Menyoal Kredo Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis

Islam datang sebagai rahmat bagi semesta. Ia bukan sekadar ritual, tapi juga etika yang mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan.

Tapi hari ini, kita menyaksikan fenomena ganjil sebagian umat Islam justru terjebak dalam debat kusir tentang “bidah”, “kembali ke Al-Qur’an dan Hadis”, atau klaim “pemurnian akidah”, sambil melupakan esensi rahmat itu sendiri. Ironisnya, mereka yang paling lantang menyuarakan jargon-jargon itu sering kali tak memiliki alat dasar untuk memahami teks agama semisal ilmu nahwu dan ushul.

Advertisements

Mari kita renungkan: “Bagaimana mungkin seseorang berani menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis yang notabene berbahasa Arab tinggi (fusha) tanpa menguasai tata bahasanya?

Imam Al-Ashma’i, pakar bahasa abad ke-8, pernah berpesan: “Aku paling takut pada penuntut ilmu yang tak belajar nahu. Ia bisa terjatuh dalam dusta atas nama Nabi”

وقال أبو داود السنجي : سمعت الأصمعي يقول : إن أخوف ما أخاف على طالب العلم إذا لم يعرف النحو أن يدخل في جملة قول النبي صلى الله عليه وسلم : ” من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار ” ; لأنه لم يكن يلحن ، فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه .

Ini bukan ancaman kosong. Lihatlah hadis “Kullu bid’atin dalalah” (Setiap bidah adalah sesat) yang sering dijadikan senjata untuk menghakimi tradisi.

Mari coba kita bedah dengan kacamata nahu. Kata “kullu” (كل) dalam struktur kalimat Arab tidak selalu bermakna “seluruh atau semua tanpa kecuali”. Ia bisa berarti “sebagian besar” atau “umum”.

الكل في حكمنا على المجموع ككل ذاك ليس ذا وقوع حيثما لكل فرد حكما فإنه كلية قد علمت.

Apalagi, mubtada’ (subjek) dalam hadis tersebut berbentuk nakirah (indefinite), bukan ma’rifat (definite). Jika Nabi ingin menyatakan semua bidah pasti sesat, (mungkin) beliau akan menggunakan struktur yang definitif, seperti Al-bid’atu kulluha dalalah. Nyatanya, Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan:

وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص و المراد غالب البدع

“Hadis ini umum yang dikhususkan. Yang dimaksud adalah kebanyakan bidah, bukan semua.”

Artinya, bidah hasanah—seperti kodifikasi Al-Qur’an di zaman Utsman atau salat Tarawih berjamaah—tetap sah selama selaras dengan maqashid syariah.

Lalu, mengapa sebagian orang begitu mudah menyematkan label “sesat” pada amalan seperti tahlil, sementara Al-Qur’an yang mereka pegang adalah hasil ijma’ para sahabat, sebuah inovasi yang tak ada di zaman Nabi? Di sinilah letak paradoksnya: Mereka menolak tradisi lokal dengan dalih “anti-bidah”, tetapi tanpa sadar mengikuti bidah lain yang telah disepakati ulama sebagai kemaslahatan.

Masalahnya makin runyam ketika klaim “kembali ke Al-Qur’an dan Hadis” justru digaungkan oleh mereka yang bergantung pada terjemahan. Padahal, terjemahan adalah tafsir yang disederhanakan dan setiap penerjemah pasti membawa perspektif mazhabnya.

Contoh nyata: Kata quru’ dalam QS. Al-Baqarah: 228 tentang iddah perempuan. Mazhab Syafi’i menerjemahkannya sebagai “suci”, sementara Hanafi mengartikannya “haid”. Jika seseorang anti-mazhab tetapi membaca terjemahan Syafi’i, bukankah ia sebenarnya “taklid buta” pada mazhab itu?

Inilah bahayanya mengabaikan nahu dan ushul fikih. Tanpa ilmu ini, seseorang seperti buta warna yang mencoba menilai lukisan. Ia tak bisa membedakan antara am yang dikhususkan (khas), mutlak yang dibatasi (muqayyad), atau konteks historis (asbabun nuzul). Akibatnya, penafsiran jadi kaku, tekstual, dan cenderung menyempal.

Tapi, di balik semua perdebatan ini, ada pertanyaan mendasar “Apakah kita sudah kehilangan ruh rahmatan lil ‘alamin?” Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak, bukan memperdebatkan titik koma dalam teks. Lihatlah Piagam Madinah: Beliau menjamin hak non-muslim, merangkul tradisi Yahudi, dan mengutamakan perdamaian. Bahkan saat menaklukkan Mekkah, Nabi memilih mengampuni musuh-musuhnya—padahal jika kita telisik secara tekstual, Al-Qur’an membolehkan balas dendam (QS. An-Nahl: 126).

Sayangnya, sebagian kita lebih bangga menjadi polisi syariat yang sibuk mengawasi apakah saudaranya sudah berjenggot dan bercelana cingkrang, ketimbang menjadi pelayan masyarakat yang mengentaskan kemiskinan atau menjaga lingkungan. Padahal, Nabi bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”(HR. Ahmad).

Maka, inilah saatnya kita bertanya ulang: Apakah klaim pemurnian agama kita justru mengotori citra Islam sebagai rahmat? Ketika seorang ustaz dengan mudah menyebut kafir pada non-muslim, atau ahli bidah pada sesama muslim yang berbeda praktik, bukankah itu mengubur pesan universal kasih sayang Islam?

Islam bukan milik mereka yang hafal huruf Arab, tapi lupa maknanya. Bukan pula milik mereka yang ribut membidahkan tahlilan, misalnya, tapi diam melihat kemungkaran merajalela. Rahmatan lil ‘alamin hanya bisa hidup jika kita kembali pada tujuan utama syariat, yaitu menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta—bukan sekadar memproduksi fatwa-fatwa yang memecah belah.

Imam Syafi’i berkata, “Ilmu bukanlah apa yang dihafal, tapi yang memberi manfaat” Di titik ini mari kita jadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk untuk merangkul, bukan alat untuk mengklaim diri paling suci. Sebab, kebenaran tak pernah membutuhkan teriakan—ia hanya perlu diamalkan dengan bijak.

Jika pemurnian agama hanya menyisakan kebencian, siapa yang sebenarnya kita sucikan—agama atau ego kita sendiri?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan