Nasib Buku Puisi yang Selalu Langka

916 kali dibaca

Sejak bulan lalu secara berturut-turut terdapat hari-hari penting yang menjadi pengingat kita akan pentingnya buku dan pemikiran. Tanggal 21 April, Hari Kartini yang mengingatkan kita akan pentingnya pemikiran, perjuangan, emansipasi perempuan, nasionalisme, dan pendidikan. Di beberapa tempat, seperti sekolah SD misalnya, memperingati Hari Kartini dengan menyanyi lagu “Ibu Kita Kartini” ditambah dengan pakaian adat, untuk perempuan kebaya, dst.

Tanggal 22 April, Hari Bumi di mana kita diingatkan kembali tentang kondisi alam yang semakin hari semakin rusak karena ulah kita manusia yang menambang dan mengeruk tanah untuk mendapatkan hasil dari perut bumi. Pada sebagian tempat mungkin dilaksanakan acara menanam pohon atau tanaman secara massal atau perseorangan.

Advertisements

Pada tanggal 23 April Hari Buku Dunia dan sekarang tanggal 17 Mei Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang tentu saja sebenarnya saling terkait.

Terkait dengan Hari Buku ini, baru-baru ini terjadi sedikit masalah mengenai dunia perbukuan. Masalah tersebut sebenarnya lebih menakutkan bagi industri penerbitan buku yang gila-gilaan menerbitkan buku, tapi juga berimbas kecemasan pada beberapa penulis yang akhirnya tidak bisa berharap rezeki yang lebih besar melalui terbitnya buku untuk disertakan sayembara karena peraturan baru yang membatasi ISBN itu.

Kalau mengingat apa yang sudah berlaku sejak dulu, dalam konteks ini yang akan kita singgung adalah buku puisi. Kita tahu bahwa buku sastra terutama puisi selalu tercetak terbatas dan langka. Penyair Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa buku puisi itu tidak laku seperti buku-buku genre lain, alias yang paling kecil harapannya. Maka tidak heran bagi siapa pun calon penyair yang berniat berburu buku-buku puisi lama karya para penyair sebelumnya menjadi pekerjaan yang amat sangat sulit sekali. Kelangkaan itu disebabkan juga selain tidak lakunya buku puisi karena tidak difasilitasi oleh pemerintah dan tidak didukung di dalam dunia pendidikan kita.

Peraturan baru ISBN yang hanya menerbitkan dengan jumlah besar saja, dan tidak mengizinkan menerbitkan buku dengan terbitan kecil termasuk buku sastra terutama seperti puisi menjadikan hal tersebut menjadi ‘hukuman dobel’ yang semakin mindiskreditkan dunia perpuisian dan perbukuan puisi. Sudah sejak dulu cetak terbatas, banyak tidak laku, bahkan di awal-awal kepenyairan Sapardi Djoko Damono, hanya cetak stensilan, ini malah mau dibabat habis sehingga tanpa ISBN.

Tentu bagi sebagian penyair itu tidak pernah menjadi masalah, tapi bagi sebagian besar lainnya yang suka mengikuti sayembara penghargaan buku puisi baik dari badan bahasa atau dari fihak non-pemerintah lantas menjadi kesulitan karena syarat yang biasanya diwajibkan adalah buku itu terdaftar di dalam ISBN. Dilema semacam ini masih belum terjawab karena Perpusnas sendiri masih menjanjikan akan mensosialisasikannya.

Sungguh terasa nasib buku puisi yang langka dan akan semakin langkah jika akhirnya nanti buku puisi dicetak stensilan lagi dan ruangnya menjadi semakin terpencil dan terbatas. Maka sulit bagi akademisi sastra, misalnya, yang berusaha melakukan menelitian atas perkembangan kepenyairan seseorang tanpa adanya jejak buku yang mudah didapatkan. Atau, menjadi sangat sulit lagi bagi calon penyair yang mau mempelajari berbagai teknik para penyair terdahulu karena kelangkaan buku. Belum lagi ditambah beban oleh keterbatasan dampak aturan ISBN menjadikan posisi buku puisi semakin terperosok dan tak nampak di pasaran toko buku. Jika pun ada di toko buku bekas tentu saja harganya akan mahal, kalau penjualnya memahami informasi tentang perbukuan dan khususnya sastra puisi, kalau tidak pun akan menjadi sulit beredar di toko buku bekas karena terbatas hanya kalangan sendiri.

Masalah perbukuan semakin kompleks kerena tidak adanya kinerja perbukuan yang imbang, terlalu maraknya kegiatan cetak buku-buku yang sejatinya tidak cukup bermakna dalam dunia intelektual tapi hanya semata-mata komersial. Hal ini menjadi salah satu faktor kenapa nasib buku seperti buku puisi yang memang dipersiapkan serius dan dipikirkan matang-matang tidak menerima tempat. Buku-buku puisi dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi dan si penyair tidak mampu mengeluarkan uang untuk mencetaknya.

Dengan kompleksitas semacam ini, semoga ada perhatian lebih dalam dari pemerintah dan Perpusnas, dan bukannya semata mengeluarkan aturan yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Rasanya perlu ada pembicaraan yang berkualitas antara penerbit buku dan Perpusnas menyangkut mana mutu buku yang pantas mendapat ISBN dan mana yang hanya perlu dengan nomor buku yang sifatnya nasional saja. Buku puisi tentu harus memiliki ISBN, terutama buku puisi berkualitas yang kelak akan mendapat peluang penghargaan sastra luar negeri ketika diterjemahkan ke bahasa asing atau memang sudah dwi bahasa. Penyelesaiannya harus proporsional, tidak berat sebelah, apalagi hanya mementingkan pasar saja.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan