Nahun, Tradisi Unik Santri Baru di Pesantren Tremas

6,075 kali dibaca

Tradisi unik penerimaan santri baru di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur terus dipertahankan. Tidak tidur siang malam selama sepekan, atau tiga tahun tak pulang kampung, adalah di antara tradisi unik itu. Tradisi unik itu biasanya dijalankan saat masa penerimaan santri baru, seperti yang terjadi sehabis Lebaran lalu.

Bagi santri baru, berlaku “aturan” tidak tidur siang dan malam selama sepakan pertama mereka mondok. Seperti tirakatan. Terlihat sepele memang, hanya tidak tidur. Tapi kalau “aturan” itu berlaku siang dan malam dan selama sepakan, pasti dirasa berat dan banyak godaan. Nah, agar para santri baru ini sukses menjalani tirakatan tersebut, biasanya santri datang membantu. Salah satunya dengan cara mengajak jalan-jalan para santri baru tersebut keluar dari pesan, keliling desa-desa di sekitar.

Advertisements

“Dicari dalilnya dalam kitab pun juga tidak ada. Namun, bila kita cermati lebih jauh, tradisi ini merupakan suatu tes mental yang amat dalam maknanya, untuk menguji sejauh mana kesungguhan dan ketekunan santri baru dalam menuntut ilmu di Tremas,” jelas salah seorang pengurus Pesantren Tremas, Ustadz Jahrudin, seperti dikutip dari NU Online.

Menurutnya, jika santri baru berhasil menjalani tradisi ini, maka akan merupakan pertanda baik bagi keberlangsungan belajar mereka di Pesantren Tremas. “Biasanya santri baru akan segera betah dan kerasan tinggal di pesantren kalau sudah lulus ujian mental yang pertama ini,” tambahnya.

Ziarah Tanpa Putus

Pesantren Termas Pacitan

Tradisi unik lainnya yang ada di pesantren yang didirikan oleh KH Abdul Manan Dipomenggolo pada tahun 1830 M ini ziarah ke makam masyayikh (sesepuh) pesantren selama 41 hari berturut-turut tanpa putus. Tiap santri baru diwajibkan ziarah ke makam para sesepuh pada pagi dan sore hari selama 41 hari. Tempat ziarah adalah makam Gunung Lembu yang terletak sekitar 350 meter barat daya dari komplek pesantren Tremas. Ada juga makam Semanten yang terletak di sebuah bukit di Desa Semanten di pinggiran Kota Pacitan.

Di makam gunung Lembu bersemayam para sesepuh dan pengasuh Pesantren Tremas, seperti KH Dimyathi, KH Abdurrozaq, KH Habib Dimyathi, KH Haris Dimyathi, KH Hasyim Ihsan, KH Toyyib Hasan Ba’bud, KH Mahrus Hasyim, dan para kiai Tremas yang lain.

Sedangkan, di makam bukit Semanten, Pacitan, dimakamkan para kiai seperti KH Abdul Manan Dipomenggolo (Wafat 1860), pendiri pertama Pesantren Tremas yang merupakan generasi pertama orang Indonesia yang belajar di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Ada juga makam Sayyid Hasan Ba’bud dan sesepuh lainnya.

Bila para santri berhasil mencapai target 41 hari tanpa putus, maka itu merupakan pertanda yang baik bagi mereka. Artinya, mereka benar-benar sabar dalam menghadapi tes mental kedua ini, setelah tidak tidur siang selama satu minggu.

“Lagi-lagi ini merupakan tradisi unik yang sepertinya hanya ditemukan di Pesantren Tremas,” kata Ustadz Jahrudin.

Nahun 3 Tahun 3 Bulan

Nahun, disebut juga tirakat atau lelakon, juga menjadi bagian dari tradisi unik Pesantren Tremas. Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh santrinya KH Dimyati (Wafat 1934 M), di mana pada saat itu perkembangan Pesantren Tremas sangat pesat sehingga banyak santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai penjuru Nusantara, dan bahkan ada yang datang dari negara tetangga.

Karena letak pesantren yang jauh dari kampung halaman para santri, sementara waktu itu alat transportasi juga belum ada sama sekali kecuali gerobak dan sejenisnya, maka dilakukanlah “Nahun” dalam arti yang harfiah, yaitu tekun belajar dan tidak keluar dari kompleks pesantren dalam jangka waktu tiga tahun tiga bulan tiga hari.

Ada sebuah kisah unik yang melatarbelakangi tradisi Nahun ini. Suatu ketika, Isteri KH Dimyathi yang bernama Nyai Khotijah yang sedang melakukan tirakat puasa selama 3 tahun, 3 bulan, dan 3 hari mengalami kejadian yang sangat aneh. Yaitu, saat beliau mencuci beras untuk dimasak, tiba-tiba beras tersebut berubah menjadi emas.

Nyai Khotijah pun merasa kaget, seraya berdoa, “Ya Allah, saya bertirakat bukanlah untuk mengharapkan emas atau harta benda dunia, akan tetapi saya memohon kepada-Mu ya Allah, jadikanlah Tremas ini bagian dari masyarakat, jadikanlah keluarga termasuk Ahlul Ilmi (ahli ilmu), dan jadikanlah santri-santri yang menuntut ilmu di sini menjadi santri yang barokah,” seraya membuang emas tersebut ke dalam sumur.

Setelah kejadian itu, banyak santri yang melakukan tradisi Nahun sebagai bentuk tirakat agar kegiatan belajarnya di Pesantren Tremas senantiasa lancar dan berhasil mencapai tujuannya, hingga setelah terjun di masyarakat kelak.

Sesuai perkembangan zaman, tradisi ini tetap ditiru oleh generasi selanjutnya meskipun dengan versi yang berbeda-beda. Sekarang ini, versi Nahun yang berlaku di kalangan santri Pesantren Tremas ada tiga. Pertama, tidak keluar dari komplek Pesantren Tremas. Kedua, tidak keluar dari wilayah Kabupaten Pacitan. Dan, ketiga, tidak pulang ke rumahnya.

“Yang berlaku umum di kalangan santri Pesantren Tremas sekarang ini adalah tradisi Nahun sesuai kategori kedua dan ketiga, dengan waktu minimal 3 tahun,” jelas Ustadz Jahrudin.

Dia menambahkan, kebanyakan mereka yang melakukan tradisi Nahun adalah santri yang berasal dari luar Jawa, namun pada perkembangannya, santri asal pulau Jawa juga banyak yang melakukan tradisi ini.

“Mereka yang melakukan Nahun berangkat dari keinginan mereka sendiri, didasari niat yang tulus untuk bersungguh-sungguh belajar dan berharap berkah dari para sesepuh Pesantren Tremas,” pungkasnya.

Demikianlah tradisi-tradisi unik santri pesantren yang tidak ditemui di lembaga lain mana pun. Tradisi ini merupakan khazanah kekayaan pesantren yang keberadaanya masih terjaga dengan baik sebagai ciri khas pendidikan Islam asli Nusantara

Multi-Page

Tinggalkan Balasan