Menyambut Tahun Baru Hijriah dengan Genderang Perang

903 kali dibaca

Muharram identik dengan hijrah. Sebab, penentuan kalender Hijriah yang diawali bulan Muharram memang didasarkan pada hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Dalam tilikan sejarah, hijrah merupakan peristiwa agung, sebagai titik balik umat Islam memisahkan diri dari kaum kufar-musyrik Mekkah dan juga sebagai etape pembangun komunitas muslim yang solid menuju kemenangan.

Gambaran besarnya memang demikian. Namun, jika diperinci, sebagaimana dijelaskan Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam Ihkamul al-Ahkam (tt), terdapat varian hijrah yang dilakukan atau diperintahkan Rasulullah kepada umatnya.

Advertisements

Hijrah Fisik

Pada kategori hijrah fisik ini, terangkum bebera jenis hijrah. Pertama, hijrah kaum muslimin ke Habasyah. Ini merupakan hijrah yang sangat awal sekali. Penting disimak tentang relasi umat Islam dengan umat Nasrani yang sangat rukun tersebut, sehingga Rasul merasa yakin bahwa Negus, penguasa Nasrani yang punya otoritas penuh di wilayah Habasyah akan menyambut dan menerima rombongan kaum muslimin yang sedang eksodus tersebut.

Perihal pentingnya terletak padanya apresiasi yang tinggi ajaran Islam kepada Maria, ibunda suci yang sangat dihormati Nasrani. Inilah yang disampaikan Ja’far bin Abi Thalib, dengan membaca beberapa ayat Al-Quran, di depan Raja Negus. Bisa dibayangkan, di saat kaum muslimin diintimidasi, kaum Nasrani justru menolong lantaran terharu dengan ajaran umat Islam yang apresiatif.

Kedua, hijrah ke Madinah. Ini hijrah kolosal yang melibatnya nyaris seluruh umat Islam. Hijrah ini ancaman. Sebab, tidak mudah bagi orang-orang beriman untuk bisa keluar dari Mekkah menuju Madinah. Ada pasukan kafir Mekkah yang senantiasa berjaga di pintu gerbang untuk mematai-matai dan menyergap siapa saja dari umat Islam yang hendak hijrah.

Profesor Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Quran (2006) mengatakan bahwa di momen hijrah ke Madinah ini ada tiga hal penting yang didedahkan sejarah pada kita, salah satunya tentang keharusan berkorban, untuk bisa sukses berhijrah.

Rasulullah, misalnya, saat hendak hijrah diam-diam mengajak Abu Bakar. Ayah Aisyah ini sangat terharu karena sangat senang bisa menenami Rasul. Dia kemudian mengambil dua kuda. Salah satunya dihadiahkan pada Rasul. Beliau menolak dan membeli kuda itu. Beliau berkorban dengan membeli kuda itu.

Perhatikan Sayyidina Ali. Berkorban nyawa dengan menggantikan tempat tidur Rasul yang semalaman dikepung puluhan pemuda kafir Makkah yang siap menyerang dengan pedang terhunus. Berhijrah adalah berkorban, siap kehilangan, termasuk kehilangan yang paling berharga dan dicintai, demi menuju kepada Allah.

Ketiga, berhijrahnya sebagian sahabat ke kampung halaman mereka sendiri setelah dirasa cukup belajar Islam kepada Rasulullah. Mereka pulang kampung karena didorong untuk membimbing kaumnya. Varian hijrah ketiga ini mengajarkan bahwa hijrah bukanlah jalan menjauh, melainkan jalan berbalik.

Setelah sukses di Madinah, Nabi kembali ke Mekkah untuk membangun kesuksesan serupa. Begitu pula yang dilakukan para sahabat beliau. Kemilau kegemilangan di daerah lain justru merindukan kampung halaman untuk bisa segera pulang.

Keempat, hijrah dari daerah kafir (darul harbi) ke daerah yang aman (darus salam). Yang dimaksud darul harbi adalah wilayah di mana kaum muslimin diintimidasi gegara identitas keislamannya dan dilarang melaksanakan kewajiban agamanya. Dalam kondisi demikian, menurut Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm (1990), wajib hijrah, kecuali orang yang dianggap kuat dan orang kafir enggan mengganggunya. Misalnya, Abbas bin Abdul Muthallib dan Umair bin Wahhab dibiarkan tidak hijrah oleh Nabi karena keduanya sosok yang disegani kaum kuffar Mekkah.

Hijrah Nonfisik

Dalam buku Kosa Kata Agama (2020), pakar tafsir Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebelum hijrah fisik, Rasul terlebih dahulu diperintahkan untuk hijrah nonfisik saat berhadapan dengan cacian, fitnah, dan ancaman kaum kufar Mekkah selama belasan tahun. Hijrah varian ini juga ditekankan Nabi setelah pembebasan Kota Mekkah. Pesan ini bisa ditangkap dari sabda beliau yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa tidak ada hijrah setelah fathu makkah. Yang ada hanya niat dan jihad.

Quraish Shihab kemudian menjelaskan bahwa jihad di masa hijrah fisik adalah berupa perang fisik. Setelah fathu makkah, jihadnya berupa perang melawan hawa nafsu dan ini sesuai dengan sabda Nabi bahwa makna hijrah adalah meninggalkan hal yang dilarang Allah.

Saat sekarang, hijrah fisik sudah tidak dominan. Jihad fisik pun juga bisa dikatakan tidak ada. Yang paling terasa penting adalah hijrah nonfisik, jihad melawan hawa nafsu. Dengan kecanggihan teknologi, tidak ada tempat yang tidak terjamah ancaman dan kemungkaran. Hanya lewat HP yang terkoneksi dengan jaringan, orang bisa jadi alim atau lalim, walaupun dia pindah ke ujung dunia sekalipun. Kendalinya ada di dalam diri. Maka, jihad yang paling instrumental saat ini adalah memerangi dorongan negatif yang berasal dalam diri.

Apakah ini lebih mudah daripada memerangi musuh di medan perang? Tidak. Sebaliknya, inilah jihad akbar. Inilah hijrah paling gebyar. Sebab, selesai perang Badar, Nabi menegaskan bahwa kepada para sahabat beliau bahwa mereka baru kembali dari perang kecil menuju perang besar, yakni perang melawan hawa nafsu.

Di bulan Muharam memang dilarang mengadakan perang. Itu jika musuhnya orang lain. Jika musuhnya hawa nafsu diri sendiri, justru sangat dianjurkan memeranginya. Mari sambut Tahun Baru Hijriah ini dengan genderang perang. Perang melawan nafsu diri sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan