Menyoal Relevansi Demonstrasi dalam Demokrasi

842 kali dibaca

Di Indonesia, demonstrasi seakan menjadi catatan dengan huruf tebal di dalam sejarah. Demonstrasi selalu dicatat dengan huruf tebal sebagai cara melakukan perubahan kualitas kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, benarkah demonstrasi adalah satu-satunya jawaban bagi demokrasi?

Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa sering dielu-elukan sebagai agen perubahan. Dan fenomena itu sudah muncul sejak zaman pergerakan kemerdekaan, di mana para pemuda yang selalu mau berbuat sesuatu berada di garda depan. Merekalah yang lebih mau berpikir kritis dan progrsif, terus bergerak, yang dalam istilah modern sering disebut revolusioner.

Advertisements

Tapi apakah para pemuda yang turun ke dalam aksi massa, yang berbaur di dalam demonstrasi, yang menyuarakan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah sebagai kritik atas kebijakan yang kurang adil, yang menyuarakan suara rakyat banyak itu, benar-benar sadar sepenuhnya tujuan daripada perjuangan mereka?

Di negara-negara dunia ketiga ini, sebuah gerakan tidak bisa berdiri di kaki sendiri. Banyak sekali gerakan yang diasuh oleh dan berelasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik, atau didanai oleh luar negeri, dan seterusnya.

Dan kita tahu sendiri, bahwa partai politik di Indonesia banyak dihuni oleh orang-orang yang bisa jadi kompeten tapi tidak punya integritas dan prinsip-prinsip yang jelas, atau boleh jadi tidak kompeten tapi memiliki modal yang banyak. Partai sendiri seringkali tidak jelas pendidikan politiknya, tidak jelas komitmen sikap etisnya, sehingga bisa kita lihat dan baca di koran dan media-media bahasa mereka yang kurang berbobot, dan banyaknya dari mereka yang terjerat korupsi. Ini sangat miris, dan tentu menjadi perhatian kita bersama.

Pendidikan kita yang ada sekarang juga tidak mendukung kesadaran kita akan keadaan yang konkret, akan kehidupan yang harus ditata dengan baik secara kepahaman bersama-sama. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk bertahan hidup membuat banyak dari kita hanya mengandalkan secarik kertas ijazah. Dan, sebagai seorang sarjana muda, seperti lagu Iwan Fals, kita terlempar ke sana kemari, tanpa dapat pekerjaan, tanpa dikenal, tanpa dangau persinggahan, kata penyair WS Rendra.

Sepengalaman penulis ketika mahasiswa S1 pun merasa seakan belum cukup untuk menekuni bidang yang dipilih, karena keterbatasan wacana, pengetahuan dosen, dan buku-buku di perpustakaan. Belum lagi godaan untuk tampil di publik lokal dalam acara-acara UKM atau komunitas atau gerakan aktivis mahasiswa yang demonstrasi kebijakan-kebijakan, baik kritik kepada pemerintah pusat atau daerah yang disampaikan di alun-alun depan Gedung DPRD di pusat kota.

Lalu, benarkah gerakan massa mahasiswa yang notabene dilakukan di ruang publik itu, yang seringkali dihuni oleh pemuda-pemudi yang tidak sepenuhnya sadar dan tahu apa yang sedang mereka lakukan, alih-alih hanya ikut meramaikan saja itu dapat efektif sebagai gerakan yang suaranya ‘bunyi’?

Dari beberapa kejadian demonstrasi yang kebetulan penulis lihat secara langsung, masih banyak terdapat celah-celah yang akhirnya emosi di situ terlibat. Benarkah anak muda memang tidak bisa menghindari sikap menggebu-gebu itu?

Orasi yang keras, nada suara yang seringkali penuh emosi, menggebu-gebu, provokasi dari beberapa orang yang mungkin hanya ikut senang-senang di sana, dan lain-lainnya. Semua itu membuat demonstrasi bagi penulis kurang memiliki efisiensi dan tidak begitu efektif. Belum lagi ketika emosi tersulut saat panas memuncak di langit, aparat kadang juga kehilangan kesabaran, ditambah beberapa pemuda tak bertanggung jawab, misalnya melempar botol air, atau sampah lainnya ke kerumunan aparat. Maka terjadilah suatu ketegangan, dan ketegangan demi ketegangan itulah yang lebih sering tampil dalam peliputan demonstrasi.

Lepas dari kepentingan perorangan atau kelompok, gerakan aksi massa yang tentu saja tidak selalu murni dari kesadaran akal dan nuraninya untuk menyuarakan suara rakyat, tapi karena embel-embel lain, misalnya dibayar dan semacamnya.

Memang tidak bisa dimungkiri beberapa gerakan dibiayai oleh baik dalam dan luar negeri, baik partai atau mungkin saja oligarki. Tapi selalu ada gerakan yang benar-benar bersuara ‘Benar’ dan bersikap ‘Benar’, atau bahkan perorangan yang memang sadar dan tahu ikut serta di sana mendukung langsung aksi demonstrasi tersebut. Mereka sebenarnya perlu sekali membuat strategi agar lebih terdengar ‘bunyi’ suara mereka, tidak kotor dan tercemar oleh massa lain yang tidak bertanggung jawab.

Gerakan demonstrasi memang bersifat cair, seperti sungai kadang ada limbah yang masuk di situ. Perlu kiranya menjernihkan ‘sungai gerakan itu’ agar demonstrasi benar-benar tidak tercemar oleh dosa kekerasan dan perilaku-perilaku tidak bertanggung jawab lainnya.

Mahasiswa tentu saja harus memikirkan strategi baru dalam berdemonstrasi atau dalam melakukan kritik kebijakan pemerintah yang kurang adil tersebut. Yang harus dipikirkan mahasiswa adalah bagaimana meminimalisasi peluang yang tidak baik dan tidak benar, seperti kekerasan, dan lain-lainnya itu. Atau barangkali perlu diajukan pertanyaan kritis, seperti, apakah demonstrasi satu-satunya jawaban dalam berdemokrasi? Apakah tidak ada alternatif yang lain?

Mahasiswa nampaknya perlu mengurai pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pemikiran yang matang, dan kelak menjadi strategi baru untuk menyuarakan kepentingan rakyat banyak. Noam Chomsky telah banyak berbicara soal masalah tersebut, soal gerakan aksi yang tidak lagi relevan, tentang pentingnya komunitas, tentang perlunya alternatif baru, dan seterusnya.

Penulis berharap mahasiswa lebih cerdas lagi dalam memilih strategi untuk menyuarakan pemikiran-pemikirannya, sehingga tidak ada lagi berita tentang kerugian atau kejahatan di dalam demonstrasi. Salam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan