Muslihat Mustafa

971 kali dibaca

Mustafa adalah laki-laki paling disegani oleh masyarakat di desanya. Disegani bukan karena ia mahir dalam bertarung, atau karena memiliki wajah seram. Tidak. Sosok lelaki sederhana, berwibawa, dan religius itu menjadi panutan banyak orang karena tingkah lakunya sangat mulia. Tutur katanya yang selalu membuat hati adem membalut segala rasa benci, iri, dan penyakit lainnya. Juga ketekunannya beribadah dengan berjemaah setiap waktu, membuat masyararakat semakin kagum padanya.

Bukan hanya hal semacam itu, Mustafa adalah juga menjadi tempat pengaduan masyarakat jika salah satu di antara mereka kehilangan sapi. Karena, banyaknya kasus pencurian sapi sangat meresahkan warga. Padahal, ronda malam sudah digalakkan. Hingga, mereka meyakini bahwa pemerintahan desa tak mampu menjamin keamanan warganya.

Advertisements

Maka, setiap terjadi kasus pencurian sapi, warga desa mendatangi Mustafa untuk meminta bantuannya. Ketika masyarakat mengeluh perihal kehilangan sapi, Mustafa selalu memberi jawaban yang sangat yang kalem, dan itu membuat orang-orang mengernyitkan dahi tapi dengan senyum yang sangat ranum. Karena setiap perkataan yang diucapkan Mustafa akan selalu menjadi kenyataan.

“Bawa tenang saja, tunggu sampai lima hari. Jika sapimu belum kembali, aku yang akan mencarinya sendiri.” Jawaban inilah yang membikin setiap orang menjadi tenang ketika sedang dirundung kemalangan: kehilangan sapi.

Tapi anehnya, tak sampai pada lima hari, sapi yang hilang itu sudah kembali ke kandangnya sendiri. Hingga warga dibuatnya terperangah dan bertanya-tanya. Setelah sapi yang hilang kembali, biasa warga yang kehilangan akan datang lagi ke rumah Mustafa. Tapi tidak dengan tangan kosong. Mereka membawa sekarung beras, setali rokok, dan keperluan lainnya. Itu karena mereka merasa berutang budi pada Mustafa.

Pernah suatu ketika Mustafa kedatangan tamu dari orang-orang terhormat di desanya. Mungkin karena sikap, perilaku, dan peran Mustafa terhadap masyarakat setempat dianggap sangat bagus,  Mustafa diminta untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa.

“Alangkah baiknya sampeyan mencalonkan sebagai kepala desa. Demi ketenteraman desa ini. Soal biaya atau modal, itu urusan saya. Sampeyan tinggal duduk manis saja.” Pinta salah seorang dari tamu tersebut. Dengan kepala agak menghadap ke bawah. Mungkin ia adalah pangadha’ dari beberapa tamu tersebut.

Tapi bagaimana dengan jawaban Mustafa? Apa dia akan menerima permintaan tersebut untuk menjadi kepala desa? Sayangnya Mustafa menolak tawaran tersebut dengan bahasa yang lemah lembut.

“Masih banyak yang lebih pantas dan lebih baik dari saya untuk memiliki kedudukan mulia tersebut. Seperti Anom Mardi, Kak Sa’edi, dan lainnya.” Kalimat itu yang selalu dilontarkan Mustafa ketika diminta untuk menjadi kepala desa di desa tersebut. Karena tidak hanya sekali Mustafa diminta untuk menjadi kepala desa. Tapi ia selalu menolak permintaan tersebut. Padahal ia tidak akan rugi apa-apa: segala biaya ditanggung oleh masyarakat.

***
Pagi yang bening. Burung-burung mengitari bunga-bunga mekar dengan cericitnya. Mustafa sedang berbaring santri di atas lincak sambil menikmati tusukan halus embun-embun. Ia mengenakan baju koko dan sarung batik oekalongan yang bergambar wayang semar.

Tiba-tiba setangkup daun telinga Mustafa menangkap ingar-bingar suara dari arah yang masih tak ia temukan. Dan suara-suara itu memecahkan kesunyuian, dan melumat kicau merdu burung-burung di bening pagi. Mustafa bangun dari pembaringan. Suara ingar-bingar itu semakin mendekap. Dan suara-suara itu berhenti mendekat. Mustafa beranjak ke tempat itu, dengan santai dan tak buru-buru.

Sesampainya di pusar suara ingar-bingar, ternyata hampir seluruh warga sekampung berada di depan rumah Madruki. Madruki adalah salah satu warga yang jarang berada di rumah. Ia sering keluar rumah: tak tentu pekerjaannya. Kala itu, yang tampak pada Mustafa adalah wajah-wajah penuh amarah. Banyak dari mereka yang tangannya menggenggam benda-benda tajam, seperti celurit, parang, dan semacamnya. Mustafa pun dengan sigap menghampiri kerumunan itu. Dan bertanya kepada Hamid. Karena Hamid adalah orang terdepan di antara orang-orang yang berkerumun.

“Ada apa? Pagi-pagi sudah rebut-ribut.”

“Begini Kak Mustafa, tadi sebelum saya berangkat ke musala untuk salat berjemaah, saya mendengar suara-suara aneh di belakang rumah, tapi saya tak sempat menengoknya, karena muazin sudah keburu mengumandangkan ikamah.”

“Lantas, apakah yang menjadi permasalahan?”

“Sepulang dari musala, saya ke rumahnya Nom Mardi untuk mengambil HP saya yang ketinggalan tadi malam. Karena saya cukup lama di rumah Nom Mardi, sesampai di rumah waktu sudah agak pagi, dan ketika mengunjungi kandang, sapi saya sudah tak ada. Dan saya yakin Madruki pencurinya.”

“Kenapa kamu yakin bahwa Madruki adalah pencurinya? Ada bukti apa?”

“Saya menemukan gelang Madruki tersangkut di bilik kandang sapi. Gelang seperti itu memang hanya Madruki yang punya,” jawab Hamid dengan memamerkan gelang yang ditemukan. “Kak  Sa’edi juga berpapasan dengan Madruki ketika hendak berangkat ke musala, dan Madruki mengarah ke rumah saya.”

Mustafa berhenti sejenak. Pandangannya kosong. Sedang semua warga ingin mendobrak pintu rumah Madruki. Karena dari tadi panggilan-panggilan dan gedoran pintu yang meminta Madruki untuk keluar tak ada respons sama sekali.

“Begini saja, tunggu sampai nanti sore. Jika sapimu belum kembali, aku yang akan menggantinya,” pinta Mustafa pada Hamid. “Percayalah.”

“Baiklah, karena sampeyan salah seorang yang dapat dipercaya di kampung ini, saya peercaya pada sampeyan. Dan saya pegang omongan sampeyan,” jawabnya. “Tapi jika sampai sore sapi saya belum kembali, saya akan mendobrak pintu rumah Madruki, dan sampeyan akan tanggung jawab.”

“Terima kasih, sudah mempercayaiku.”

Hiruk-pikuk mulai reda. Diredam pinta Hamid untuk tidak mencipta suara-suara ingar-bingar.

***

“Ini waktu sudah melewati sore. Di mana sapiku, Kak Mustafa? Kenapa masih belum dikembalikan?”

“Kandangmu sudah dicek?”

Karena Hamid belum mengecek kandangnya, tanpa berpikir panjang ia menyuruh anaknya untuk memastikan apakah sapi itu telah kembali atau belum. Hamid pun beranjak berniat pulang, justru melangkah menuju rumah Madruki lantaran warga sudah bergerombol di halaman rumah orang yang dicurigai. Mungkin warga sudah teramat benci kepada Madruki karena dari dulu setiap kehilangan sapi tak pernah terungkap pencurinya.

Madruki ada di antara kerumunan warga. Di sela-sela keriuhan kerumun warga, HP Madruki berdering. Dan ia pamit sebentar untuk mengangkat teleponnya. Madruki menjauh ke belakang halaman rumahnya. Tapi di antara orang-orang bernafsu untuk menangkap Madruki, ada Mardi memiliki rasa curiga terhadapnya. Dan hatinya tergerak untuk membuntuti Madruki: jika telepon itu dari orang benar, kenapa harus berbicara ke sembunyi-sembunyi, demikian Mardi membatin.

“Madruki, kan aku sudah bilang. Ketika mengambil sapi Hamid harus hati-hati. Bikin rumit rencana saja.” Bisik Mustafa dari seberang sambil menopangkan telepon ke daun kupingnya.

“Aku sudah hati-hati, tapi aku lupa untuk mengambil gelangku yang tersangkut di bilik kandang sapi Hamid.”

“Iya udah, lepaskan sapi Hamid dan kamu pergi sejauh mungkin.”

“Nggak nunggu empat sampai lima hari untuk melepasnya, atau nunggu Hamid minta bantuan ke kamu, Mus?”

“Rencanaku memang begitu, Mad, untuk cari muka di depan warga sampai jadi kepala desa. Tapi hampir ketahuan. Ya sudah, lepaskan saja!” perintah Mustafa kepada Madruki sembari mematikan teleponnya.

Tapi semua percakapan sudah didengar oleh Mardi dari balik dinding jeding yang disandari. Dan Mardi telah mengerti bahwa peristiwa kehilangan sapi adalah muslihat Mustafa dan begundalnyaMadruki, untuk mencapai yang diinginkan: menjadi kepala desa.

Cabeyan, 29 Agustus 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan