Nasib Perempuan di Bawah Taliban

1,043 kali dibaca

Buku berjudul asli My Forbidden Face yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh perempuan asal Afghanistan ini adalah catatan pribadi perjalanan hidup penulisnya sebagai saksi sekaligus korban dalam perang atau konflik di Afghanistan.

Penulisnya bernama Latifa, sebuah nama samaran yang hingga hari ini identitasnya masih dirahasiakan demi keselamatan nyawanya dan keluarganya. Sebagai catatan pribadi, buku ini berisi tumpahan kegelisahan penulisnya akan masa depannya. Juga kekhawatirannya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana yang orang tuanya dapatkan. Ia juga memuat jeritan lantang kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan di tengah kecamuk perang.

Advertisements

Latifa membuka kisah dalam buku ini dengan peristiwa digantungnya Presiden Najibullah di tengah lapangan Ariana, di utara kota Kabul, oleh kelompok Taliban pada 1996. Ia yang kala itu berusia enam belas tahun ikut menyaksikan dengan matanya sendiri akan peristiwa mengenaskan tersebut.

Sepanjang jalan menuju tempat lapangan bersama sang ayah dan dua saudaranya, ia melihat kelompok Taliban berparade keliling kota dengan mobil pick up, dan berhenti untuk memukul orang yang berkerumun, terutama orang yang tidak berjenggot seperti “mereka” secara membabi buta. Mereka juga memecut anak anak kecil menggunakan cambuk dari sejenis kabel logam.

Kedatangan Taliban di kota tempat tinggalnya menjadikan kehidupan di sekitarnya berubah drastis dalam hitungan tahun saja. Meski sesungguhnya perang saudara sudah berlangsung lama, sejak pendudukan Uni Soviet tahun 1979, namun seperti yang dikatakan ayahnya, bahwa belum pernah seburuk saat kelompok Taliban berani menggantung Najibullah di tengah-tengah lapangan usai menolak penandatanganan sebuah dokumen di markas PBB.

Sepanjang tahun itu, Kota Kabul seketika menjadi sunyi dan senyap. Latifa menuliskan bagaimana sesungguhnya Taliban mengubah segala hal dalam kehidupan pribadinya, anggota keluarga, pertemanan juga kondisi lingkungan sosialnya. Kakak laki-lakinya yang dahulu adalah anggota tentara Uni Soviet kini terpaksa harus tunduk kepada “mereka”. Ia pun harus mengubah penampilan dan cara berpakaian sesuai syariat versi Taliban, tentunya. Menumbuhkan janggut sesuai dengan ketentuan Taliban untuk laki-laki dan mengenakan burka bagi perempuan.

Ketika Taliban berhasil menguasai Afghanistan, mereka menarik seluruh duta besar yang ditempatkan di luar negeri, lalu menetapkan negaranya untuk menjalankan peraturan berdasarkan hukum syariat, di mana peraturan tersebut sangat banyak menyasar perempuan sebagai objeknnya. Ketika seseorang melanggar peraturan tersebut, ia harus dihukum secara terbuka di tengah lapangan umum. Bagi Latifa, ini adalah sebuah penolakan penuh terhadap kebebasan individual —suatu rasisme seksual yang luar biasa.

Latifa memang perempuan yang cukup kritis menghadapi situasi di sekelilingnya. Ia yang sejak lama bermimpi masuk universitas dan bekerja sebagai jurnalis seperti kakak perempuannya, sekarang terpaksa harus menerima kondisi di luar kendalinya. Sejak duduk di bangku sekolah, ia mulai membuat koran dengan berita yang ditulisnya hasil dari mendengarkan radio yang tidak tentu sepanjang hari mengudara. Akses televisi dan radio cukup sulit didapatkan kala itu.

Ia juga mengisahkan bagaimana kondisi perempuan yang sering kali datang menemui ibunya secara diam-diam untuk mendapatkan perawatan; ya ibunya adalah seorang sarjana kedokteraan yang sudah banyak menyaksikan kecamuk perang selama hidupnya. Kini ia berpraktik secara sembunyi-sembunyi dan tetap menerima pasien yang datang sewaktu-waktu. Ia melihat ibunya menjahit luka perempuan korban kekerasan Taliban yang menganga di dada dan sekujur tubuhnya. Juga perempuan perempuan lain korban pemerkosaan oleh anggota Taliban.

Dampak perang saudara sungguh luar biasa. Bayi lahir dengan wajah aneh menakutkan, hanya satu mata di tengah kening dan satu di tengah puncak kepalanya, sementara mulutnya ada di pipi. Ia tak berkaki pun tak bertangan. Beberapa dokter mengatakan bahwa cacat bayi disebabkan oleh ketakutan perang yang diderita oleh ibunya. Sementara tes laboratorium menunjukkan bahwa keduanya, ibu dan bayi, terdampak bahan kimia dari rudal Scud.

Suatu hari dokter Sima, yang menjalankan operasi diam-diam di Kabul, mengirim pesan kepada ibunya bahwa sebuah majalah bernamsa Elle di Prancis ingin memulai kampanye informasi. Mereka mencari perempuan yang bisa datang ke Paris untuk bicara mengenai situasi di Afghanistan. Meski dengan pertimbangan yang sangat berat karena mengkhawatirkan saudara-saudaranya di Kabul, akhirnya Latifa dengan ditemani ayah dan ibunya terbang ke Prancis menemui jurnalis majalah Elle.

Latifa sesungguhnya takut untuk memulai menceritakan bagaimana kondisi negaranya yang sebenarnya. Tetapi, jurnalis itu terus meyakinkan, ia berujar, kata-kata tak pernah hilang di gurun. Suatu hari mereka akan mengakar dan berbunga. Kau tak akan sia sia. Perempuan mendengarkan perempuan lain. Kesaksianmu akan membuat orang di sini paham apa yang dilakukan Taliban terhadap kita. Jika mereka mengatakan perempuan bukan apa-apa dan mereka segalanya, itu karena ia dungu. Pria lahir dari perempuan. Pria paling mulia punya ibu; seluruh dunia lahir dari perempuan.

Sementara ayahnya bebicara politik, Latifa memilih menyuarakan perempuan, yang tertindas, hidup tanpa suara atau hak-hak, juga korban sasaran pemurnian yang sistematis. Perempuan Afghanistan tak pernah bekerja lagi, belajar, dan dilihat. Ia berharap suaranya bisa didengar oleh banyak pihak sebelum kekhawatirannya terjadi. Menjadi perempuan yang menyerahkan kemerosotan negaranya yang tua dan membanggakan: menjadi ibu yang dipaksa melahikan anak-anak Taliban.

Data Buku

Judul               : Wajah Terlarang
Penulis            : Latifa
Penerbit          : Gading
Cetakan          : I, Juni 2017
Tebal               : xix + 268 hlm

Multi-Page

Tinggalkan Balasan