Narasi Akhir Zaman dan Relasi Kuasa Interpretan

689 kali dibaca

Ada saja fenomena keagamaan yang masih berkesempatan mengisi ruang sosial keberagamaan kita, bahkan yang satu ini sudah berskala global. Sejauh ini, kita masih belum bisa memastikan, apakah hal itu dipicu oleh permasalahan ekstern yang begitu kompleks sehingga tidak bisa dicerna dengan baik oleh manusia, atau daya intelektual kita yang sudah dalam taraf akut (melampaui) sehingga euforia dan fantasi keagamaan yang tidak menemukan ruang cenderung dipaksakan. Tapi apa pun alasannya, itu bagian dari kosmo zaman dan mozaik perubahan.

Belum usang kita menikmati suasana di mana declaration of human right yang dimanifestasikan dalam resolusi The International Day to Combat Islamophobia oleh Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan lalu, viral lagi narasi akhir zaman dan terminologi Bangsa Rum yang diterminkan kepada Bangsa Rusia (sekutu umat muslim dalam menghadapi akhir zaman) yang merupakan hasil bacaan terhadap suatu teks al-hadis dan fenomena konflik Rusia-Ukraina.

Advertisements

Penulis tidak akan memberikan suatu antitesa/justifikasi pembenaran terhadap narasi dan terminologi yang sedang marak di media sosial (meski banyak lembaga sudah menyatakan kontra narasi dengan dalih yang beragam). Tapi, sisi menarik yang perlu dihadirkan di sini adalah, bagaimana “relasi kuasa” wacana keagamaan yang berhasil diciptakan melalui ruang virtual, atau lebih kita kenal dengan media sosial.

Dalam media yang penuh dengan ketidakpastian, bangunan artifisial sebagai ladang permainan, dan batasan yang menguap, beragam wacana berhasil meruang. Dalam batas penanggulangan, kita seolah pesimistik karena realitasnya setiap individu memiliki hak meruang, baik dalam spekulatif-imajinier maupun dalam akumulasi-akumulasi pengalaman. Ironisnya, ladang yang disediakan adalah ruang ketidakpastian seperti media sosial, semua wacana menuai daya magisnya di sini.

Hans Georg Gademer seperi disebut oleh Merlinda Irwanti, dalam tilikan disiplin komunikasi menyebut hermeneutika sebagai metode interpretasi/penafsiran terhadap teks-teks al-hadis sangat berpengaruh terhadap kesimpulan makna yang dihasilkan dari suatu bacaan. Maraknya narasi akhir zaman belakangan ini di media sosial disebabkan semua orang dengan leluasa melakukan interpretasi secara bebas dengan latar keilmuan masing-masing tanpa basis konsep hermeneutika yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dikatakan, “Ketika kita semua menafsirkan dengan beragam interpretasi itulah akan terjadi kekacauan tentang apa yang disebut al-kubra akhir zaman bahwa Rusia adalah kaum Rum itu begitu melebar di media sosial, (2022).

Kedua, pijakan teks hadis yang dijadikan sandaran narasi akhir zaman dan kemunculan terminan Bangsa Rum sejauh ini masih belum dipastikan status keshahihannya dalam manarik suatu kesimpulan. Dalam kritisi ini, kita akan dapat menyimpulkan di mana letak dominasi antara wacana teks hadits dan loncatan yang dihasilkan, apakah suatu kretivitas pembacaan untuk menggerakkan umat Islam dalam menghentikan konflik Rusia-Ukraina yang belum usang, atau bermuara pada kepentingan untuk menghidupkan isu krusial dalam skala global, seperti khilafah, islamophobia, terorisme, atau ekstremisme.

Wacana berislam kita yang aktif disuarakan dalam beragam diskusi dan forum lainnya yang berkembang belakangan ini menyuarakan kontra narasi terhadap hal tersebut. Terminologi Kaum Rum yang dinisbatkan kepada Bangsa Rusia atau narasi akhir zaman dari konflik Ukraina tidak dibenarkan, selain bersifat interpretatif yang sangat dipengaruhi oleh subjektivitas seseorang, konflik Ukraina juga bersifat geopolitis yang tidak didapati masalah antar-keagamaan di dalamnya (seperti disebut dalam kemunculan akhir zaman dan Bangsa Rum.

Hal yang perlu kita lakukan saat ini dalam merespons isu global tadi aktif dan arif meruang dalam dinamika virtual dengan basis keilmuan yang komprehensif. Aktif dalam artian umat Islam sebagai bagian dari komunikator harus bisa menghadirkan pemahaman yang kaffah di tengah maraknya narasi dan terminologi destruktif yang menyesatkan, serta arif adalah sikap seorang komunikan yang selektif dan bijak dalam menginternalisasi informasi dan isu yang terus berkembang.

Selanjutnya, adalah menghadirkan wajah intelektual keislaman Indonesia sebagai penengah (moderasi) dalam narasi akhir zaman tadi. Islam di Indonesia menjadi wajah peradaban berislam dunia yang hingga saat ini masih relevan dan dinamis dengan perubahan dan modernitas yang semakin kompleks. Pijakan dakwah keislaman yang benar (ontologis) dengan proses yang rahmah (epistimologis) dapat mewujudkan Islam yang kaffah sesuai kebutuhan umatnya (ontologis).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan