Menyelami Samudera Para Wali

1,794 kali dibaca

Buku yang diterjemahkan dari kitab Min Ma’arif al-Sadat al-Shufiyyah ini berisi tentang kisah para wali, yang tak lain mereka adalah pewaris dan pengikut sunah Nabi Saw. Mereka merupakan orang pilihan yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk meneguk ilmu dan pemahaman yang tidak termaktub dalam kitab apa pun. Dengan ilmu, mereka mendapat kedudukan istimewa di sisi Allah.

Ilmu-ilmu itu kemudian mereka sampaikan kembali kepada khalayak orang agar mereka mengambil pelajaran. Salah satu misal yang dapat kita ambil dari ilmu mereka ialah tentang adab. Syeikh Muhammad Alwi al-Maliki pernah berkata, “Sesungguhnya iblis celaka bukan karena kurangnya ilmu, tetapi karena kurangnya adab” (hlm. 361).

Advertisements

Hanya gara-gara kurangnya adab, iblis yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang alim, tergolong jin yang sungguh-sungguh dalam beribadah hingga Allah meninggikan derajatnya di alam arwah dan memiliki kedudukan luhur di kalangan malaikat, tiba-tiba jatuh tersungkur, runtuh kesungguhan ibadahnya, dan yang lebih disesalkan lagi, ia diberi titel makhluk terkutuk.

Akhirnya, ia menjadi contoh hidup yang nyata bagi orang-orang yang tak beradab. Baik tak beradab kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada para wali dan kekasih-Nya, kepada seluruh kaum muslimin, bahkan kepada seluruh makhluk. Oleh karena itu, kurang adab adalah sebuah kebodohan, pengingkaran dan kekufuran atas nikmat Allah.

Seorang sufi agung mengatakan, “Siapa saja yang tak beradab, maka tidak ada perjalanan tarekat baginya. Orang yang tidak memiliki perjalanan tarekat, maka ia tidak akan sampai kepada puncak tujuannya. Karena itu, adab mendekatkan jarak perjalanannya.”

Atas dasar itu pula, didikan para sufi dibangun di atas adab. Guru-guru tarekat pernah menyatakan, “Tasawuf itu seluruhnya akhlak. Siapa yang menambah akhlak kepadamu, maka ia telah menambah tasawuf kepadamu.”

Hal senada dikemukakan oleh Syeikh Abu Hafsh al-Naisaburi, “Tasawuf itu seluruhnya adab. Setiap waktu memiliki adab. Setiap akhlak memiliki adab. Dan setiap maqam juga memiliki adab. Siapa saja yang berpegang pada adab, maka ia akan sampai kepada tujuannya. Sebaliknya, siapa saja yang menghilangkan adab, maka ia semakin jauh dari tujuan, meski dirinya merasa semakin dekat. Ia akan ditolak meski ia mengira akan diterima” (hlm. 362).

Adab merupakan intisari dari ilmu. Ilmu menuntut kita untuk mengenal Allah. Sehingga dengan mengenal-Nya, kita akan mencintai-Nya, akan mentaati-Nya, serta tunduk patuh di hadapan-Nya. Sementara adab yang buruk adalah sempalan dari ketertipuan ilmu. Seperti iblis, ia tertipu oleh ilmu yang menurut dugaannya telah berhasil didapatkannya, akibatnya ia terjerumus pada adab buruk terhadap Allah Swt.

Ilmu lain yang kita dapatkan dari buku yang ditulis oleh penulis kitab Qishashul Auliya’ ini adalah ilmu tentang mengajari anak. Syeikh Abu Ishaq al-Jabaniyani menuturkan, “Janganlah ada yang mendidik anak-anak kalian, kecuali orang yang bagus agamanya. Sebab, agama sang anak tak jauh dari agama orang yang mengajarinya” (hlm. 125).

Anak-anak kita membutuhkan ilmu untuk keberlangsungan hidup mereka. Yang nantinya dengan ilmu tersebut mereka bisa membedakan antara halal dan haram, serta antara haq dan batil. Ilmu yang diharapkan adalah ilmu yang membuat mereka selamat dan bahagia hidup di dunia dan akhirat kelak. Berdasarkan hal tersebut, kita dituntut untuk mencari guru untuk mereka dengan cermat dan tidak sembarangan. Yaitu guru yang saleh, yang mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang mengajari akhlak-akhlak nabi, yang menanamkan kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya dan para wali-Nya, serta guru yang mendapatkan ilmu dari gurunya. Guru-gurunya menerima ilmu dari guru mereka. Guru mereka dari gurunya lagi. Demikian seterusnya hingga sanad keilmuannya bersambung kepada Nabi Saw.

Ilmu, ibrah dan hikmah selain itu sungguh bertebaran dan mudah kita temukan di dalam buku dengan tebal 387 halaman ini. Buku ini menghimpun 82 nasihat yang berhasil dipetik dari mereka yang sudah mencapai puncak makrifat, baik kalangan klasik maupun modern. Yang dimuat berjumlah 60 orang, yang insya Allah walau hanya menyebutkan namanya saja, Allah akan melimpahkan rahmat dan kesembuhan bagi kita.

Mereka adalah Bisyr al-Hafi, Yahya ibn Mu’adz al-Razi, Damardasy al-Muhammadi, Abu Hajjaz, Abu Ishaq al-Jabaniyani, Abu Abdullah al-Jala’, Ahmad Zaini Dahlan, Abu al-Abbas al-Mursi, Ahmad ibn Athaillah al-Sakandari, Ibrahim ibn Ahmad al-Maulid, Fudhail ibn Iyadh, Abu Sulaiman al-Darani, Ahmad Ashim al-Anthaki, Umar ibn Faridh, Syaqran al-Maghribi, Abu Yazid al-Busthami, Khalid Muhammad Khalid, Abdul Khaliq al-Ghazdawani, al-Husain ibn Manshur al-Hallaj, Muhyiddin ibn Arabi, Sufyan al-Tsauri, Muhammad ibn al-Munkadir, Ja’far al-Khawash, Ibrahim ibn Adham, Muhammad al-Bakri al-Kabir, Abdul Qadir al-Jailani, Abdul Wahhab al-Sya’rani, Dzunnun al-Mishri, Abu al-Hasan al-Syadili, dan lain sebagainya.

Pendek kata, sekali lagi, sungguh berlimpah hikmah yang terkandung dalam setiap halaman demi halaman di dalam buku ini. Semoga kita senantiasa dikaruniai kesehatan untuk taat menjalani perintah-Nya, dibimbing dan dianugerahi petunjuk-Nya, serta mampu mempelajari dan mengamalkan ilmu-Nya yang telah dituang kepada kekasih pilihan-Nya.

Data Buku

Judul            : Ma’ariful Auliya’
Penulis         : Muhammad Khalid Tsabit
Penerjemah : M. Tatam Wijaya
Penerbit       : PT Qaf Media Kreativa
Cetakan       : I, Januari 2018
Tebal            : 387 Halaman
ISBN            : 978-602-5547-12-6

Multi-Page

Tinggalkan Balasan