Munculnya Para Penjual Agama

967 kali dibaca

Ada ungkapan yang berkesan saat penulis mewawancarai Ismail Fahmi ―leader DroneEmprit, sejenis lembaga analis komunikasi berbasis Big Data― soal jejaring dan wacana umat Islam di masa pandemi (23/8/2021). Yakni, telah terjadi “islamisasi teori konspirasi” dan umat Islam merupakan kelompok ―walaupun jumlahnya mayoritas― yang paling rentan dari segi ekonomi, yang pada gilirannya menumbuhkan kecemasan personal atas situasi yang ada. Dan karena rentan menjadi konsumen teori konspirasi.

Pertanyaannya, mengapa banyak umat Islam percaya teori konspirasi? Mengapa tiba-tiba banyak aktor yang melakukan “islamisasi teori konspirasi?” Mengapa umat Islam banyak yang miskin? Dan mengapa umat Islam selalu cemas atas situasi yang ada?

Advertisements

Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong kita untuk meninjau ulang iman seperti apa yang kita peluk, dan bagaimana jenis iman itu bisa memengaruhi kondisi hidup kita, baik secara ekonomi atau bahkan politik?

Semua orang Islam, di mazhab, golongan, atau ormas apa pun, percaya akan rukun iman. Tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari bisa sangat berbeda. Dan dalam perbedaan itulah terjadi ketegangan klasik antara tasawuf dan fikih, atau antara nalar transenden dan nalar materil.

Orang Islam yang penulis maksud dalam tulisan ini ialah kalangan muslim modern, yang secara sosiologis terkena urbanisasi (dengan segala konsekuensi ekonominya), dan yang secara keagamaan tersiram konservatisme. Sehingga, mereka punya corak tersendiri soal penerapan tasawuf dan fikih di kehidupan sehari-hari, dibanding rival mereka yang berasal tradisi keagamaan yang lebih mapan.

Hal ini bermula ketika proyek pembangunan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto sedang melejit di tahun 1970-1990-an. Di saat yang sama, tumbuh gerakan-gerakan Islam konservatif yang mula bersemi di Masjid Salman ITB, kemudian menyebar di berbagai daerah. Artinya, ekonomi sedang makmur, gairah agama sedang bersemarak, dan anak-anak muda yang menjadi jamaahnya menjadi melting-pot antara semangat kapitalisme dan semangat akhirat.

Maka mulailah timbul suatu nalar keumatan yang kuat memercayai bahwa, kalau ingin menaklukkan dunia (baca: ekonomi, jodoh, pekerjaan, biaya rumah, dll), maka perbanyaklah amalan, ibadah, dan teguhkan iman. Kepercayaan ini terus direproduksi oleh berbagai pendakwah, khususnya di kanal-kanal publik seperti televisi misalnya, hingga menjadi kepercayaan mainstream dan mengabaikan kemampuan materil (berpikir logis, ilmiah, dll).

Sayangnya, mereka sedang hidup di zaman kapitalisme neoliberal, di mana pendidikan tidak selalu memberikan keterampilan ataupun kesejahteraan hidup; pasar tenaga kerja semakin sempit; harga barang esensial (rumah, biaya sekolah, dll) semakin tak tergapai; dan ekonomi sedang mengarah pada ketimpangan lebih dalam. Dan hal-hal ini terus mendalam hingga kini.

Konsekuensinya, walaupun di masa-masa kuliah mereka telah mengenyam siraman-siraman rohani, tetapi kehidupan mereka tidak jauh lebih baik dari segi ekonomi ataupun kognitif secara bersamaan. Posisi inilah yang menyebabkan gejolak kecemasan mereka meninggi karena tak adanya kepastian hidup. Secara politik, kecemasan ini rawan dieksploitasi. Dan secara ekonomi, kecemasan itu rawan menjadikan mereka sebagai target teori konspirasi.

Titik pentingnya terjadi di tahun 1990-an ketika kecemasan mereka mulai mengkristal menjadi kebencian pada kroni-kroni penguasa Orde Baru yang sebagian besar adalah kongkomerat warga keturunan. Mereka tak terima atas penguasaan kekayaan dan sumber daya oleh kelompok tertentu dan segelintir elite. Tetapi kebencian sektoral ini kemudian bermutasi menjadi kebencian rasial yang narasinya bahkan terus berevolusi hingga kini.

Dengan menggugat segelintir elite tersebut, mereka pada dasarnya sedang menggugat sistem perekonomian yang ada: menuntut perubahan yang lebih adil. Tetapi apa daya, mereka sudah telanjur tak memiliki kemampuan materiil untuk bertahan di iklim kapitalisme neoliberal, selain iman mereka.

Iman itu kemudian “dikreasi” sedemikian rupa. Bisnis herbal kecil-kecilan dengan iklan serba “ala Rasul”, bisnis travel haji-umrah, atau layanan berbayar soal perbaikan akhlak, dan lain sebagainnya adalah beberapa upaya kecil perjuangan ekonomi. Sedangkan, perjuangan politik sering kali berupa sweeping tempat maksiat dan berkerumun di ruang publik dengan membawa simbol-simbol agama.

Artinya, posisi sosial-ekonomi mereka tanggung. Sekaya rival konglomerat mereka, tidak. Serevolusioner kelompok buruh, juga tidak. Mereka hidup di posisi tengah, dan sebagian ada yang nyaris di posisi bawah. Mereka yang di tengah, mampu untuk “sekadar” hidup layak. Tapi mereka punya kecemasan tinggi soal nasib mereka di akhirat. Sedangkan, mereka yang berada pada posisi nyaris bawah, belum punya kepastian soal pekerjaan, rezeki, dan jodoh.

Maka timbullah “materialisasi agama.”  Ini berarti segala ritus agama dilakukan semata untuk meyakinkan diri bahwa dirinya termasuk penerima “asuransi” di dunia dan akhirat. Konsep dosa-pahala mengental. Dan wajah agama menjadi kuantiatif: serba hitung-hitungan.

Yang untung adalah para penjual agama. Mereka membuka bisnis moral, ayat-ayat kontroversial, kisah-kisah ajaib yang mengukuhkan kemiskinan dan kekuatan iman, dan komoditas lain yang punya hubungan dengan ceramah-ceramah mereka. Ekonomi mengalir, kalau bukan dari kios kecil di sudut kota, maka dari monetisasi viewer kanal media sosial, seperti Youtube atau Tik-Tok.

Penjelasan ini menyiratkan bahwa umat Islam telah mengabaikan kemampuan logis dan ilmiah sejak lama, hingga mentalitas yang “serba iman” itu menjerumuskan iman mereka pada hubungan gelap dengan teori konspirasi, dan menjerumuskan hidup mereka pada ketidak-nyamanan sosial-ekonomi berkelanjutan.

Masalah itu sebenarnya sudah dikritik oleh KH Wahid Hasyim dalam sebuah tulisannya di tahun 1951 berjudul Tuntutan Berfikir!:

“Orang Timur mudah sekali dipengaruhi orang lain dengan menggunakan perasaannya… Sebagian terpelajar kita, walaupun sudah berpengetahuan, rupanya masih tetap belum matang pikirannya. Terbukti dengan sikap mereka yang selalu memakai perasaan (sentimen) mengenai soal-soal agama; dan tidak sedikitpun mau meninjau, apakah betul soal agama itu benar secara logika ataukah tidak.”

Jelas, masalah tersebut tidak sebatas kemampuan berpikir, melainkan juga masalah cara mereka beriman. Narasi mainstream sering kali memapankan konsep iman yang diukur berdasarkan tingkat kecuekan seseorang terhadap aspek materiil dan prinsip sebab-akibat. Hal ini kemudian menentukan bagaimana umat Islam memandang konsep kerja (kasab) dan konsep tawakal, yang pada gilirannya berpengaruh pada mentalitas sosial-ekonomi mereka.

Dalam tulisannya Kiai Soleh Darat, Tarjamah Sabilul ‘Abid ‘ala Jawharat Tauhid, dijelaskan, sebenarnya orang tidak perlu bingung memilih mana yang lebih baik antara kerja atau tawakal ketika dalam kondisi miskin. Karena, pemilihan keduanya disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu tau kelompok.

Kalau jalur-jalur ikhtiar masih tersedia, maka seseorang disarankan untuk menempuh jalur kasab. Karena, dengan berusaha, ia tak perlu merendahkan dirinya dan tak perlu mengharap dari orang lain. Bekerja juga tidak otomatis membatalkan tawakal, karena keduanya bisa dilakukan secara bersamaan.

Artinya, Kiai Soleh Darat sadar bahwa perkara perut tidak memulu sebatas soal kerja atau sebatas soal keajaiban, tetapi keselarasan antara keduanya. Dalam konteks kehidupan kapitalistik neoliberal, apa yang dimaksud Kiai Soleh Darat dapat kita artikan sebagai kompetensi individu, ketersediaan pasar tenaga kerja, dan iman mendamaikan aspek logis-materiil dengan aspek ajaib-ilahiyah.

Andai kritik KH Hasyim dan pendapat Kiai Soleh Darat diterapkan sebagai narasi mainstream keislaman, mungkin umat Islam tak perlu lagi mencemaskan masalah perut hingga menjual agamanya entah pada penjaja agama, gerakan kerumunan, ataupun yang membahayakan mereka pada eksploitasi politik ataupun teori konspirasi.

 

Multi-Page

One Reply to “Munculnya Para Penjual Agama”

Tinggalkan Balasan