Di era ketika jari lebih cepat daripada akal dan informasi menyebar sebelum diverifikasi, pesantren berdiri di tengah pusaran tantangan besar: disrupsi digital.
Dalam beberapa waktu terakhir, pesantren tidak hanya menghadapi tantangan internal, tapi juga gempuran eksternal berupa stereotip negatif yang beredar liar di media sosial dan ruang publik. Sebagian pesantren dituduh menjadi sarang feodalisme, tempat radikalisme tumbuh, bahkan dipolitisasi seolah menjadi “pabrik kekerasan simbolik” yang membungkam suara berbeda.

Tak hanya itu. Tak jarang para santri atau alumni pesantren yang terjebak dalam narasi dakwah yang menyederhanakan kebenaran, mengkafirkan kelompok lain, dan menyesatkan siapa saja yang berbeda mazhab, manhaj, atau orientasi politik. Satu kutipan ayat yang dilepaskan dari konteks kerap menjadi alat penghakiman. Ironis sekali bahwa pesantren yang seharusnya menjadi benteng moderatisme dan kebijaksanaan Islam, justru terseret dalam arus informasi yang miskin etika dan nalar.
Jika ditelusuri lebih dalam, ada satu akar persoalan yang sebenarnya menjadi biang keladi dari semua fenomena ini: krisis literasi.
Memahami Literasi
Secara harfiah, sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Definisi ini biasa kita kenal sebagai basic literacy. Namun, yang akan menjadi fokus penulis adalah functional literacy. Literasi dalam makna ini mencakup kemampuan seseorang untuk mengatur finansial, emosional, berkomunikasi, dan berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks pesantren, functional literacy mencakup kemampuan memahami teks keagamaan secara mendalam dan kontekstual, menyampaikan gagasan secara tertulis dengan baik, dan menggunakan pengetahuan untuk merespons tantangan zaman.
Functional literacy tidak hanya menjadikan santri melek huruf, tetapi juga membekali mereka dengan kecakapan hidup. Ketika santri memiliki daya literasi yang kuat, mereka tidak mudah terprovokasi oleh narasi keagamaan yang sempit, tidak gampang terpancing oleh ujaran kebencian, dan lebih mampu memfilter informasi dengan akal sehat dan hati nurani. Inilah jenis literasi yang dibutuhkan pesantren hari ini.
Sayangnya, belum banyak yang peka terhadap masalah ini. Beberapa pesantren justru masih bergulat pada tahap basic literacy para santrinya. Secara lebih luas, data dari UNESCO mencatat bahwa hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang tergolong rajin membaca. Sementara itu, riset World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat baca.
Tentu masalah ini tidak lahir begitu saja. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya, termasuk kemiskinan, stunting, ketimpangan akses pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi akar persoalan paling kokoh adalah bahwa kita tidak terbiasa berpikir kritis. Padahal, berpikir kritis adalah hal paling fundamental dalam menyelesaikan krisis literasi yang kita hadapi hari ini.
Tak heran, jika dalam Al-Qur’an kita menemukan banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk selalu berpikir kritis. Dilansir dari tafsirq.com tak kurang dari 71 ayat Al-Qur’an diberi tag “perintah untuk berpikir dan menghayati.” Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk terus berpikir kritis.
Di sisi lain, krisis ini juga tumbuh dari kultur yang diam-diam mengakar: budaya takut salah. Kita tumbuh dalam lingkungan yang kerap menghukum kesalahan, bukan memaknainya sebagai bagian dari proses belajar. Akibatnya, banyak yang memilih diam ketika seharusnya bicara, ragu bertanya ketika seharusnya mencari tahu, dan enggan mencoba ketika kesempatan terbuka. Padahal, kesalahan adalah guru yang paling jujur. Dari kesalahan, kita belajar rendah hati; dari kegagalan, kita belajar untuk bangkit dan mencoba lagi.
Di era digital kini, kita juga dihadapkan lagi pada persoalan lain yang tak kalah pelik. Yakni, ketika semuanya serba instan. Informasi datang begitu cepat, disajikan dalam potongan-potongan pendek yang mudah dicerna. Sekilas, hal ini memang tampak memudahkan. Padahal kenyataannya, budaya yang serba instan ini pada akhirnya akan membuat otak kita tumpul, karena semua jawaban sudah tersedia secara instan. Kita tidak akan terbiasa lagi bertanya “kenapa” dan semakin jarang untuk menggali dan mencari pemahaman yang lebih luas.
Tanggung Jawab Siapa?
Kemudian pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini? Tak bisa dimungkiri bahwa krisis literasi adalah persoalan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali pesantren. Namun, pada akhirnya pihak yang paling bertanggung jawab menyelesaikan problem ini tidak lain adalah kita sendiri: para santri
Santri tidak bisa lagi hanya menjadi penerima ilmu dan informasi secara pasif. Santri harus menjadi agen perubahan, penebar nalar sehat, dan penjaga akal waras di tengah derasnya arus informasi. Kita adalah pewaris tradisi keilmuan ulama. Dan tradisi itu tak akan hidup hanya dengan hafalan, melainkan dengan keberanian membaca, menulis, dan berpikir kritis sebagaimana dicontohkan oleh Imam al-Ghazali, Ibnu Khaldun, hingga KH Hasyim Asy’ari.
Sudah bukan zamannya lagi santri hanya jadi penonton. Literasi harus menjadi tradisi yang hidup sehari-hari, bukan hanya slogan tahunan. Gus Baha’ pernah mengingatkan, “Zaman sekarang itu tidak baik untuk bersikap tawadhu’. Zaman sekarang waktunya para ahli ilmu menampakkan dirinya pada bidangnya.” Maka, santri harus berani bersuara, menulis, dan berpikir terbuka. Karena jika orang alim diam, panggung akan dikuasai oleh mereka yang bersuara tanpa ilmu.
Untuk menyelesaikan krisis ini, kita bisa memulai dengan hal sederhana. Misalnya, dengan selalu bertanya “kenapa” terhadap setiap fenomena yang kita temui. Kebiasaan ini akan melatih dan meningkatkan taraf kemampuan berpikir kritis. Selain itu, membiasakan diri membaca buku juga bisa menjadi salah satu solusi penting. Menjadikan membaca sebagai kewajiban, tidak hanya sebuah hobi. Sebagaimana wahyu yang pertama kali diturunkan: iqra’.
Sejatinya, menyelamatkan literasi adalah menyelamatkan pesantren dari ketertinggalan, kebodohan, dan kesesatan berpikir. Karena di zaman ini, diam adalah kekalahan, dan buta literasi adalah jalan menuju kehancuran. Mari mulai dari diri sendiri: dari satu pertanyaan, satu halaman, satu pemikiran. Wabillahi taufiq.
Wah, mantap nih analisisnya. Bagaimana situasi terkini LITERASI di PP Annuqayah, Mas?