Menyelamatkan Literasi, Menyelamatkan Pesantren

Di era ketika jari lebih cepat daripada akal dan informasi menyebar sebelum diverifikasi, pesantren berdiri di tengah pusaran tantangan besar: disrupsi digital.

Dalam beberapa waktu terakhir, pesantren tidak hanya menghadapi tantangan internal, tapi juga gempuran eksternal berupa stereotip negatif yang beredar liar di media sosial dan ruang publik. Sebagian pesantren dituduh menjadi sarang feodalisme, tempat radikalisme tumbuh, bahkan dipolitisasi seolah menjadi “pabrik kekerasan simbolik” yang membungkam suara berbeda.

Advertisements

Tak hanya itu. Tak jarang para santri atau alumni pesantren yang terjebak dalam narasi dakwah yang menyederhanakan kebenaran, mengkafirkan kelompok lain, dan menyesatkan siapa saja yang berbeda mazhab, manhaj, atau orientasi politik. Satu kutipan ayat yang dilepaskan dari konteks kerap menjadi alat penghakiman. Ironis sekali bahwa pesantren yang seharusnya menjadi benteng moderatisme dan kebijaksanaan Islam, justru terseret dalam arus informasi yang miskin etika dan nalar.

Jika ditelusuri lebih dalam, ada satu akar persoalan yang sebenarnya menjadi biang keladi dari semua fenomena ini: krisis literasi.

Memahami Literasi 

Secara harfiah, sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Definisi ini biasa kita kenal sebagai basic literacy. Namun, yang akan menjadi fokus penulis adalah functional literacy. Literasi dalam makna ini mencakup kemampuan seseorang untuk mengatur finansial, emosional, berkomunikasi, dan berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks pesantren, functional literacy mencakup kemampuan memahami teks keagamaan secara mendalam dan kontekstual, menyampaikan gagasan secara tertulis dengan baik, dan menggunakan pengetahuan untuk merespons tantangan zaman.

Functional literacy tidak hanya menjadikan santri melek huruf, tetapi juga membekali mereka dengan kecakapan hidup. Ketika santri memiliki daya literasi yang kuat, mereka tidak mudah terprovokasi oleh narasi keagamaan yang sempit, tidak gampang terpancing oleh ujaran kebencian, dan lebih mampu memfilter informasi dengan akal sehat dan hati nurani. Inilah jenis literasi yang dibutuhkan pesantren hari ini.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

One Reply to “Menyelamatkan Literasi, Menyelamatkan Pesantren”

Tinggalkan Balasan