Mafhum diketahui bahwa Indonesia dihuni oleh warga negara dengan tingkat religiusitas yang cukup tinggi. Kejamakan agama dan kepercayaan yang ada di Indoensia menjadi bukti nyata akan hal itu. Selain agama impor, agama yang diakui oleh negara, terdapat pula kepercayaan yang tidak atau belum diakui negara yang tak sedikit jumlahnya.
Secara istilah, kepercayaan digunakan secara bergantian dengan agama leluhur, agama lokal, agama nusantara, agama asli, dan lain sebagainya. Praktik yang digunakan pun beragam. Ada yang mengistilahkannya dengan agama, ada pula yang lebih lekat dengan istilah budaya.
Penganut agama leluhur terdiri dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Keduanya saling bertumbukan dalam menerima stigma buruk dari masyarakat. Praktiknya sering dilekatkan dengan hal-hal magis, kuno, tradisional, menolak kemajuan, anti-modern, dan lain sebagainya.
Namun, eksistensi agama leluhur telah ada sejak lama bahkan sebelum agama impor seperti Budha, Hindu, Katolik, Kristen, dan Islam masuk ke wilayah Nusantara.
Catatan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1988) menyebutkan bahwa agama asli telah lama berinteraksi dengan agama impor. Alih-alih sirna dan kalah saing dengan agama impor, agama asli justru berkembang melalui proses asimilasi dengan agama baru yang justru membentuk keagamaan atau kepercayaan yang unik.
Sehingga perlu dipahami jika seseorang memeluk agama impor, maka belum tentu tidak menganut agama asli, begitu pula sebaliknya sebagaimana khalayak ramai membaca fenomena tersebut.
Misalnya, agama impor yang bersentuhan dengan agama asli muncul seperti Islam Aboge, Islam Jawa, Kristen Toraja, Hindhu Kaharingan dan lain sebagainya (Maarif, 2018).
Tak hanya variasi atas interaksi dua agama atau keyakinan. Upaya ini juga dapat dibaca sebagai strategi negoisasi yang dilakukan oleh pemeluk agama asli dengan negara untuk mempertahankan komunitasnya di tengah-tengah kebijakan yang diskriminatif.