contoh hidup sosok negarawan itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan